Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Abdul Kadir Karding
Politisi

Sekretaris Jenderal DPP PKB Periode 2014-sekarang. Anggota DPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019 dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mewakili Jawa Tengah. Saat ini menjabat sebagai anggota Komisi III DPR RI. Alumnus Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang tahun 1997.

Mudik dan Renungan dari Kampung Halaman

Kompas.com - 11/07/2017, 12:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Ada yang membantu memasak, mendekorasi pelaminan, membuat panggung bagi dua calon mempelai (massaropo), hingga segala macam tetek bengek yang intinya meringankan beban si empunya hajat.

Gotong-royong tersebut, menurut saya, menjadi istimewa di tengah kebiasaan orang-orang kota yang lebih gemar mengandalkan jasa event organizer untuk mengelola dan menyelenggarakan hajat serupa pernikahan.

Sedihnya tradisi gotong-royong ini mulai hilang dalam urusan menanam dan memanen padi. Dahulu, saat musim panen tiba misalnya, para petani biasa bersama-bersama memisahkan kulit padi dan isinya (gabah dan beras), bergotong-royong menanam padi kala musim tanam tiba. Tapi sekarang kebersamaan itu sudah digantikan oleh mesin-mesin buatan luar negeri.

Setelah saya renungkan, hal ini punya sisi positif dan negatifnya sendiri. Pada tataran fungsional, kehadiran mesin-mesin canggih itu mungkin menguntungkan secara ekonomis. Cara kerjanya cepat, biaya operasionalnya relatif lebih murah dibandingkan manusia, dan hasilnya lebih mangkus serta sangkil.

Pada tataran simbolik, mesin-mesin canggih itu juga menawarkan citra kemodernan yang identik dengan kemutakhiran, kecepatan, dan kepraktisan. Tapi di sinilah justru menurut saya persoalan ikut muncul.

Kemutakhiran, kecepatan, dan kepraktisan yang dihadirkan mesin-mesin canggih tak jarang malah membuat kita terjebak ke dalam budaya instan. Saya perhatikan mesin-mesin yang bekerja dengan bahan bakar minyak itu mendidik kita menjadi manusia konsumtif: beli dan habiskan.

Karena sudah bergantung pada mesin, kita juga dibuat lupa bagaimana caranya merawat hubungan, memahami perasaan, dan bersusah payah menyelami persoalan bersama.

Kita hidup dalam ketergesa-gesaan, terasing dari sejarah, dan tidak mampu berefleksi dari masa lalu. Akibatnya, rasa guyub dan gotong-royong yang menjadi simpul-simpul ikatan sosial perlahan mengikis oleh ego-ego individu.

Persis seperti kata Erich Formm mengenai homo cunsumers, yakni manusia yang berilusi bahagia dengan cara terus berbelanja, namun jiwanya sebenarnya pepak dengan kebosanan lantaran terus didikte untuk membeli. Atau dalam bahasa Goethe: milikmu adalah roti yang tidak pernah mengenyangkan.

Dari renungan-renungan itu saya berpikir, mungkinkah bagi kita menerima kemajuan teknologi tanpa mencerabut nilai-nilai jati diri kita sebagai manusia? Mungkinkah bagi kita merawat tradisi dengan tidak mengabaikan produk-produk pertanian yang mangkus dan sangkil? Jika mungkin bagaimana pula caranya?

Ah, niat hati ingin menceritakan pengalaman mudik Lebaran dan keindahan kampung halaman saya kok malah berpikir keruwet-ruwetan begini, ya? Nah, mumpung masih suasana Lebaran kiranya pembaca berkenan memaafkan. Salam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com