Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaji Tak Dibayar, Ani Pilih Kabur dan Menikah dengan Pengungsi Rohingya

Kompas.com - 13/11/2018, 10:27 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Khairina

Tim Redaksi

BANYUWANGI,KOMPAS.com - Ristiani Sulam (46) meletakkan dua potong roti dan semangkuk sayur di atas tikar di ruang depan rumah kerabatnya yang dia tempati sejak awal 2018.

Lalu, perempuan berjilbab hitam itu memanggil Mir Ahmad Bin Kholil Ahmad (48) suaminya, seorang pengungsi Rohingya yang telah menikahinya sejak 11 tahun yang lalu di Malaysia.

Mereka berdua kemudian menikmati sarapan hasil masakan Mir Ahmad Bin Kholil Ahmad di rumah yang ada di Dusun Pekarangan, Desa Kelir, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi yang menjadi tempat tinggal sementara mereka.

"Ini roti chapati buatan suami saya. Dia memang enggak bisa makan nasi. Makannya ya roti chapati seperti ini," jelas Ani.

Kepada Kompas.com, Senin (12/11/2018) Ani mengaku senang bisa berkumpul lagi dengan suaminya yang baru diantarkan oleh petugas Rumah Detensi Imigrasi Surabaya Bangil pada Rabu (8/11/2018) pekan lalu.

Baca juga: Pejabat Myanmar Sebut 2.000 Pengungsi Rohingya akan Pulang November

 Hampir 7 bulan suaminya yang akrab dipanggi Azis tinggal di Rudenim Bangil setelah 3 bulan tiba di Indonesia dan menetap di Banyuwangi bersama Ani dan anak perempuannya.

Aziz harus menghuni Rudenim Bangil karena statusnya sebagai pengungsi Rohingya dan tidak memiliki kelengkapan administrasi.

"Ada surat-surat keterangan dari Malaysia, termasuk keterangan pernikahan saya dan suami.Tapi untuk di Indonesia dia tidak punya," kata Ani sambil menunjukkan map berisi dokumen milik mereka.

Sementara itu Azis kepada Kompas.com dengan bahasa Melayu menjelaskan jika dia tidak betah tinggal di Rudenim Bangil karena harus jauh dari istri dan anaknya.

Setelah mendapatkan kartu resmi dari UNHCR, Azis memilih untuk pulang ke Banyuwangi dan tidak mengambil uang saku bantuan UNHCR PBB.

"Sebagai pengungsi saya harus tinggal di hostel dan mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi tidak saya ambil, saya lebih bahagia berkumpul dengan anak dan istri saya di sini," jelas Azis.

Setelah mendapatkan kartu dari resmi dari UNHCR, Azis wajib melapor setiap 3 bulan sekali ke Surabaya.

Azis meninggalkan Myanmar saat usianya masih genap 20 tahun setelah istri pertama dan anaknya yang berusia 1,5 tahun tewas karena kerusuhan di negaranya.

Azis muda kemudian melarikan diri ke Thailand dan bekerja selama dua tahun. Sejak tahun 1991, Azis pindah dan bekerja di Malaysia. Terakhir, dia bekerja di salah satu perusahaan di Malaysia yang bergerak di bidang kelistrikan.

Pertemuan mereka berdua terjadi pada tahun 2007, setelah Ani memutuskan melarikan diri dari agennya.

Saat itu, Ani dikembalikan oleh majikan ke agen karena meminta gajinya selama setahun yang tidak kunjung dibayar.

"Setelah dikembalikan ke agen, saya dipekerjakan di sekolah dan tidak dibayar. Saat buang sampah, dan ada kesempatan, saya melarikan diri. Hanya bawa baju di badan. Setelah itu bertemu Azis yang membantu mencari pekerjaan dan kami menikah," jelasnya.

Baca juga: Penyelidik PBB Sebut Genosida terhadap Rohingya Masih Berlangsung

Selama di Malaysia, Ani mengurus keluarga barunya dan untuk membantu keuangan dia berjualanan makanan matang.

Keputusan pulang ke Banyuwangi diambil, setelah Ani kangen keluarganya termasuk keempat anaknya yang ditinggal sejak masih kecil.

"Suami pertama pergi meninggalkan saya dan empat anak. Waktu itu yang besar usia 10 tahun dan paling kecil 11 bulan. Tidak ada pilihan lain, sebagai tulang punggung saya harus bekerja jadi TKW," jelas Ani.

Kepulangan Ani dan Azis serta anak perempuannya ke Indonesia bukannya tanpa kendala. Karena tidak memiliki paspor, mereka harus melalui jalur darat.

Dari Malaysia mereka menaiki speedboat selama beberapa jam dan singgah beberapa kali di pulau-pulau kecil, hingga sampai di Dumai Sumatera.

Lalu, mereka menumpang bus menuju Surabaya. Hampir selama 10 hari, mereka melakukan perjalanan dan menghabiskan uang 20 juta rupiah.

"Untuk tiket bus saja habis 6 jutaan. Seandainya punya paspor kita bisa naik pesawat. Tapi saya, suami dan anak tidak ada yang punya," jelasnya.

Dari pernikahannya dengan Azis, Ani memiliki seorang anak perempuan yang bernama Nurhazizah Mir Ahmad (9) yang saat ini duduk di salah satu MI di Kalipuro.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Ani bekerja di rumah salah satu kerabatnya, sedangkan Azis untuk sementara masih tinggal di rumah.

"Secara resmi tidak boleh bekerja di perusahaan tapi dia bisa bantu-bantu untuk membetulkan alat listrik yang rusak," jelasnya.

Ani mengaku, suaminya sempat mendapatkan tawaran untuk menjadi warga negara Amerika, namun dia sendiri ingin menetap di Banyuwangi.

"Anak-anak saya sudah besar, ada yang mau nikah juga. Yang paling kecil juga sudah dapat sekolah disini. Semoga suami juga bisa tinggal di Indonesia seterusnya biar tenang, bisa kumpul bareng," pungkas Ani. 

Kompas TV Bantuan bagi 76 warga Rohingnya yang terdampar di Aceh mulai disalurkan.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com