Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Bioskop Tua di Surakarta, dari Poster Film hingga Karakter Penonton

Kompas.com - 22/03/2019, 13:02 WIB
Aswab Nanda Prattama,
Bayu Galih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perkembangan industri film di Indonesia, termasuk pemutaran film asing di Tanah Air, tak membuat pengusaha bioskop mendapatkan keuntungan besar. Satu per satu bioskop kecil tutup karena kalah bersaing dengan bioskop besar, yang bahkan dapat memutar lima film sekaligus dalam lima studio. 

Hal ini membuat pemerhati sejarah mengenang kembali keberadaan bioskop tua, terutama yang terbilang ikonik bagi lanskap kota. Sebelumnya, film dokumenter Oude Bioscoop mengawali diskusi sejarah pada Kamis (21/03/2019) malam di Rumah Budaya Kratonan, Solo.

Sebanyak 46 peserta yang hadir dengan antusias menyaksikan film tersebut secara saksama. Mulai dari usia muda hingga tua, mereka ingin melihat perkembangan bioskop di Surakarta.

Acara yang dipelopori oleh Soeracarta Heritage Society (SHS) dan Rumah Budaya Kratonan ini bertujuan untuk mengenalkan latar belakang industri bioskop pertama dan perkembangannya di Surakarta.

Sita Ratih Pratiwi selaku perwakilan SHS membuka acara dan mengatakan bahwa acara ini memiliki makna untuk membangkitkan kembali memori kolektif akan hadirnya bioskop di Solo.

"Kami selalu rutin mengadakan acara diskusi tiap bulan, dan acara malam ini bertemakan mengenai perkembangan bioskop di Surakarta," kata Ratih

Dalam acara yang bertajuk diskusi sejarah ini, Ari Headbang dipercaya sebagai menjadi narasumber. Ari yang merupakan seorang "maniak" film dari kecil, mulai menceritakan kisah awal perjalaanan bioskop di Kota Bengawan.

Baca juga: Kisah Danny, Mantan Proyeksionis yang Kini Menjaga Bioskop Senen...

Rumah Budaya KratonanKOMPAS.com/Aswab Nanda Prattama Rumah Budaya Kratonan
Diawali dengan kisah masuknya gambar hidup/film bisa di Surakarta pada 1914, hingga akhirnya mulai berkembang dengan film bersuara pada 1928.

Tercatat, bioskop pertama yang ada di Surakarta adalah Alhambra Bioscoop yang sekarang terletak di Pasar Kliwon Surakarta. Sampai sekarang bangunan itu masih ada, namun telah dialihfungsikan.

"Awalnya dari Alhambra Bioscoop kemudian berkembang dan berkembang muncul bioskop lainnya ketika animo masyarakat mulai naik," Kata Ari Headbang

Setelah itu, muncul Sriwedari Bioscoop dan Schowburg Bioscoop. Minat masyarakat yang terus meningkat akan hadirnya film, membuat sejumlah pengusaha mulai membuka bioskop-bioskop dengan berbagai fasilitas.

Perkembangan film dan bioskop di solo juga terus meningkat. Pihak bioskop juga mempunyai ide untuk memberitahukan film yang diputar atau akan ditayangkan kepada masyarakat.

Mereka mulai membuat baliho dan flyer atau mini poster sebagai media pemasaran film-film tersebut. Selain itu, ada juga bioskop yang mengeluarkan buletin dan majalah film.

"Schowburg Bioscoop misalnya membuat buletin untuk mempromosikan film-film yang akan tayang," ujar Ari.

Konsep ini merupakan cara paling jitu untuk menarik minta masyarakat. Mereka lebih paham mengenai perkembangan zaman dari film-film yang akan diputar pada masa itu.

Bahkan ketika film populer sedang tayang, ramainya seperti orang yang punya gawe "nikahan", karena banyaknya poster-poster hingga kerumunan orang yang luar biasa.

Baca juga: Menyusuri Gedung Bioskop di Senen yang Gelap dan Mencekam..

Mengenang

Ari Headbang selaku narasumber menjelaskan kisah bioskop lawas di SoloKOMPAS.com/Aswab Nanda Prattama Ari Headbang selaku narasumber menjelaskan kisah bioskop lawas di Solo
Peserta diskusi juga membicarakan situasi berbeda antara bioskop zaman dulu dengan zaman sekarang. Kalau sekarang, bioskop pukul rata untuk tiket masuknya, dulu dibedakan dengan pembagian kelas tempat duduk.

Terdapat kelas 1, 2 hingga VIP bagi penonton. Perbedaan kursi dan jarak bagi penonton untuk menyaksikan film merupakan perbedaan untuk sektor ini.

Seorang peserta diskusi mengungkapkan perbedaan kelas yang begitu terasa ketika menonton bioskop.

"Dulu ada kursi kelas 1 dan 2. Jadi kalo saya nonton kelas 2 dan memakai celana pendek, pasti terasa gatal karena ada hewan kecil di kursi rotan," tuturnya.

Selain itu juga ada perbedaan yang cukup signifikan menonton film. Ketika film sedang berjalan, kadang harus berhenti sebentar untuk menunggu rol film yang sedang dikirim kurir.

Beberapa bioskop di Surakarta biasanya bekerja sama. Satu film biasanya terdapat beberapa rol atau reel yang harus diputar secara bergantian.

"Jadi kalau bioskop A tayang film pukul 15.00, maka di bioskop B harus jeda setengah jam menunggu rol datang. Hal ini karena rol film baru diantarkan seorang dari bioskop satu ke bioskop lainnya," ujar Ari.

Sayangnya, kondisi inilah kadang menimbulkan kemarahan bagi penonton. Karena tak sabar, mereka kadang merusak kursi tempat duduk dan bahkan bersorak-sorakan.

"Balekke duite, baleke duite (kembalikan uangnya, kembalikan uangnya)," demikian teriakan penonton ketika filmnya terlambat.

Keunikan lain adalah terdapat batasan umur ketika menonton film. Untuk mengakali itu, penonton remaja terkadang mempertebal kumis, ada juga yang memakai sepatu dengan hak lebih tinggi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com