Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Garut, Orang Tak Bersalah Pun Kena Dampaknya

Kompas.com - 23/09/2016, 08:00 WIB

GARUT, KOMPAS - Luapan Sungai Cimanuk dan Sungai Cikamiri di Kabupaten Garut menyebarkan ketakutan, sekaligus kekhawatiran. Ketika semuanya sudah terlambat, hanya duka yang diingat. ”Tolong... tolong....”

Ny Kokom (45), warga Desa Sukasenang, Kecamatan Banyuresmi, Kabupaten Garut, masih ingat benar jeritan keras yang membangunkan ia dari tidurnya, Selasa (20/9). Jeritan itu berasal dari luar Rumah Sakit Umum Daerah dr Slamet, Garut, tempatnya dirawat. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 23.30.

Ny Kokom yang tengah menjalani perawatan sakit jantung yang dideritanya dicekam ketakutan. Ny Kokom semakin khawatir saat bunyi gemuruh terdengar bersamaan dengan air yang masuk ke dalam kamar perawatan di lantai satu tak lama kemudian. Saat itu, tak ada satu perawat pun yang ada di sampingnya.

”Saya khawatir jantung saya kumat. Saya ketakutan setengah mati,” katanya.

Ketakutannya terjawab tak lama kemudian. Seorang perawat rumah sakit masuk ke dalam ruangannya dengan wajah panik. Ia mengabarkan terjadi banjir besar di luar rumah sakit. Saat itu juga Kokom diminta pindah ke lantai dua karena air semakin tinggi merendam ruangan. Kekhawatirannya sementara reda saat tiba di lantai dua. Namun, teriakan minta tolong yang ia dengar masih saja mengganggu hatinya.

”Semoga mereka yang berteriak minta tolong itu selamat,” katanya penuh harap.

Kepala Subbagian Humas RSUD dr Slamet Iwa Kartiwa juga merasakan kekhawatiran serupa. Kejadian ini merupakan kejadian pertama di RSUD dr Slamet. Berada di ketinggian 4 meter dari dasar Sungai Cimanuk dan Sungai Cikamiri, ia selalu yakin air tak akan pernah bisa menyentuh RSUD dr Slamet.

”Ada 287 pasien yang terpaksa dipindah ke lantai dua. Tidak ada pilihan lain meski pasien harus berdesakan di lantai dua. Ketinggian air merendam lantai I hingga 1 meter,” ujar Iwa Kartiwa.

Diapit Sungai Cimanuk dan Sungai Cikamiri, bukan cuma RSUD dr Slamet yang direndam banjir. Sebanyak 633 rumah di 6 kecamatan, Tarogong Kidul, Tarogong Bayongbong, Cibatu, Banyuresmi, Karangpawitan, dan Garut Kota, juga mengalami hal serupa. Ketinggian air bahkan ada yang mencapai 2,5 meter.

 Harapan tidak ada korban jiwa seperti yang diutarakan Ny Kokom tak terwujud. Dimulai Selasa (20/9) pukul 19.30 dan usai Rabu (21/9) pukul 02.00, hujan deras campur sampah dan lumpur itu menewaskan 23 orang. Sebanyak 22 orang lainnya belum ditemukan.

Akan tetapi, sejatinya banjir bandang tidak datang tiba-tiba. Tahun ini, banjir bandang itu setidaknya sudah tiga kali datang merendam rumah warga di kawasan yang sama. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana bahkan memasukkan kecamatan-kecamatan terdampak itu sebagai kawasan longsor dengan potensi banjir bandang.

Minim perhatian

Namun, minimnya perhatian pemerintah daerah membuat tiga kali peringatan seperti tanpa arti. Hulu Sungai Cimanuk di kaki Gunung Mandalagiri seperti diabaikan. Sejak lama, fungsi penyangga lingkungan di kawasan itu sudah terkikis desakan ekonomi.

Pohon besar penyimpan air di hulu Sungai Cimanuk itu perlahan hilang diganti kebun sayuran dan palawija. Tanahnya yang subur ikut berperan menjadikan Garut sebagai sentra sayur dan palawija, tetapi rentan menahan tingginya potensi banjir dan longsor dari sana.

Tidak hanya itu, maraknya bisnis pariwisata alam membuat Daerah Aliran Sungai Cimanuk tak kuasa menahan tubuhnya sendiri. Setiap hujan deras, tebing tanah di sepanjang aliran Sungai Cimanuk kerap luruh. Tak heran jika banjir kerap datang bersama lumpur tebal yang menyebar ketakutan dan kekhawatiran.

Di lantai II RSUD dr Slamet, ketakutan itu masih dirasakan Ny Kokom. Direndam air setinggi 1 meter, penerangan rumah sakit dimatikan. Dingin dan gelap. Teriakan minta tolong ia dengar lagi, tetapi bukan dari luar rumah sakit. Suara itu berasal dari pasien lain yang mengungsi ke lantai II.

”Saya juga ikut minta tolong, tetapi tidak didengar. Ternyata perawatnya sibuk mengamankan peralatan medis, termasuk buku-buku administrasi,” katanya.

 Teman sekamar Ny Kokom di ruang ”pengungsian”, Ny Komariah (54), juga mengalami kepanikan serupa. Baru menjalani pengangkatan rahim dan kista, mendadak ia merasakan bekas jahitannya berdenyut pelan, tetapi sangat menyakitkan.

Beberapa kali ia meminta pertolongan, tetapi tak ada petugas yang datang. Suaranya tenggelam di antara gelap dan ramai yang datang dari lorong lantai dua, yang juga dipenuhi pasien yang takut dan kesakitan.

Kurang beruntung

Salah seorang pasien yang tak beruntung dan terpaksa menghuni lorong itu adalah Rismayanti (37), pasien penderita jantung yang dipindah dari ruang ICU karena terendam banjir. Dalam suasana panas di sudut lorong ruangan, Rismayanti tergolek lemah dengan sebagian tubuhnya ditutup selimut. Tangan kirinya diinfus, dan selang oksigen dipasang ke dalam lubang hidungnya.

”Habis mau bagaimana lagi, semua ruangan penuh. Mau enggak mau di selasar sini. Bagi saya yang penting badan ini sudah terasa membaik,” ujar Rismayanti lirih.

Pelayanan pasien pun terabaikan. Di antara lantai yang kotor karena lumpur, perawat dan tim medis terbagi konsentrasi. Sebagian merawat pasien, sebagian lagi sibuk membersihkan ruangan. Ada yang mengangkat peralatan medis ke tempat tidur untuk dipindah ke ruangan lain hingga membersihkan lantai.

Nano (50), pasien lainnya di ruang Cempaka Atas, yang dipindah dari ruang Zamrud di lantai bawah yang kebanjiran, mengeluh karena sampai pukul 13.30 belum diberi makan siang.

”Akibat bencana banjir ini pemberian makan kepada pasien terlambat. Bagaimana mau cepat sembuh kalau seperti ini,” kata Nano.

Nano, Ny Kokom, dan Ny Komariah tidak merusak lingkungan, tetapi kerakusan menggarap lahan di bagian hulu sungai menyebabkan orang-orang tak bersalah pun kena dampaknya. (Samuel Oktora/Cornelius Helmy Herlambang)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 September 2016, di halaman 1 dengan judul "Orang Tak Bersalah Pun Kena Dampaknya".

 

Kompas TV Inilah Detik-detik Banjir Bandang di Garut

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com