Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat Tertib Suratmo, Si Pembuat Wayang Karton

Kompas.com - 09/03/2017, 07:17 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Siang itu terik matahari begitu menyengat di Kota Yogyakarta. Di salah satu rumah yang berada Kampung Dipowinatan, Kelurahan Keparakan, Kecamatan Mergangsan, Tertib Suratmo duduk di sebuah kursi yang ada di ruangan depan.

Tepat di depannya terdapat papan kayu datar dengan alas koran bekas dan beberapa plastik berbentuk bulat pipih berisi cat berbagai warna.

Kursi itu terlihat sempit, karena terjepit rak kayu, yang dipenuhi berbagai buku di sebelah kanan. Sementara di sebelah kiri, terdapat meja yang di atasnya terdapat sebuah kardus besar dengan tumpukan-tumpukan karton.

Di dalam keheningan, jari-jarinya yang saat ini telah dipenuhi kerutan menari bersama kuas di atas karton. Panasnya udara karena berada di bawah atap asbes tak menganggu konsentrasinya. Sebuah Kipas angin yang berputar begitu cepat, setidaknya sedikit menyejukkan tubuh Tertib Suratmo yang saat ini telah berusia 76 tahun.

"Ini saya sedang menyungging wayang. Ini (tokoh wayang) Anggodo," ujar Tertib Suratmo, saat ditemui dirumahnya Kampung Dipowinatan, Rt 06/02 MG I /69 , Keparakan, Mergangsan, Kota Yogyakarta Rabu (8/3/2017).

Tertib Suratmo merupakan salah satu pembuat wayang dari karton yang ada di Yogyakarta.

Aktivitas membuat wayang kertas karton ini ia lakukan setiap hari di rumahnya. Sembari memegang karyanya yang belum selesai dikerjakan, Tertib Suratmo menceritakan perjalanan hidupnya hingga akhirnya menekuni membuat wayang berbahan karton.

Dunia wayang sudah dikenalnya sejak masih anak-anak. Bahkan setiap kali ada pementasan wayang, ia tidak pernah ketinggalan menonton.

"Wah, kalau yang namanya nonton wayang saya senangnya bukan main. Setiap ada hajatan di tetangga desa, terus ada wayang, saya selalu nonton," tegasnya.

Kegemarannya itu, menjadikan dirinya tertarik membuat wayang sendiri. Kegiatannya sehari-hari, sembari menggembala kambing, Tertib mencari daun pandan yang ada di pinggir sungai.

Sesampainya di rumah, Tertib lalu menganyam satu-persatu daun pandan tersebut menjadi wayang.

"Awal saya belajar dari bapak saat kecil. Bapak juga punya bakat, cuma tidak pendidikan jadi ya hanya otodidak saja," bebernya.

KOMPAS.com / Wijaya Kusuma Tertib Suratmo saat menunjukan salah satu karyanya
Bakatnya di dunia seni, berlanjut hingga pria kelahiran Klaten 9 Maret 1940 ini memutuskan untuk masuk sekolah seni rupa (sekarang Sekolah Menengah Seni Rupa).

Di sela-sela sekolahnya, Tertib masih tetap mengasah kemampuannya di dunia wayang. Ia lantas ikut kursus menyungging (mewarnai) wayang di kompleks Keraton.

"Pendidikan khusus saya cuma kursus nyungging di kompleks pergelaran Keraton. Ya sekitar tahun 1965 an, tapi saya cuma sebentar disana belajar pokok-pokoknya saja," kata Tertib.

Lulus dari sekolah Pendidikan Seni Rupa, Tertib memutuskan bergabung dengan WS Rendra di Bengkel Teater.

Berbagai proses dan pementasan bersama bengkel teater pernah ia lakoni. Hingga pentas beberapa daerah di Indonesia.

"Dekat kalau sama WS Rendra. Setelah lulus, saya memang gabung bengkel Teater dari tahun 1967 sampai 1975," urainya.

Di Bengkel Teater inilah lanjutnya, ia mendapatkan nama penghargaan. Nama penghargaan yang disematkan kepadanya adalah "Tertib".

"Nama asli saya itu sebenarnya, Suratmo. Nah di bengkel Teater itu ada nama penghargaan, saya diberinama Tertib, sekarang orang-orang manggil saya jadi Tertib Suratmo," terangnya sambil tersenyum.

