Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Damai di Lembah Gunung Ciremai

Kompas.com - 15/12/2016, 10:07 WIB
Reni Susanti

Penulis

Gumirat mengatakan, apa pun agama seseorang tidak akan mengubah hubungan anak dengan orangtua ataupun saudaranya.

Jika dianalogikan, seorang bayi dilahirkan dulu baru berbicara tentang agama sehingga agama tidak bisa memutus hubungan darah.

Itulah yang terjadi di Cigugur. Ketika ada yang menikah, warga berbeda agama ini saling membantu mempersiapkan segala sesuatunya, misalnya membuat kue bersama untuk tamu.

Begitupun ketika ada yang meninggal. Mereka akan saling membantu menyiapkan pemakaman.

Yang paling terlihat adalah menjelang acara Seren Taun. Empat bulan sebelum dilaksanakan, warga lintas agama ini bahu-membahu mempersiapkan acara, tidak terkecuali para pemuka agama.

"Kami di sini ada 500 KK, terdiri dari empat agama, Sunda Wiwitan, Islam, Katolik, dan Protestan. Perpindahan agama rata-rata terjadi karena pernikahan. Kami melihatnya biasa saja," ujarnya.

Pemimpin Gereja Katolik Kristus Raja Yohanes Cantius Abukasman mengatakan hal yang sama. Toleransi di Cigugur Kuningan terjadi dari dulu. Mereka saling menghargai dan menghormati perbedaan.

"Mengapa memaksa harus sama? Perbedaan itu indah, apalagi tak ada satu pun agama yang mengajarkan ketidakbaikan," kata dia.

Yohanes merasa bahagia bisa ditugaskan di Cigugur. Ia merasakan kehidupan yang sangat damai di sana. Dalam berbagai ceramahnya, ia selalu mengatakan bahwa Cigugur itu merupakan cerminan masyarakat damai di lembang Gunung Ciremai.

Begitupun dengan Agus, salah satu pemeluk Islam. Meski dalam satu rumah berbeda agama, mereka hidup rukun. Sejak kecil mereka sudah akrab dengan perbedaan dan menganggap perbedaan itu berkah.

Anak tetua adat lainnya, Dewi Kanti, mengatakan, jika melihat fakta sejarah, lereng Gunung Ciremai tergolong plural. Situs-situs pra-Hindu, Budha, Islam, terletak berdampingan.

Ia mengakui bahwa mempertahankan keyakinan sebagai penghayat Sunda Wiwitan tidaklah mudah. Selain mengalami diskriminasi, nyawa harus siap dipertaruhkan.

Pada masa pemberontakan DI/TII dan PKI, misalnya, penganut agama kepercayaan termasuk Sunda Wiwitan disiksa, dibunuh, bahkan dikubur hidup-hidup.

Saat itu, tetua adat Pangeran Jatikusuma mendapat petunjuk spiritual untuk menyelamatkan generasi dengan berteduh di bawah cemara putih yang dimaknainya sebagai Kristen. Ketika Pangeran Djatikusuma keluar dari Kristen, ia membebaskan penghayat untuk memilih agamanya.

Tekanan kembali muncul di tahun 1980-1990 saat pemerintah melarang acara Seren Taun. Kini, diskriminasi pun tetap ada. Diskriminasi masuk lewat urusan administrasi, mulai dari KTP, surat nikah, akta kelahiran, dan lainnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com