Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Gratis Sang Juru Parkir

Kompas.com - 15/11/2016, 11:03 WIB

KOMPAS.com - Undang Suryaman bukan orang berada. Pekerjaannya sehari-hari pun "hanya" juru parkir. Tetapi, jiwa sosialnya amat tinggi. Ia rela menyisihkan penghasilannya yang pas-pasan untuk mendanai sekolah gratis bagi anak-anak dari keluarga tak mampu.

Undang tinggal di sebuah rumah sederhana di permukiman padat di Desa Rancaekek Kulon, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Untuk mencapai rumah itu, kita mesti berjalan kaki 100 meter melewati gang-gang sempit yang becek akibat sisa air hujan.

Rumah tersebut sekaligus berfungsi sebagai Taman Kanak-kanak (TK) Nafilatul Husna Ataullah dan Taman Pendidikan Al Quran (TPA) Raudlotul Jannah yang diperuntukkan terutama bagi anak-anak dari keluarga tak mampu.

Undang menyulap ruang tamu rumahnya yang hanya sekitar 16 meter persegi menjadi kelas sekaligus perpustakaan. Ruang yang diberi alas karpet plastik itu terasa sesak dengan jejeran rak, tumpukan meja lipat, dan mainan.

"Kalau malam, (kelas ini) jadi kamar tidur keluarga. Saya, istri, empat anak, dan nenek tidur di sini," kata Undang yang mendirikan TK dan TPA itu pada 2012.

Undang juga memanfaatkan rumah mertuanya untuk dijadikan kelas.

"Saya sampai ngacak-ngacak rumah mertua. Ada dua ruang tidur di rumah itu, masing-masing berukuran 10 meter persegi, juga dipakai untuk belajar," ujarnya sambil tertawa, awal Oktober lalu.

Pria berusia 40 tahun itu terobsesi menyediakan pendidikan bagi anak- anak tak mampu karena ia sendiri tak bisa mewujudkan cita-citanya untuk sekolah. Undang yang lahir dan besar di Desa Talagasari, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, hanya bisa mengecap pendidikan sampai tingkat SD. Keinginannya untuk sekadar melanjutkan pendidikan ke SMP kandas.

"Waktu SD, saya harus jalan kaki 12 kilometer untuk sampai di sekolah. Kalau ke SMP, saya mesti jalan dengan jarak dua kali lipat. Saya tetap menuntut untuk sekolah," ucapnya.

Namun, Undang harus menerima kenyataan orangtuanya yang hanya petani gurem tidak sanggup membiayai sekolahnya. Undang sempat marah, tetapi ia tak punya daya untuk mengubah keadaan. Ia hanya bisa memendam keinginan untuk sekolah. Ia juga membayangkan suatu ketika, jika memiliki rezeki lebih dan umur panjang, ia akan menyekolahkan anak-anak tak mampu.

Lama terpendam, angan itu mulai terwujud pada 2012 ketika ia berhasil mendirikan tempat belajar untuk anak-anak tak mampu di sekitar tempat tinggalnya. Namun, langkah pertamanya itu langsung dihadang berbagai kendala. Sejumlah warga tak percaya pada kesungguhan Undang membuka sekolah.

"Mungkin melihat saya hanya seorang juru parkir. Pendidikan saya dan istri juga rendah. Ada yang bilang saya miskin. Sekolah yang saya dirikan bohong-bohongan," ujarnya.

Cibiran bermunculan, bahkan fitnah menyebar. Undang dituduh memungut bayaran ratusan ribu rupiah dari setiap muridnya, padahal mereka hanya belajar di masjid. Untuk menepis tuduhan seperti itu, Undang menemui para orangtua murid dan menjelaskan persoalannya.

Awalnya, hanya ada 18 anak yang dititipkan orangtuanya belajar di sana. Setahun kemudian, pada 2013, jumlah murid meningkat menjadi 25 orang.

Selama dua tahun pertama, Undang masih merogoh koceknya untuk membiayai pengeluaran taman belajarnya. Agar pengeluaran bisa ditekan, ia memanfaatkan ruangan masjid untuk tempat belajar. Belakangan baru ia memanfaatkan rumahnya dan rumah mertuanya.

Pada 2014, Undang berhasil meningkatkan status taman belajarnya menjadi TK Nafilatul Husna Ataullah dan TPA Raudlotul Jannah. Hal itu dilakukan setelah ia mengikuti lokakarya pendidikan yang digelar Ikatan Guru TK Al Quran Jawa Barat. Dari pelatihan itu, ia memperoleh pengetahuan untuk menentukan kurikulum dan mendirikan TK.

Tukang parkir

Undang bukanlah orang kaya. Sehari-hari ia bekerja sebagai juru parkir di Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jatinangor, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari rumah Undang di Rancaekek.

Pekerjaan yang telah ia lakoni sejak tahun 1992 itu hanya memberikan penghasilan rata-rata Rp 50.000 per hari. Penghasilannya yang pas-pasan ia sisihkan Rp 10.000 untuk biaya operasional taman belajar. Namun, uang sebesar itu tak cukup untuk menutup pengeluaran taman belajar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com