Di sela-sela setelah latihan atau pementasan, Tertib pun masih menyempatkan membuat gambar sketsa wayang dikertas. Meskipun diakuinya tidak ada teman yang tahu aktivitasnya itu.

Seusai di bengkel Teater, Tertib lantas mendaftarkan diri dan diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia bertugas di SMP Piyungan sebagai pustakawan. Dari Piyungan, Tertib meminta mutasi dan ditempatkan di SMP 16 Kota Yogyakarta.

"Di SMP 16 itu ada karya saya,Wayang Gunungan Pendidikan. Jadi di Gunungan itu ada gambaran mulai SD, SMP, SMA/SMK, terus universitas," ujarnya.

Di masa pensiunnya, ia mengaku sempat merasakan putus asa. Sebab tidak ada aktivitas pekerjaan lagi. Ia hanya membuat wayang dari karton sebagai koleksi pribadi.

"Kenapa tidak wayang kulit, ya pertama karena saya tidak punya modal. Selain itu kan perlu belajar lagi kalau wayang asli, karena tidak asal pembuatanya," ucapnya.

Tahun 2010, seorang warga yang mengetahui jika dirinya membuat wayang dari karton mengajak untuk ikut pameran di event tahunan Pasar Kangen di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).

Berawal dari pameran itulah, Tertib mulai fokus membuat wayang dari bahan karton.

"Saya diajak pameran, jadi ya jalannya di buka sama yang Maha Kuasa. Dari 2010 itu saya mulai serius membuat wayang dari karton, semua karakter wayang saya bisa," jelasnya.

KOMPAS.com / Wijaya Kusuma Tertib Suratmo saat menyungging (mewarnai) wayang kertas
Ia pun mulai mengikuti berbagai pameran baik di DIY maupun Jawa Tengah. Setiap kali mengikuti pameran, Tertib selalu memajang semua bahan yang digunakannya mulai dari cat, kuas, karton hingga tatah. Tujuannya lebih pada edukasi, agar pengunjung tahu bahan-bahan dan alat yang digunakannya.

"Di setiap saya ikut pameran, pasti ada yang beli," ucapnya.

Tertib menjelaskan, proses membuat wayang diawali dengan membuat sketsa karakter tokoh pada karton. Untuk model wayang yang berukuran besar, karton harus dirangkap dua agar kuat. Setelah itu ditatah sesuai garis sketsa.

Terakhir adalah menyungging atau mewarnai wayang. Seperti halnya menatah, proses mewarnai ini juga perlu ekstra ketelitian.

"Kalau pesanan, saya buatnya beda, jadi lebih detail tatahannya dan warnanya. Sebisa mungkin mendekati wayang asli," ujarnya.

Proses pembuatan wayang dari karton, sebut dia, memakan waktu kurang lebih tiga hari. Namun bisa lebih lama, ketika pemesan menginginkan model yang mendekati sama dengan wayang asli. Sebab wayang asli pengarapanya lebih detail. Apalagi seluruh proses pembuatan, mulai dari sketsa, menatah hingga menyungging atau mewarnai ia kerjakan seorang diri.

Padahal seharusnya proses itu idealnya dikerjakan dua sampai tiga orang.

"Kalau semangat masih membara, tetapi tenaga dan stamina saya tinggal 50 persen, tidak seperti dulu. Pandangan mata juga jauh berkurang, jadi harus pelan-pelan," akunya.

Ia menyebutkan, sampai 2016 ini sudah banyak orang yang membeli wayang karton buatannya. Tidak hanya dari DIY hingga keluar kota, tetapi orang dari luar negeri juga pernah membeli wayang buatannya, seperti Ceko dan Kanada.

Mengenai harga, Tertib membanderol wayang yang besar seukuran wayang asli, senilai Rp 150.000. Sedangkan wayang yang kecil Rp 35.000.

"Pernah pas pameran di Solo , harganya masih di bilang terlalu murah. Katanya dengan karya yang detail dan bagus seperti ini, harusnya lebih mahal," ucapnya.

Apa yang dilakukanya saat ini tidak lain adalah untuk mengenalkan dan melestarikan wayang. Ia pun berusaha mengajak anak-anak dan remaja di kampusnya untuk belajar membuat wayang.

"Kemarin ada yang ke sini mau belajar, saya juga mengajak anak - anak di sini untuk mau belajar. Ya agar wayang tetap terus ada," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com