Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjuang Mencari Air, Hidup Kering di Karang Dawa (3)

Kompas.com - 17/01/2019, 11:13 WIB
Muhamad Syahri Romdhon,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi


CIREBON, KOMPAS.com – Sebanyak delapan balita di Dusun Karang Dawa, Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, terserang penyakit diare, serta gatal-gatal pada Agustus dan September 2018 lalu.

Mereka masuk dan dirawat di sejumlah rumah sakit di Kota Cirebon, yakni di Budi Luhur, Putra Bahagia, dan Gunung Jati.

Muhamad Dafa adalah salah satu balita yang berusia satu tahun sembilan bulan, yang sempat dirawat selama satu pekan di Rumah Sakit Budi Luhur.

Putra pasangan Cecep Supriyadi (28) dan Imawati (23) ini mengalami diare. Dia terus buang air besar dalam durasi yang cukup sering, dengan bentuk feses yang cair dan banyak.

“Pagi habis ditimbang enggak apa-apa, terus pulang-pulang langsung mencret, terus saya ke bidan, katanya enggak apa-apa. Dikasih obat tapi enggak mempan, akhirnya hari Kamis dibawa ke Budi luhur, niatnya periksa, tapi malah disuruh dirawat, akhirnya dirawat selama satu Minggu,” kata Wati, di hadapan Kompas.com, Kamis (10/1/2019).

Baca juga: Berjuang Mencari Air, Hidup Kering di Karang Dawa (1)

Dalam surat keterangan berobat Senin (6/8/2018), Dafa mengalami diare akut dengan dehidrasi.

Imawati sangat sedih melihat kondisi putranya yang terus menangis, lemah, dan kesakitan.

Setelah satu pekan di RS, berat badan Dafa turun 2 kilogram. Wati sedih karena dalam kondisi seperti itu, tidak ada suami, karena sedang merantau di Kupang.

Wati menyebut, diare yang dialami Dafa karena lingkungan yang kurang sehat dan juga minimnya air bersih. Dia tidak memiliki sumur.

Dia mendapat air bersih dari rumah mertuanya yang berjarak sekitar 100 meter. Air itu juga keluar tidak lancar setiap saat sehingga sangat terbatas.

“Saya enggak punya sumur. Minta sama mertua, tapi pas itu lagi kering jadi sedapatnya. Paling satu hari mandi satu kali, jadi irit-irit. Nyuci tetap di sungai. Air sungai kecil dan banyak yang nyuci, bercampur sabun dan lain-lain,” ujar Wati.

Untuk makan, dia memilih untuk membeli air Rp 4.500 per galon.

Fatimah, kader posyandu Karang Dawa bercerita, tidak hanya Dafa dan tujuh balita lainnya, sakit diare yang berlangsung selama sekitar Agustus sampai Oktober itu dialami anak-anak, remaja, dan dewasa.

“Khususnya bayi yang banyak kena, yang saya bawa itu ada delapan. Itu belum yang diatasi sendiri alias tidak masuk rumah sakit. Yang dewasa itu cenderung tertular,” ujar Fatimah, di lokasi yang sama.

Kemudian, dirinya melapor pada bidan desa, lanjut puskesmas, dan turun ke dusun bersama Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon.

Mereka datang melakukan pemeriksaan pada sumur-sumur warga sambil memeriksa kualitas air.

Akibat virus

Petugas menyebut, penyakit itu karena virus yang menyebar di udara dari banyaknya kotoran warga yang buang air sembarang, bukan wabah seperti yang diduga warga sebelumnya.

Mereka juga terserang penyakit kulit yang disebabkan kualitas air yang kurang baik.

“Iya betul, karena kalau wabah itu kejadiannya serempak, dengan penyebab makanan, atau apa. Tapi, kenyataannya bertahap. Akhirnya, saya turun dan keliling. Ternyata enggak ada penyebab yang dari makanan. Ternyata itu dari udara yang terkontamisasi BAB sembarangan, karena kan lagi musim angin tuh saat itu," kata Ati Rohayati, petugas Puskesmas Pamengkang, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jumat (11/12/2018).

Mereka menemukan sejumlah rumah yang memiliki jamban, tapi tidak dipakai karena tidak ada air.

Akhirnya, para warga buang air di sembarang tempat, mandi dan cuci pakaian di sungai. Hal itu membuat tidak hanya diare, penyakit kulit berupa gatal juga mendominasi.

Baca juga: Berjuang Mencari Air, Hidup Kering di Karang Dawa (2)

“Dari awal, saya tahu bagaimana perkembangannya, tiap tahun seperti itu, dan masalah air enggak bisa tuntas, kayak sudah pasrah. Tidak ada yang memotivasi, apa sih jalan keluarnya, emang posisi Karang Dawa seperti itu, jadikan susah air,” kata istri seorang petugas Polri ini.

Petugas yang sudah 25 tahun menjadi bidan desa setempat mengungapkan, dari total enam dusun, Dusun Karang Dawa yang paling terpencil, tapi dengan daerah yang paling luas, penduduk paling banyak, dan sasaran kesehatan paling banyak, yakni ibu hamil, balita, serta angka kelahiran tinggi.

“Daerah itu menjadi prioritas sejak dulu. Saya matok, rutin setiap hari Selasa. Dari zaman sebagian besar rumah berbentuk gubuk, sekarang sudah bagus. Dari yang takut di posyandu, sampai sekarang datang sendiri,” ungkap ibu tiga anak itu.

Dia menyebut, gerakan dan motivasi anak-anak muda yang tergabung dalam Sekolah Alam Wangsakerta menjadi harapan besar, dengan pemetaan yang mereka lakukan. Semoga hal tersebut dapat merubah kondisi saat ini.

Maemunah (23), warga setempat memohon kepada pemerintah desa untuk dapat membantu membuat penampungan air bersih untuk memenuhi kebutuhan warga yang tak memiliki sumur. Meminta ke tangga, kata Maemunah, tidak selamanya boleh.

“Kalau minta di sumur orang kadang enggak boleh. Katanya, 'buat sendiri saja enggak ada, apalagi buat kamu'. Saya pengen punya sumur sendiri, atau sumur buat bareng-bareng di tengah warga,” harap Maemunah, Senin (14/1/2019).

Dia tidak ingin, putranya yang bernama Alfian (1), yang baru berusia satu tahun, kembali dirawat di RS Budi Luhur selama satu pekan karena diare dan dehidrasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com