Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rosdiana, Buruh Sawit yang Menjadi Guru untuk Anak TKI

Kompas.com - 27/07/2016, 06:10 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

SARAWAK, KOMPAS.com - Wajah Rosdiana siang itu terlihat sedikit panik. Meski sesekali terlihat ia tersenyum, namun tak menutupi raut kepanikan itu.

Maklum saja, siang itu, Senin (25/7/2016), adalah hari pertama Rosdiana mengajar di Community Learning Center (CLC) Ladong. Kepanikan Rosdiana siang itu terjadi lantaran persiapan peresmian CLC belum selesai.

"Anak-anak ini belum bisa diatur dan menurut perintah, karena ini adalah hari pertama bagi mereka semua sekolah di sini," ujar Rosdiana siang itu seusai rangkaian peresmian CLC.

Rosdiana, wanita berusia 33 tahun ini adalah guru di CLC, sebuah akses pendidikan yang menjadi pusat kegiatan belajar anak-anak TKI yang terpaksa ikut orangtua mereka bekerja di ladang atau perkebunan sawit.

Wanita kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, ini berada di Malaysia sejak tahun 2011 silam. Saat itu, ia mengikuti suaminya dan bekerja sebagai buruh pengumpul buah di salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Sarawak, Malaysia.

Tujuh bulan menjadi buruh sawit, wanita tamatan SMA ini kemudian direkrut oleh perusahaan tersebut dan diajukan sebagai tenaga pengajar CLC Tabung Haji, tempatnya bekerja.

Setelah memenuhi persyaratan, ia pun kemudian mendapat pelatihan dan bimbingan mengajar dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Kuching. Selama beberapa tahun mengajar di CLC Tabung Haji, kontrak kerja suaminya pun habis pada akhir 2015 yang lalu.

Suaminya kemudian pindah bekerja di perusahaan Tradewins Plantation Berhad di kawasan Simunjan.

Rosdiana juga akhirnya pindah ke tempat yang baru mengikuti suaminya bersama dua anaknya yang masih kecil. Di tempat yang baru ini, Rosdiana kemudian menghubungi pihak perusahaan dan mengusulkan pendirian CLC untuk anak-anak TKI yang ikut orangtua mereka bekerja di ladang.

Gayung pun bersambut, pihak perusahaan menyetujui usulan tersebut. Bekerja sama dengan pihak KJRI, CLC Ladong akhirnya terwujud dan bisa diresmikan langsung oleh Konsul Jenderal KJRI Kuching, Jahar Gultom. Pendirian CLC itu sendiri terbilang cukup singkat.

"Bersyukur sekali, karena baru akan dimulai sudah langsung diresmikan oleh Konsul Jenderal langsung," ujar Rosdiana riang.

 

Awal mula ia mengusulkan keberadaan CLC itu lantaran melihat banyak anak usia sekolah yang ada di barak atau perumahan TKI di ladang. Di perusahaan ini, sedikitnya ada lebih dari 800 TKI menjadi pekerja.

"Sekarang yang baru mendaftar baru 33 anak, mulai dari TK sampai SD," tuturnya.

Secara formal, kegiatan belajar di CLC tersebut mengikuti kurikulum yang digunakan di Indonesia. Peserta didik di CLC pun juga akan mendapatkan buku laporan hasil pendidikan (rapor) yang bisa digunakan apabila pindah sekolah atau kembali ke Indonesia.

Selama beberapa tahun menjadi guru bagi anak-anak TKI itu, Rosdiana juga kerap mengikuti pelatihan demi pelatihan yang diberikan KJRI guna menunjang keahliannya mengajar.

Terkait bayaran, saat ini ia digaji RM 35 atau setara dengan Rp 112.000 per hari. Gaji tersebut dibayar oleh perushaan. Ia mengajar mulai dari Senin hingga Sabtu.

