Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Kadir Karding
Politisi

Sekretaris Jenderal DPP PKB Periode 2014-sekarang. Anggota DPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019 dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mewakili Jawa Tengah. Saat ini menjabat sebagai anggota Komisi III DPR RI. Alumnus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang tahun 1997.

Mudik dan Renungan dari Kampung Halaman

Kompas.com - 11/07/2017, 12:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Kira-kira sepekan menjelang Lebaran, saya memutuskan pulang ke kampung halaman. Bahasa bekennya mudik. Kampung saya berada di Desa Ogoamas, Kecamatan Sojol Utara, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah.

Apakah kampung saya terdengar asing bagi para pembaca? Jika ya, tak usah khawatir. Lewat tulisan ini, saya akan beri sedikit gambaran tentang keindahan kampung saya dan mungkin sedikit pengalaman selama mudik Lebaran. Mudah-mudahan bisa jadi bekal jika suatu hari pembaca berkenan tandang.

Butuh waktu sekitar dua jam 45 menit bagi pesawat yang saya tumpangi dari Bandara Soekarno-Hatta untuk tiba di Bandara Mutiara--sekarang berganti nama Bandara sis Aljufri (penyebar agama islam  pendiri alkhaerat), Palu.

Dari situ saya masih harus menempuh perjalanan sekitar 6 sampai 8 jam menggunakan mobil untuk tiba di Kabupaten Donggala. Lumayan panjang sebab jarak antara Palu dan desa berkisar 265 kilometer. Perjalanan itu mungkin akan terasa membosankan seandainya Tuhan tidak mengaruniakan keindahan alam yang luar biasa di tanah Sulawesi Tengah.

Gugusan pantai Selat Sulawesi menemani perjalanan saya pulang. Salah satu pantai yang indah dan boleh dibilang masih perawan adalah Pantai Pesik. Pantai ini berada di Kabupaten Donggala. Kala siang menjelang, pemandangannya begitu menawan.

Pasir putihnya yang selembut tepung berkilauan. Berpadu dengan air jernih dan perahu nelayan tradisional yang mengapung di kejauhan. Sedap nian!

Selain itu, mata saya juga dihibur dengan pemandangan alam berupa hamparan sawah, kebun cengkih, dan rimbunnya tanaman cokelat. Ya, sebagian masyarakat di Kabupaten Donggala, selain menjadi nelayan dan berdagang, masih menggantungkan hidup dengan cara bertani dan berkebun.

Kecamatan Sojol Utara tempat di mana desa saya berada terkenal dengan batu mulianya: giok sojol. Beberapa orang percaya, batu ini bisa memberi kekuatan fisik hingga mengobati berbagai penyakit. Terlepas dari kepercayaan itu, sukar dimungkiri giok sojol memang rupawan untuk dijadikan perhiasan.

Meski agak terpencil, kampung saya sebenarnya memiliki pemandangan alam yang cukup lumayan. Dari desa saya bisa terlihat Gunung Sojol. Gunung ini merupakan sala satu gunung yg cukup tinggi di Sulawesi Tengah.

Waktu kecil, saya suka mengunjungi gunung ini (kaki gunung dan lereng) untuk membantu nenek dan bibi memetik cengkih. Biasanya saya mendapat upah untuk setiap liter cengkih segar yang belum dikeringkan. Lumayan untuk menambah uang jajan.

Jangan lupakan Sungai Tandeo, Sungai Labulang, dan Air Terjun Siombo. Saat kecil hingga remaja tempat-tempat itu selalu menjadi tujuan favorit wisata saya bersama teman-teman.

Kami biasa mandi di sana saat akhir pekan. Alasannya sederhana saja, gratis dan menyenangkan. Yang tidak kalah menarik keindahan sunset dilihat dari Pantai Ogoamas. Tempat pas melepas lelah.

Kampung dan renungannya

Suasana Lebaran di Desa Ogoamas penuh keakraban. Orang-orang biasanya membuat makanan khas serupa ketupat atau lontong. Mereka menyebutnya tumbu-tumbu, burasa, atau bokong. Sajian ini paling nikmat dimakan dengan opor ayam atau coto Makassar.

Dalam beberapa hal rasa kekeluargaan di antara orang desa masih terjalin erat. Saat sebuah keluarga menggelar pesta pernikahan, misalnya, para tetangga dari penjuru kampung akan saling berinisiatif membantu. Masing-masing orang mengambil peran sesuai dengan kemampuan di bidangnya masing-masing.

Ada yang membantu memasak, mendekorasi pelaminan, membuat panggung bagi dua calon mempelai (massaropo), hingga segala macam tetek bengek yang intinya meringankan beban si empunya hajat.

Gotong-royong tersebut, menurut saya, menjadi istimewa di tengah kebiasaan orang-orang kota yang lebih gemar mengandalkan jasa event organizer untuk mengelola dan menyelenggarakan hajat serupa pernikahan.

Sedihnya tradisi gotong-royong ini mulai hilang dalam urusan menanam dan memanen padi. Dahulu, saat musim panen tiba misalnya, para petani biasa bersama-bersama memisahkan kulit padi dan isinya (gabah dan beras), bergotong-royong menanam padi kala musim tanam tiba. Tapi sekarang kebersamaan itu sudah digantikan oleh mesin-mesin buatan luar negeri.

Setelah saya renungkan, hal ini punya sisi positif dan negatifnya sendiri. Pada tataran fungsional, kehadiran mesin-mesin canggih itu mungkin menguntungkan secara ekonomis. Cara kerjanya cepat, biaya operasionalnya relatif lebih murah dibandingkan manusia, dan hasilnya lebih mangkus serta sangkil.

Pada tataran simbolik, mesin-mesin canggih itu juga menawarkan citra kemodernan yang identik dengan kemutakhiran, kecepatan, dan kepraktisan. Tapi di sinilah justru menurut saya persoalan ikut muncul.

Kemutakhiran, kecepatan, dan kepraktisan yang dihadirkan mesin-mesin canggih tak jarang malah membuat kita terjebak ke dalam budaya instan. Saya perhatikan mesin-mesin yang bekerja dengan bahan bakar minyak itu mendidik kita menjadi manusia konsumtif: beli dan habiskan.

Karena sudah bergantung pada mesin, kita juga dibuat lupa bagaimana caranya merawat hubungan, memahami perasaan, dan bersusah payah menyelami persoalan bersama.

Kita hidup dalam ketergesa-gesaan, terasing dari sejarah, dan tidak mampu berefleksi dari masa lalu. Akibatnya, rasa guyub dan gotong-royong yang menjadi simpul-simpul ikatan sosial perlahan mengikis oleh ego-ego individu.

Persis seperti kata Erich Formm mengenai homo cunsumers, yakni manusia yang berilusi bahagia dengan cara terus berbelanja, namun jiwanya sebenarnya pepak dengan kebosanan lantaran terus didikte untuk membeli. Atau dalam bahasa Goethe: milikmu adalah roti yang tidak pernah mengenyangkan.

Dari renungan-renungan itu saya berpikir, mungkinkah bagi kita menerima kemajuan teknologi tanpa mencerabut nilai-nilai jati diri kita sebagai manusia? Mungkinkah bagi kita merawat tradisi dengan tidak mengabaikan produk-produk pertanian yang mangkus dan sangkil? Jika mungkin bagaimana pula caranya?

Ah, niat hati ingin menceritakan pengalaman mudik Lebaran dan keindahan kampung halaman saya kok malah berpikir keruwet-ruwetan begini, ya? Nah, mumpung masih suasana Lebaran kiranya pembaca berkenan memaafkan. Salam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com