Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah 12 Tahun Perdamaian, Aceh Masih Dihantui Kemiskinan

Kompas.com - 15/08/2017, 12:46 WIB
Masriadi

Penulis

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com – Hari ini, Selasa (15/8/2017), genap 12 tahun usia perjanjian damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Pada tanggal yang sama 12 tahun silam, mantan Menteri Hukum dan HAM RI atas nama Pemerintah RI, Hamid Awaluddin dan perwakilan GAM, Malik Mahmud sepakat mengakhiri konflik bersenjata Aceh yang sudah berlangsung selama 35 tahun lebih.

Kesepakatan damai dilakukan melalui jalur perundingan di Helsinki, Finlandia. Itulah awal harapan baru bagi masyarakat di kawasan terujung Pulau Sumatera itu untuk hidup tenang dan damai.

Namun, setelah 12 tahun berlalu, ternyata masih ada yang harus dibenahi di Aceh dan hingga kini belum selesai, salah satunya masalah kemiskinan.

Baca juga: Eks Tapol dan Napol GAM Tuntut Janji Pemberian Lahan dan Rumah

Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara, Prof Apridar menyatakan, dalam konteks keamanan, Aceh sudah jauh lebih kondusif.

“Namun, sektor kemiskinan patut dibenahi. Angka kemiskinan kita tahun ini masih berkutat 16,4 persen. Salah satu esensi MoU adalah mengentaskan kemiskinan dalam pelukan perdamaian,” jelas Apridar.

Sedangkan angka pengangguran, sambung Prof Apridar, mencapai 7 persen dari jumlah penduduk 5 juta jiwa lebih di provinsi itu.

“APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) kita tahun ini sekitar 14 triliun rupiah. Itu angka yang besar dan sejatinya bisa digunakan untuk mengentaskan pengangguran dan kemiskinan," terangnya.

Dia menyebutkan, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang baru dilantik dua bulan lalu diharapkan mampu membawa perubahan dan mengentaskan persoalan penganguran dan kemiskinan.

“Salah satu caranya, mensinergikan industri, pemerintah dan perguruan tinggi untuk mengentaskan kemiskinan itu. Jadi, kita harus keluar dari angka provinsi termiskin sesegera mungkin,” harap Prof Apridar.

Sementara itu, juru bicara Partai Aceh, Suaidi Sulaiman Laweung, menyoroti soal kekhususan Aceh dalam UU Pemerintah Aceh.

“Pemerintah pusat ini saya sebut orang yang mau hamil tapi tak mau melahirkan. Buktinya, kekhususan Aceh dipangkas dalam UU Pemerintah Aceh. Terakhir, dicabutnya pasal 57 dan 60 seiring disahkannya UU Pemilu,” sebutnya.

Seharusnya, kata Laweung, pemerintah pusat berkonsultasi terlebih dahulu jika ada kebijakan nasional yang terkait dengan Aceh.

“Saya juga kritik DPR Aceh dan Pemerintah Aceh, mereka harus pro aktif. Jangan ketika ada kekhususan Aceh dicabut baru ribut. Siapkan payung sebelum hujan, jangan ketika hujan panik cari payung,” katanya.

Dia sepakat kemiskinan dan pengangguran menjadi catatan penting dalam 12 tahun perdamaian Aceh. Lalu, apa kata rakyat Aceh?

“Terpenting itu masyarakat mudah cari kerja, ketersediaan bahan pokok ada. Bukankah berdamai salah satu tujuan paling dasar adalah untuk kesejahteraan rakyat. Mungkin ini perlu fokus ke pengentasan kemiskinan,” sebut Muammar, warga Desa Blang, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara.

Baca juga: Doa dan Zikir Bersama Warnai Peringatan 11 Tahun Damai Aceh

Dia meminta fokus pemerintah bukan semata-mata pembangunan fisik.

“Membangun industri dan terciptanya lapangan kerja juga harus terus didorong. Agar rakyat punya kerja,” pungkasnya.

Kompas TV Wisata ‘Selfie’ di Masjid Baiturrahman Banda Aceh
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com