Salin Artikel

Gus Ipul dan Godaan Pulang ke Kandang Banteng

Menariknya, seperti halnya di Jawa Barat, PDI-P, lagi-lagi tak punya calon kuat untuk maju dalam pemilihan kepala daerah di Jawa Timur.

Sosok Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau biasa disapa Risma, yang sebelumnya digadang-gadang sejumlah kecil faksi di PDI-P agar maju ke DKI Jakarta pun sebetulnya tak cukup memiliki akar di kalangan partai berlambang Banteng itu.

Seperti halnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Risma bukanlah kader PDI-P. Pada awal karir politiknya tahun 2009, Risma dapat melaju sebagai calon walikota Surabaya pun berkat putusan Megawati. Padahal saat itu, petahana Bambang Dwi Hartono yang lebih ngebet mencalonkan diri.

Lewat Bu Mega, Risma mendapat tiket sebagai calon Wali Kota Surabaya didampingi Bambang Dwi Hartono. Sebuah keputusan yang terbilang mengejutkan karena justru kader PDI-P sejati hanya ditempatkan sebagai pendamping.

Jalan Risma sangatlah terjal. Sejumlah faksi PDI-P Surabaya menolak pencalonan Risma yang berasal dari luar partai. Dinamika yang terjadi sepintas mirip bagaimana kader PDI-P di Jakarta ketika menolak Ahok jika maju dengan baju merah menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017.

Setelah menang dan menjabat sebagai Wali Kota Surabaya hingga dua kali berturut-turut, pada masa pemerintahan kedua dengan didampingi Wisnu Sakti Buana pun beberapa kali Bu Mega harus turun langsung membentengi Risma yang diganggu kader PDI-P.

Saya cenderung melihat dengan latar belakang birokrat tulen dan minimnya ambisi Risma pada jabatan politik, akan cukup sulit memaksakannya untuk maju sebagai calon gubernur Jatim yang jauh lebih kompleks dibandingkan Surabaya.

Mengapa? Sejauh ini Jatim adalah basis Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meskipun nyatanya kader yang diusung PKB yaitu Khofifah Indar Parawansa dalam dua pilgub terdahulu justru selalu terdepak dari permainan.

Kemana PDI-P dalam dua Pilkada tersebut? Kalah telak! Pada 2008, PDI-P sebagai jawara Pemilu 2004 percaya diri mengusung Sutjipto-Ridwan harus gigit jari. Tak belajar dari sejarah, kejadian serupa terulang pada Pilgub 2013 ketika wakil mereka Bambang Dwi Hartono-Said Abdullah gagal total.

Belajar dari dua kekalahan terdahulu dan hasil pahit di DKI Jakarta, mungkin sudah sepatutnya PDI-P mau belajar dan lebih taktis menghadapi Pilgub Jatim. Benar bahwa PDI-P memiliki Risma yang sempat tenar di media arus utama dan media sosial.

Tidak bisa dibantah juga, lagi-lagi belajar dari kasus DKI Jakarta, popularitas calon tanpa akar yang kuat hingga ke basis massa terbawah hanyalah menjadi awal kekecewaan.

Belajar dari kasus Ahok, PDI-P mesti berhitung ketika memajukan Risma yang merupakan sosok birokrat dengan niat mengabdi seutuhnya sekaligus terkenal tak mau kompromi dengan selingkuh politik-bisnis yang kotor.

Pulang kandang

Suka tidak suka, demi mengamankan basis PDI-P di Jawa Timur, barangkali strategi memulangkan Gus Ipul ke kandang Banteng bisa menjadi pilihan yang lebih rasional dibandingkan mendorong Risma maju sebagai cagub.

Mengapa saya menggunakan diksi memulangkan? Tak lain sejarah politik Gus Ipul sejatinya diawali sebagai representasi PDI-P di Senayan pasca Pemilu 1999. Gus Ipul adalah pemegang mandat hubungan Gus Dur-Mega saat itu.

Sayang, keretakan relasi Gus Dur-Mega juga yang membuat Gus Ipul terpental dari PDI-P dan DPR, mantan Ketua Umum GP Ansor itu memilih masuk PKB hingga menjadi Sekretaris Jenderal PKB hasil muktamar PKB tahun 2002.

Dengan sejarah tersebut bisa jadi kepulangan Gus Ipul ke PDI-P akan cukup mudah, meskipun ada ganjalan sejarah yang mungkin akan sedikit menganggu yakni kemesraan Gus Ipul dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dikenal sebagai rival berat Bu Mega pada Pemilu 2004.

Semua juga tahu, untuk kedekatan tersebut, Gus Ipul diganjar jabatan sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal pada Kabinet Indonesia Bersatu dari Oktober 2004 hingga Mei 2007.

Pilihan taktis SBY yang jitu, sebab Gus Ipul sebagai orang yang dekat dengan Gus Dur sukses membuat suara PKB terpecah.

Suara-suara memulangkan Gus Ipul ke PDI-P pun sebetulnya sudah sempat terdengar di kalangan elit Banteng. Beberapa wacana dengan narasi nyamannya hubungan PDI-P dengan Nahdlatul Ulama dengan balutan nostalgia perjuangan Gus Dur-Megawati dapat menjadi indikasi kepulangan Gus Ipul.

Dari hitung-hitungan kekuatan pun, kedua partai dapat dengan jelas mengindikasikan bagaimana komposisi cagub-cawagub mendatang. Saat ini PKB memiliki 20 kursi di DPRD Jatim, sedangkan PDI-P memiliki 19 kursi.

Andai kesepakatan di tingkat elit partai tercapai, dengan konsekuensi menyingkirkan Khofifah Indar Parawansa, maka tak akan sulit bagi aliansi PKB-PDI-P untuk kemudian memasangkan dan memasarkan Gus Ipul dengan Risma di Jawa Timur yang memiliki kencenderungan basis massa yang nasionalis dan Islam tradisional.

Meski demikian, skenario ideal ini bukan tidak mungkin batal ketika partai lain yang berseberangan dengan PDI-P buru-buru meminang Gus Ipul. Setidaknya ada Partai Demokrat dan Gerindra yang juga tengah berburu cagub mereka.

Meskipun bukan partai dominan di Jawa Timur, kedua partai bahkan sudah berpengalaman membentuk aliansi partai yang mengantarkan Soekarwo-Saifullah Yusuf. Apalagi, aliansi keduanya di Pilkada DKI terbukti berhasil.

Pada sisi lain, ada faktor "X" yang bisa jadi membuat PDI-P terlambat bergerak. Apalagi jika bukan faktor restu Megawati. Tanpa restu Bu Mega yang mirip bintang jatuh, mana berani kader-kader PDI-P bergerak mendekati Gus Ipul yang sejatinya sudah memberikan sinyal untuk pulang kandang demi Pilgub Jatim 2018.

https://regional.kompas.com/read/2017/07/29/07000041/gus-ipul-dan-godaan-pulang-ke-kandang-banteng

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke