Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Serat Centhini, Harta Karun Indonesia yang Belum Tersentuh

Kompas.com - 10/10/2016, 07:31 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Sekumpulan seniman, budayawan, rohaniawan, jurnalis, penulis, kembali bersatu dalam Borobudur Writers dan Cultural Festival (BWCF) 2016. Mereka akan membaur, berdiskusi, berkarya dalam sebuah festival literasi tahunan itu.

Tahun ini, festival yang diselanggarakan atas kerjasama antara Yayasan Samana, Komunitas Lima Gunung, dan The Wahid Institute itu mengangkat tema "Setelah 200 Tahun Serat Centhini: Erotisme dan Religiusitas dalam Kitab-Kitab Nusantara".

Setiap tahun, festival literasi ini mengangkat khasanah keilmuan dari kitab klasik nusantara untuk diterjemahkan, diambil intinya, dipahami secara dalam, bukan hanya dari satu sisi saja oleh peserta.

Serat Centhini menjadi pembahasan menarik pada festival tahun ke-5 ini. Sebab selama ini masyarakat sudah terdogma bahwa serat karya para pujangga zaman Kasunanan Surakarta tahun 1785-1823 ini identik dengan seksualitas dan erotisme.

Namun, sejatinya serat ini memiliki sisi keilmuan lain tentang arsitektur, kuliner, serta nilai spiritual bagaimana kehidupan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam.

"Semua sisi itu tercermin dalam Serat Centhini," ujar Yoke Darmawan, Direktur Yayasan Samana di sela acara, Kamis (6/10/2016) .

Bangsa yang kuat

Yoke melanjutkan, Serat Centhini merupakan ensiklopedia Jawa, tapi bukan berarti Jawa menjadi kiblat nusantara karena sejatinya banyak Serat Centhini berasal dari berbagai belahan nusantara, dari timur hingga ke barat.

Serat dalam beragam versi itu lalu dikumpulkan, didiskusikan, lebur menjadi satu untuk menyatukan pengertian tunggal bahwa Indonesia bukan lahir "kemarin". Bangsa ini bangsa yang kuat di masa lampau.

"Serat Centhini menjadi pembuktian bahwa bangsa ini bangsa yang tinggi, beradab, berdaulat budaya yang luar biasa yang seharusnya dimiliki oleh generasi muda sekarang," tutur Yoke.

Jika literasi Serat Centhini dalam wujud buku tebal sudah tidak lagi menarik bagi generasi sekarang, lanjut Yoke, maka festival ini adalah sebuah hasil ekonomi kreatif dalam bentuk yang berbeda. Dia berharap kegiatan ini menjadi bola yang terus bergulir menghasilkan karya-karya baru yang luar biasa.

Kartika Setyawati, seorang dosen Program Studi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menyebutkan banyak versi Serat Centhini dalam bentuk naskah.

Setidaknya ada delapan versi Serat Centhini berdasarkan persamaan bahasa, metrum, dan alur. Delapan versi tersebut diwakili naskah dari Cirebon, Jawa Barat, pesisir utara dengan aksara Pegon, Centhini Jalalain, Centhini Danuningratan, Centhini Besar, dan Centhini Kutha Gedhe.

"Serat Centhini yang paling awal mungkin diwakili naskah dari Cirebon yang diterbitkan Sudibyo pada tahun 1983. Teks naskah Centhini yang berjudul Kidung Candhini mengacu pada angka tahun 1616 masehi," ujar Kartika dalam seminar "Tafsir Serat Centhini" pada rangkaian kegiatan BWCF 2016.

Dia mengungkapkan, Serat Centhini mencerminkan keselamatan hidup dunia akhirat menurut orang Jawa. Hal itu diwujudkan dalam beberapa upacara adat seperti peringatan hamil tujuh bulanan atau pemilihan hari baik ketika hendak melakukan sesuatu.
 
Belum tersentuh

Wahyu Endah Sulistianti, Deputi Hubungan Antarlembaga dan Wilayah Badan Ekonomi Kreatif, menambahkan, naskah serat Centhini merupakan salah satu khasanah nusantara yang bisa dijadikan inspirasi dunia kreatif Indonesia masa kini.

Khasanah Nusantara tersebut ibarat harta karun yang menunggu generasi kini untuk mengolahnya. Menurut dia, dengan mendalami kekayaan naskah penulisan kuno maka kreativitas di masa kini juga bisa dikerjakan dengan cerdas, kaya, dan dapat memberikan tawaran kepada keseragaman melalui proses globalisasi.

"Dokumentasi-dokumentasi masa lalu tentang berbagai kuliner, obat-obatan tradisional, arsitektur, seni tradisi, dan teknologi bisa menjadi bahan yang menantang untuk diolah menjadi karya baru di masa kini," papar Wahyu saat menghadiri pembukaan BWCF 2016 di Hotel Atria, Kota Magelang, Rabu (5/10/2016) malam.

Akan tetapi, Wahyu melihat kesadaran untuk mengambil budaya Indonesia masa lalu belum sepenuhnya dimiliki oleh generasi masa kini. Sejauh ini, kekayaan masa lalu masih sebatas khasanah tanpa dimanfaatkan untuk kerja-kerja kreatif.

Oleh sebab itu, dia mendorong agar generasi masa kini mengembangkan inovasi kreativitas yang mengacu pada naskah-naskah lokal serta memanfaatkan budaya lokal masa lampau karena hal itu terbukti bisa mendorong laju ekonomi.

"Kreativitas itu juga bisa sangat luas diimplementasikan dalam seni tari, musik, sastra, film, dan bentuk-bentuk pergelaran pentas tradisi," pungkasnya.

Bukan "nothing"

Sementara itu, Yoke mengemukakan, BWCF masih dianggap festival kecil yang tidak menarik karena dianggap tidak menghasilkan dampak yang besar. Selama ini, lanjutnya, banyak sponsor yang menginginkan festival berupa pertunjukan musik, seni gerak, olahraga dengan melibatkan ribuan orang untuk berpartisipasi.

Akan tetapi Yoke menekankan bahwa BWCF merupakan festival literasi yang unik karena dapat mengumpulkan orang dari berbagai latar belakang, mulai dari sastrawan, budayawan, pujangga, arkeolog, penulis, wartawan, dalam satu melting pot.

"Kami kecil tapi bukan nothing," kata Yoke.

Menurut Yoke, bagi orang penganut instant life, festival ini tidak menarik. Festival ini hanya menampung tidak lebih dari 300 orang dalam beberapa kegiatan seminar, diskusi dan lainnya.

"Akan tetapi output yang diperoleh dari festival ini adalah setiap peserta akan memiliki karya dari disiplin ilmu masing-masing. Mereka saling melengkapi, baik bidang seni, animasi, tulisan dan lainnya," tandas Yoke.

Nama Borobudur tetap akan melekat dalam festival ini meski diselenggarakan di luar "pagar" candi Borobudur karena menurut Yoke Borobudur bukan sekedar candi atau tumpukan batu.

Borobudur, lanjutnya, adalah hidup. Hidup adalah ilmu, belajar, melihat kekayaan, serta kedaulatan budaya dari masa lampau yang diambil untuk dicernakan dan dibungkus menjadi masa depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com