PEMILIHAN Gubernur Jawa Timur 2018 tinggal menghitung hari. Nama-nama yang bakal maju sebagai calon gubernur pun sebetulnya sudah bisa dengan mudah ditebak.
Menariknya, seperti halnya di Jawa Barat, PDI-P, lagi-lagi tak punya calon kuat untuk maju dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Timur.
Sosok Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau biasa disapa Risma, yang sebelumnya digadang-gadang sejumlah kecil faksi di PDI-P agar maju ke DKI Jakarta pun sebetulnya tak cukup memiliki akar di kalangan partai berlambang Banteng itu.
Seperti halnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Risma bukanlah kader PDI-P. Pada awal karir politiknya tahun 2009, Risma dapat melaju sebagai calon walikota Surabaya pun berkat putusan Megawati. Padahal saat itu, petahana Bambang Dwi Hartono yang lebih ngebet mencalonkan diri.
Lewat Bu Mega, Risma mendapat tiket sebagai calon Wali Kota Surabaya didampingi Bambang Dwi Hartono. Sebuah keputusan yang terbilang mengejutkan karena justru kader PDI-P sejati hanya ditempatkan sebagai pendamping.
Jalan Risma sangatlah terjal. Sejumlah faksi PDI-P Surabaya menolak pencalonan Risma yang berasal dari luar partai. Dinamika yang terjadi sepintas mirip bagaimana kader PDI-P di Jakarta ketika menolak Ahok jika maju dengan baju merah menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017.
Setelah menang dan menjabat sebagai Wali Kota Surabaya hingga dua kali berturut-turut, pada masa pemerintahan kedua dengan didampingi Wisnu Sakti Buana pun beberapa kali Bu Mega harus turun langsung membentengi Risma yang diganggu kader PDI-P.
Saya cenderung melihat dengan latar belakang birokrat tulen dan minimnya ambisi Risma pada jabatan politik, akan cukup sulit memaksakannya untuk maju sebagai calon gubernur Jatim yang jauh lebih kompleks dibandingkan Surabaya.
Mengapa? Sejauh ini Jatim adalah basis Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meskipun nyatanya kader yang diusung PKB yaitu Khofifah Indar Parawansa dalam dua pilgub terdahulu justru selalu terdepak dari permainan.
Kemana PDI-P dalam dua Pilkada tersebut? Kalah telak! Pada 2008, PDI-P sebagai jawara Pemilu 2004 percaya diri mengusung Sutjipto-Ridwan harus gigit jari. Tak belajar dari sejarah, kejadian serupa terulang pada Pilgub 2013 ketika wakil mereka Bambang Dwi Hartono-Said Abdullah gagal total.
Belajar dari dua kekalahan terdahulu dan hasil pahit di DKI Jakarta, mungkin sudah sepatutnya PDI-P mau belajar dan lebih taktis menghadapi Pilgub Jatim. Benar bahwa PDI-P memiliki Risma yang sempat tenar di media arus utama dan media sosial.
Tidak bisa dibantah juga, lagi-lagi belajar dari kasus DKI Jakarta, popularitas calon tanpa akar yang kuat hingga ke basis massa terbawah hanyalah menjadi awal kekecewaan.
Belajar dari kasus Ahok, PDI-P mesti berhitung ketika memajukan Risma yang merupakan sosok birokrat dengan niat mengabdi seutuhnya sekaligus terkenal tak mau kompromi dengan selingkuh politik-bisnis yang kotor.