Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Palung Banda Bisa Picu Tsunami Besar

Kompas.com - 30/11/2016, 15:06 WIB

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru membuktikan palung terdalam Indonesia di Laut Banda, Maluku, berkedalaman 7,2 kilometer dengan ukuran 120 km x 450 km. Palung itu merupakan zona sesar yang terbentuk dari tumbukan lempeng raksasa (megathrust) Australia dengan Asia yang memiliki konsekuensi ancaman gempa dan tsunami besar. Tsunami raksasa menghancurkan Pulau Seram dan Ambon pada 1674.

Penelitian itu dipublikasikan peneliti dari Research School of Earth Sciences-Australian National University (ANU), Jonathan M Pownall dan Gordon S Lister, serta geolog Department of Earth Sciences Royal Holloway University of London, Robert Hall, di jurnal The Geological Society of America, edisi November 2016.

Dengan menggunakan data batimetri bawah laut beresolusi tinggi, peneliti juga merekam keberadaan lembah di dasar Palung Weber itu. Ditemukan juga keberadaan sejumlah kelurusan yang terbentuk oleh aktivitas sesar sangat besar, yang terbesar di Bumi.

"Temuan ini sangat penting karena mengonfirmasi kondisi zona megathrust Laut Banda yang hingga saat ini masih minim diteliti," kata Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono, Selasa (29/11/2016).

Menurut Daryono, Maluku dan Maluku Utara merupakan daerah kepulauan dengan dinamika tektonik sangat tinggi dan memiliki frekuensi tsunami tertinggi di Indonesia. Dari 105 kejadian tsunami di Indonesia dalam kurun 1600-2010, sebanyak 34 kali terjadi di busur Banda, 5.570 orang meninggal.

Laut Maluku telah dilanda tsunami 32 kali dengan korban mencapai 7.600 orang. "Lebih dari 60 persen kejadian tsunami di Indonesia terjadi di perairan Maluku dan Maluku Utara," katanya.

Tsunami raksasa

Peneliti tsunami pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, mengatakan, tsunami raksasa pernah melanda zona megathrust Laut Banda pada 17 Februari 1674. Dalam katalog tsunami Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional (NOAA) Amerika Serikat dan WinITB yang disusun para ahli Rusia, ketinggian tsunami pada 1674 itu mencapai 80 meter.

"Dalam katalog disebut, ketinggian tsunami hingga 80 meter itu terjadi di Hila dan Lima, Pulau Ambon. Ketinggian tsunami yang fantastis ini kemungkinan terjadi karena gempa memicu longsor bawah laut. Fenomena ini biasa terjadi di kawasan yang kemiringan dasar lautnya curam," kata Widjo.

Kejadian tsunami itu tercatat dalam buku Amboina yang ditulis naturalis kolonial, Georg Everhard Rumphius, tahun 1675. Menurut Rumphius, petaka itu menewaskan 2.322 orang di Pulau Ambon dan Seram, termasuk istri dan salah satu anak perempuannya.
content

Kampung Hila, disebut Rumphius, sebagai daerah paling menderita, yang tinggi tsunaminya melampaui atap rumah, bahkan menenggelamkan benteng Belanda. Sebanyak 1.461 orang tewas di Hila.

Selain gempa dan tsunami tahun 1674, pada 1 Agustus 1629 juga terekam gempa dan tsunami besar di zona megathrust itu sebagaimana tercatat dalam katalog Arthur Wichmann (1918). Widjo Kongko mengatakan, peta gempa bumi nasional dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) yang disusun tahun 2010 menyebut potensi kekuatan gempa di megathrust Laut Banda mencapai M 8,4.

"Penelitian terbaru, kemungkinan kekuatan gempanya bisa lebih besar lagi, apalagi zona ini lama tak mengalami gempa besar. Ron Harris, geolog Amerika yang aktif meneliti di kawasan ini, juga sudah memperingatkan ancaman gempa dan tsunami besar di zona ini yang diperkirakan sudah mendekati siklusnya," kata Widjo.

Tak harus panik

Menurut Daryono, potensi gempa dan tsunami besar yang bersumber dari Laut Banda itu tidak bisa dinafikan, tetapi tidak harus menimbulkan kepanikan.

"Ini khazanah tektonik baru yang kami akui sebagai ancaman baru sehingga akan kami jadikan pertimbangan dalam pembuatan model strategi mitigasi tsunami di kawasan ini," katanya.

Tak hanya tsunami yang bersumber dari gempa tektonik, beberapa penelitian, seperti dilakukan Rynn (2002), menyebutkan, tsunami yang terjadi di kawasan Maluku dan Maluku Utara juga bisa disebabkan letusan gunung api. Sebagai contoh, letusan Gunung Teon pada 11 November 1659, Gamkonora di Halmahera pada 20 Mei 1673, dan Gamalama di Ternate pada 1 September 1763.

Daryono mengatakan, sumber-sumber gempa di Kepulauan Maluku memiliki karakter sangat dekat dengan permukiman masyarakat sehingga potensi kedatangan tsunami bisa kurang dari setengah jam. Hal itu menyebabkan sistem peringatan dini menjadi kurang efektif.

"Dalam hal ini, masyarakat harus menjadikan gempa kuat sebagai peringatan dini. Begitu terjadi gempa kuat, sebaiknya segera menjauh dari pantai dan mencari tempat tinggi," katanya. Sejauh ini, pemahaman seperti itulah yang perlu terus disosialisasikan.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 30 November 2016, di halaman 1 dengan judul "Palung Banda Bisa Picu Tsunami Besar".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com