Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelangi Tak Pernah Satu Warna...

Kompas.com - 21/03/2018, 07:36 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati,
Reni Susanti

Tim Redaksi

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Dyo Candra (15) terlihat asyik berlatih barongsai dengan seorang rekannya di halaman Klenteng Hoo Tong Bio. Dengan lincah, Dyo bergerak mengikuti musik yang dimainkan.

Saat beristirahat, mereka asyik bercanda sambil menikmati nasi bungkus yang telah disiapkan pengurus klenteng yang berada di kawasan Pecinan, Kelurahan Karanrejo, Banyuwangi.

Dyo adalah warga sekitar klenteng yang bergabung dengan kelompok barongsai sejak setahun terakhir. Walaupun pemain barongsai mayoritas warga etnis tionghoa, namun Dyo tidak pernah merasa berbeda dengan rekan-rekannya dalam satu kelompok barongsai.

"Sudah nggak zamannya ngomongin perbedaan warna kulit atau suku, yang penting latihan bareng. Saya juga keturunan tapi dulu, dulu, dan dulu," kata Dyo kepada Kompas.com Senin (19/3/2018) sambil tertawa.

(Baca juga : Kilin, Barongsai Tunggangan Dewa yang Kian Langka di Indonesia )

Awalnya Dyo bergabung dengan kelompok barongsai karena diajak rekannya. Dia langsung mengiyakan ajakan tersebut karena sering melihat pertunjukan barongsai dan tertarik untuk bergabung.

"Pertama latihan jatuh-jatuh apalagi saat angkat teman. Tapi diajari sama teman-teman sekarang sudah bisa. Sudah nggak bingung lagi antara gerakan sama musik," kata Dyo.

Barongsai sebelum tampil di Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi.KOMPAS.com/Ira Rachmawati Barongsai sebelum tampil di Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi.
Remaja kelahiran Banyuwangi 26 Juni 2003 tersebut mengaku tidak pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif walaupun bergaul dengan rekan-rekannya yang mayoritas etnis tionghoa.

Namun dia bercerita, banyak penonton yang kaget ketika dia keluar dari kostum barongsai setelah pertunjukan.

"Eh ternyata Jawa. Gitu katanya. Saya sih nggak pernah nanggapi serius karena barongsai memang kesenian dari Tionghoa tapi semua bisa main kok. Yang penting punya niat dan mau berlatih. Nggak apa-apa. Ini kesenian. Saya Islam keluarga saya Islam. Nggak apa-apa," katanya.

Saat ini, Dyo menjadi bagian ekor ketika tampil barongsai dan dia rutin berkumpul dengan rekan-rekannya minimal seminggu sekali. Jika akan pentas, mereka bisa latihan setiap malam.

Ada sekitar 50 orang yang ikut berlatih barongsai. Dyo sendiri memiliki julukan unik pada setiap barongsai yang dimainkannya.

"Ada yang saya sebut si merah karena warnanya merah. Ada si tanduk soalnya punya tanduk. Ada juga Tedy karena wajahnya lucu gitu," jelas Dyo sambil menunjukkan barongsai yang sering dia mainkan.

Seluruh tim dan pemain film pendek Pelangi Tak Pernah Satu Warna foto bersama di Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi.KOMPAS.com/Ira Rachmawati Seluruh tim dan pemain film pendek Pelangi Tak Pernah Satu Warna foto bersama di Klenteng Hoo Tong Bio Banyuwangi.

Film Pendek

Cerita tentang persahabatan antar pemain barongsai ini menjadi ide untuk pembuatan film pendek yang berjudul "Pelangi Tak pernah Satu Warna". Film berdurasi tujuh menit itu diputar saat Festival Imlek yang digelar 17 Maret 2018 di Klenteng Hoo Tong Bio.

Ranee, tim produksi kepada Kompas.com Selasa (20/3/2018) menjelaskan film "Pelangi Tak Pernah Satu Warna" bercerita tentang Slamet, anak seorang seniman Barong Using yang suka sekali dengan barongsai.

Slamet lalu bersahabat dengan anak-anak etnis tionghoa dan berlatih barongsai di klenteng. Tapi sayangnya keputusan Slamet untuk belajar barongsai ditentang ayahnya karena dianggap bukan kebudayaan dari leluhurnya.

Pada saat barongsai akan tampil, Slamet diminta rekan-rekannya untuk menggantikan sahabatnya Fung yang cidera saat latihan.

Awalnya, Slamet menolak karena takut kepada ayahnya. Namun dia kemudian menyanggupi walaupun ayahnya melarangnya. Karena jika tidak tampil, maka barongsai akan dimainkan karena kekurangan personil.

Pada saat tampil sebagai pemain barongsai, ayah Slamet datang untuk menonton. Dia tidak menyadari jika pemain barongsai yang lincah dan mendapat sambutan baik dari para penonton adalah Slamet anaknya.

Potongan film Pelangi Tak Pernah Satu Warna.KOMPAS.com/Ira Rachmawati Potongan film Pelangi Tak Pernah Satu Warna.

"Film Pelangi Tak Pernah Satu Warna memberi pesan bahwa perbedaan apapun itu seperti suku, ras, budaya, atau agama bukan untuk diperdebatkan. Tapi keberagaman itulah yang menjadikan indah seperti pelangi," tuturnya.

"Tidak ada pelangi satu warna. Pelangi itu banyak warna dan itu yang dimiliki oleh Indonesia. Dan kami ingin menyampaikan pesan itu lewatt film kepada masyarakat," jelasnya.

Sementara itu, Susana Indriarty (66), ketua (TITD) Hoo Tong Bio mengatakan, pemain barongsai bukan hanya dari etnis Tionghoa. Siapapun yang bergabung akan diterima dengan baik.

"Semua bisa bergabung. Kami tidak membatasi hanya golongan tertentu. Yang suka nonton barongsai bukan hanya etnis tionghoa saja kan," jelasnya sambil tersenyum.

Dia juga mendukung pembuatan film pendek yang mengangkat cerita tentang pemain barongsai. Bahkan, menurut perempuan yang akrab dipanggil Susan ini, banyak kegiatan yang dilakukan umat Tridharma Klenteng Hoo Tong Bio yang melibatkan masyarakat sekitar.

"Pada saat bulan Ramadhan kita rutin berbagi takjil untuk mereka yang berpuasa. Indonesia ini dibangun atas keberagaman untuk saling menghormati. Bersama-sama membangun Banyuwangi dan Indonesia. Saling mendokan agar bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan kuat," pungkasnya.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com