Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rumah Terakhir Penderita Gangguan Jiwa

Kompas.com - 05/12/2016, 18:39 WIB

Penulis

KOMPAS - Tak kurang dari 1.570 penderita gangguan jiwa dari sejumlah daerah di Jawa Timur menjadi penghuni tetap di Unit Pelaksana Teknik Dinas Lingkungan Pondok Sosial Keputih, Surabaya. Pondok ini menjadi rumah terakhir bagi penyandang psikotik dari sejumlah daerah yang "diturunkan" pada malam hari di sudut Kota Surabaya sebelum dipulangkan.

Keriuhan di Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Keputih berlangsung 24 jam tanpa henti. Seperti pada Senin (21/11/2016) pukul 12.30. Seorang petugas di Liponsos membuka gerbang barak berisikan penderita gangguan jiwa psikotik (kelainan jiwa yang disertai disintegrasi kepribadian dan gangguan kontak dengan kenyataan). Belasan penghuni secara bergantian keluar dan menuju dapur, sekitar 50 meter dari barak itu.

Sebagian penghuni langsung mengangkut panci besar berisi nasi putih. Sebagian lainnya membawa panci berisi sayur asam dan baskom berisi semur ayam. Di dekat gerbang barak, tiga petugas mulai memindahkan nasi dan lauk-pauk ke piring. Mereka juga dibantu penderita gangguan jiwa psikotik.

Sri Widi Astoetik, salah satu petugas, menuturkan, beberapa penderita gangguan jiwa sudah mampu membantu menyiapkan makan siang. "Kami hanya mengajak anak-anak (sebutan untuk penghuni Liponsos) yang hari itu mau membantu dan sedang tidak kumat (kambuh). Yang tidak mau jangan dipaksa," kata Sri.

Makanan yang siap disajikan diletakkan di meja sepanjang 6 meter. Penderita gangguan jiwa yang membantu sesekali menyeruput kuah semur ayam dari sendok sayur. "Jangan diseruput. Makanan itu untuk banyak orang," ujar seorang petugas.

Mereka yang bersedia membantu diperbolehkan terlebih dahulu menyantap makan siang. Ini agar mereka memiliki tenaga cukup untuk melayani rekan-rekannya di barak. Seusai makan, mereka masing-masing membawa lima piring ke dalam barak.

Pembagian makan siang pun dimulai. Saat menerima makan siang, sebagian penghuni langsung melempar nasi atau sayuran. Tak lebih dari 10 menit setelah makanan dibagikan, di barak tersebut berserakan nasi dan sayuran.

Selesai acara makan siang, beberapa di antara mereka mengumpulkan piring untuk dicuci. Petugas, juga dibantu penghuni pondok, mengambil selang untuk menyemprot lantai di barak. Pembersihan barak ini bisa memakan waktu hampir 1 jam.

Menurut Sri, keadaan itu menjadi keseharian di Liponsos Keputih. Petugas harus mengawasi penderita gangguan jiwa psikotik agar tak mengonsumsi makanan yang dipungut dari lantai.

"Petugas harus selalu mengingatkan anak-anak karena makanan itu tidak higienis lagi. Namun, ada saja yang luput dari pengawasan petugas," ucapnya.

Keadaan tersebut kerap terjadi karena terbatasnya jumlah petugas. Kepala UPTD Liponsos Keputih Surabaya Erni Lutfiyah, mengatakan, jumlah petugas yang mendampingi penghuni hanya 14 orang. Sementara penghuninya hingga November sudah 1.570 orang. Angka tersebut mencakup 1.324 penderita gangguan jiwa psikotik, 235 gelandangan dan pengemis, 6 anak jalanan, 2 waria, serta 3 wanita tunasusila.

Idealnya, paling tidak 140 orang yang mendampingi penghuni sebanyak itu. Realitanya, total petugas hanya 57 orang. Petugas antara lain terdiri dari 5 juru masak, 22 tenaga keamanan, 8 petugas kebersihan, 6 petugas administrasi. Dari semua petugas, 55 orang di antaranya berstatus tenaga alih daya, termasuk 14 pendamping dari UPTD Liponsos Keputih Surabaya.

