Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Jarod Berjuang Sekolahkan 3 Anaknya hingga Sarjana dari Sepatu Rusak

Kompas.com - 31/05/2017, 14:32 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Tepat di samping pintu masuk masjid An-Nurumi Jalan Solo Km 15, Candisari Kalasan, Sleman, Yogyakarta, sebuah bangunan kecil dengan cat putih dan cendela kayu berwarna hijau berdiri.

Di dalam ruangan dengan luas sekitar 3x3 meter ini, seorang pria yang rambutnya kini telah memutih sedang duduk di antara tumpukan sepatu dan sandal di sebelah kanan dan kirinya.

Di bagian atasnya, sejumlah tas, mulai dari ukuran kecil hingga besar dan berbagai jenis tertambat pada sebuah paku. Jari-jarinya yang tak muda lagi masih cekatan menjahit sebuah sepatu.

Suara lalu lalang kendaraan bermotor yang melintas jalan Solo Km 15 menjadi teman setianya di kala bekerja.

Pria tersebut adalah Slamet Budiono Jarod. Usianya kini telah menginjak 60 tahun. Sehari-hari dia bekerja mereparasi sepatu dan tas. Pekerjaan ini sudah ditekuninya sejak lama untuk menghidupi keluarganya.

"Saya buka reparasi ini sudah lama. Lokasinya dari dulu ya di sini," ujar Slamet Budiono Jarod saat ditemui Kompas.com usai menjalankan Salat Dzuhur di masjid An-Nurumi, Selasa (31/5/2017).

(Baca juga: Cerita Pemeriksa Rel Kereta Api, Jalan Kaki 16 Km Setiap Hari hingga Bisa Kuliahkan Anak ke ITS)

Pada awal sekitar tahun 1974, Jarod merantau ke Sumatera bekerja di perusahaan kayu. Namun beberapa tahun kemudian, dia memutuskan kembali ke Yogyakarta karena perusahaan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan.

"Perusahaan bangkrut dan saya beberapa tidak terima gaji. Ya sudah saya memutuskan pulang saja, waktu itu sudah punya istri tapi belum memiliki anak," ucapnya.

Setelah pulang ke Yogyakarta, Jarod ingin membuka usaha sendiri namun tidak memiliki modal maupun ide.

Seiring berjalannya waktu, bapak berusia 60 tahun ini bertemu dengan seorang teman bernama Ignatius Jumari yang berprofesi sebagai reparasi sepatu, sandal, tas ,dan jaket di daerah Klaten, Jawa Tengah.

Temannya ini meski berprofesi sebagai tukang reparasi namun bisa menghidupi keluarga serta menyekolahkan anak-anaknya.

Terinspirasi, Jarod lalu berangkat ke Klaten dan "nyantri" (belajar) di tempat temannya tersebut. Setelah ilmu yang didapat cukup, Jarod memutuskan untuk membuka usaha reparasi sendiri.

"Saya nyantri istilahnya belajar itu selama 4 tahun. Setelah mendapatkan ilmu, buka sendiri dengan modal Rp 1.500, saat itu saya juga sudah punya anak," ucapnya.

Usaha reparasi ini dijalani hingga saat ini dan meski penghasilanya tidak menentu namun diakuinya cukup untuk keluarga. Setiap hari, Jarod membuka usahanya mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00.

"Reparasi sepatu, sandal itu antara Rp 10.000 sampai Rp 15.000. Ya sehari tidak tentu, kadang dapat Rp 50.000 tapi Alhamdulillah, Allah selalu memberikan rezeki," tandasnya.

Saat waktu shalat tiba, pria yang juga sehari-hari bertugas sebagai takmir masjid An-Nurumi itu menyempatkan diri pulang ke rumahnya di Candisari RT 04/RW 22 Tirtomartani, Kalasan, Sleman, untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu, dia berangkat ke masjid untuk menjalankan ibadah.

Lulus sarjana

Jarod mengaku mempunyai cita-cita sederhana yakni anak-anaknya harus lebih tinggi dibandingkan dirinya.

"Cita-cita saya tidak muluk-muluk. Saya hanya ingin anak-anak melebihi bapaknya," ucapnya.

Cita-cita itu pun kini telah terwujud. Jerih payahnya sebagai tukang reparasi sepatu, sandal dan tas, berbuah manis, dia berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga lulus sarjana.

Bahkan saat ini ketiga anaknya sudah bekerja. Anak pertamanya bekerja di sebuah supermarket besar di Yogyakarta, anak keduanya menjadi notaris dan bungsunya menjadi ahli sanitasi dan biogas.

"Yang pertama kuliah di Janabadra, kedua di Akakom dan yang ketiga di UNY, Alhamdulilah sudah lulus sarjana semua. Sekarang sudah bekerja dan menikah semua," tuturnya.

Dia menuturkan, menyekolahkan tiga anak sampai lulus sarjana bukan hal yang mudah. Sejumlah tantangan dihadapi, mulai dari belum ada uang saat waktu tiba membayar SPP kuliah hingga harus mengurus surat keterangan tidak mampu dari RT hingga kecamatan agar mendapatkan keringanan waktu pembayaran.

Tak hanya itu, Jarod pun sampai harus berutang membayar keperluan ketiga anaknya.

"Pernah terlambat bayar, anak saya menyampaikan alasanya tapi tidak percaya saat anak saya bilang kalau bapaknya tukang reparasi sepatu. Ya disuruh meminta surat tidak mampu ke RT sampai kecamatan, ya akhirnya saya mintakan surat," tuturnya.

Meski Jarod menjadi tukang reparasi sepatu, sandal dan tas, namun menurut dia, ketiga anaknya tidak pernah malu. Justru ketiga anaknya bangga dengan kerja keras bapaknya.

Hal itu pun justru menjadi pemacu semangat untuk bisa lulus kuliah meski dengan segala keterbatasan.

"Anak saya tidak malu Itu yang bikin saya terharu. Mereka berangkat kuliah naik sepeda, sering kali juga bawa bekal makan dari rumah kalau waktu pulangnya sore atau malam," tuturnya.

Meski cita-citanya telah tercapai, sampai saat ini Jarod masih menekuni usahanya menjadi reparasi sepatu, sandal dan tas.

 

Kompas TV Demi menuntut ilmu, setiap hari, siswa Taman Kanak-Kanak hingga tingkat SMA harus berjuang menyeberangi sungai.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com