Tugas pendamping mulai dari merawat, mengurus saat makan, buang air, hingga menemani ketika jadwal berobat. Paling menyusahkan ketika penderita tiba-tiba kambuh lantas mengamuk sehingga perlu tenaga ekstra bagi pendamping. Biasanya mereka menenangkan penderita dengan membawa ke Rumah Sakit Jiwa Menur, berjarak 10 kilometer dari Liponsos. Namun, penanganan kesehatan terhadap penghuni Liponsos juga ketat, tidak asal kambuh langsung bisa dibawa ke RSJ Menur. Kunjungan berobat ke RSJ Menur pun dibatasi setiap pekan hanya 20 orang sehingga diprioritaskan untuk penderita yang kambuh.

Untuk mengatasi hal itu, Dinas Sosial Kota Surabaya mengupayakan kerja sama dengan RS Soewandhie. Setiap akhir pekan tenaga medis dari RS Soewandhie ke Liponsos untuk merawat pasien, bukan sebaliknya.

Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo mengatakan, untuk tahun anggaran 2016, Liponsos mendapat jatah dana Rp 12.444.105.549. Dana ini masih kurang untuk memenuhi kebutuhan penghuni. Salah satu cara menyiasatinya dengan mengolah air bersih dari PDAM Surabaya untuk memasak dan air minum.

Kebutuhan air minum setahun mencapai Rp 1 miliar, yaitu untuk membeli 58.400 galon air mineral. Untuk menghemat biaya air minum tersebut, dinsos mengoperasikan alat pengolahan air yang bersumber dari PDAM menjadi air layak konsumsi.

Kerajinan tangan

Inovasi lain agar penghuni memiliki aktivitas dan proses pemulihan, sejak 2012 digelar pelatihan membuat kerajinan tangan berupa keset kaki. Ini sebagai terapi pemulihan kondisi mental penghuni Liponsos Keputih. Salah satunya mengajari, umumnya, perempuan yang belum sembuh 100 persen dengan membuat kerajinan tangan.

Walhasil, meski kondisi mentalnya masih dalam pemulihan, mereka mampu menghasilkan beragam kerajinan tangan, seperti keset, taplak meja, vas bunga, dan bros. Karya penghuni Liponsos ini bagus dan rapi layaknya kerajinan hasil orang normal.

Dua pembimbing, yakni pasangan Supadi dan Wiwit Manfaati, pelaku usaha kerajinan eceng gondok, sejak 2012 telaten melatih penderita psikotik itu. "Butuh kesabaran yang luar biasa karena diajak ngomong saja sering tidak nyambung," kata Wiwit yang setiap hari membimbing penghuni hingga petang hari.

Supadi mengatakan, mereka yang boleh mengikuti pelatihan kerajinan tangan adalah penghuni dengan kondisi kejiwaan stabil. "Minimal bisa diajak bicara dan nyambung," ujarnya.

Supadi dan istrinya sering menjumpai penghuni yang kambuh. Kondisi ini dihadapi Supadi dan Wiwit dengan sabar dan telaten. "Kalau sudah begitu (kambuh), ya kami sarankan untuk berhenti dulu dan kembali ke ruangan mereka," ujarnya

Kini produk yang dihasilkan penghuni Liponsos layak dijual di sejumlah sentra PKL milik pemkot. Selain itu, hasil karya penghuni Liponsos juga acap kali dibeli tamu yang berkunjung ke sana. Hasil penjualan kerajinan tangan selama ini Rp 24,4 juta. Uang itu dipakai untuk rekreasi dan makan bersama peserta pelatihan. "Mereka kalau diajak jalan-jalan senang," tuturnya.

Liponsos akan menjadi rumah terakhir bagi penghuninya, yang umumnya hasil dari razia di jalanan Kota Surabaya. Berkat adanya Liponsos yang terus bertambah penghuninya dari daerah lain, Kota Surabaya benar-benar bebas dari berseliwerannya penderita gangguan kejiawaan.

Seperti kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, semua staf di lingkungan Pemkot Surabaya pasti segera "mengamankan" pengemis, penderita gangguan jiwa, dan anak jalanan ke Liponsos. Memang berat mengurus kelompok ini, tak hanya menguras tenaga, tetapi juga anggaran. Bagaimanapun mereka harus diperhatikan, bukan disingkirkan begitu saja.
(Agnes Swetta Pandia/Ryan Rinaldy)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Desember 2016, di halaman 25 dengan judul "Rumah Terakhir Penderita Gangguan Jiwa".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com