"Rencananya nanti akan saya bagi dua shift karena saya hanya sendiri yang mengajar di sini. Pagi mulai jam 07.30 sampai jam 12.00, lanjut lagi siang jam 14.00 sampai jam 17.00," jelasnya.

Baca juga: Mengunjungi Sekolah untuk Anak TKI Sawit di Sarawak, Malaysia

Wajah ceria anak TKI

KOMPAS.com/ Yohanes Kurnia Irawan Salah satu bagian ruangan yang digunakan sebagai tempat proses belajar mengajar di CLC Ladong.

 

Tak hanya Rosdiana yang siang itu terlihat panik. Anak-anak TKI yang mengenakan seragam sekolah juga terlihat bingung ketika mereka berkumpul di dalam ruangan yang disulap menjadi kelas.

Riski dan Arya, misalnya. Dua bocah laki-laki ini awalnya terlihat bingung mengenakan seragam olahraga berwarna ungu. Mereka berdua adalah peserta didik jenjang Taman Kanak-kanak.

Namun, lama-lama mereka tampak senang berkumpul dengan belasan rekan sebaya mereka, bermain dan saling berkejaran.

Ada pula Citra dan Putri. Dua anak perempuan ini mengenakan seragam putih merah. Mereka berdua adalah peserta didik yang duduk di kelas 1 SD.

Mengenyam pendidikan sekolah dasar bagi anak-anak TKI yang terpaksa ikut merantau mengikuti orangtua bekerja tentu menjadi dambaan mereka. Apalagi, jumlah anak-anak itu tak sedikit dan tersebar di berbagai penjuru Malaysia, salah satunya di negara bagian Sarawak.

Menyambut baik

Manager Ladang Ladong Tradewins Plantation Berhad, Syam menyambut baik dengan adanya sekolah ini. Perusahaan yang memiliki area kelola lebih dari 5.000 hektar ini dibagi menjadi dua, yaitu ladang Ladong dan Simunjan.

"Ada sekitar 30 lebih anak-anak di sini, dan memang diperlukan sekolah untuk mereka belajar," ujar Syam yang mewakili pihak perusahaan menghadiri peresmian CLC Ladong.

Syam menuturkan, ide untuk membangun CLC tersebut sebenarnya sudah ada. Berawal dari imbauan pihak KJRI kepada pemilik perusahaan agar memberikan fasilitas pendidikan sementara kepada anak-anak tersebut. Imbauan ini pun mendapat sambutan dari beberapa perusahaan.

"Ide memang sudah ada, tapi untuk mencetuskan, yang belum. Bersyukur dengan adanya kerjasama dari pihak Konsulat, perushaan bisa mewujudkannya," ujar Syam.

Saat ini, bangunan yang disediakan perusahaan baru sebatas ruangan berukuran 6x6 meter salah satu rumah deret yang disulap menjadi ruang belajar. Ke depan, rencananya bangunan untuk CLC ini akan dibuat secara terpisah dan berdiri sendiri.

 

CLC ke 15

Saat ini, di negara bagian Sarawak memiliki 15 unit CLC yang tersebar di sejumlah perkebunan kelapa sawit di daerah Miri dan Bintulu. Dari jumlah tesebut, sedikitnya 805 peserta didik anak TKI yang mengenyam pendidikan di tempat itu.

"Yang kita resmikan hari ini ada sekitar 30 lebih anak-anak peserta didik dari berbagai jenjang, mulai dari TK hingga SD kelas satu sampai enam. Sedangkan untuk gurunya baru satu orang, yaitu ibu Rosdiana," ujar Jahar Gultom, konjen KJRI Kuching.

Keberadaan CLC sendiri sudah disetujui dan diakui oleh pemerintah Malaysia melalui Menteri Sosial, Wanita dan Pembangunan Wanita yang diberi amanat untuk menangani masalah tersebut di Sarawak. Persetujuan tersebut berdasarkan hasil rapat kabinet Sarawak pada tanggal 26 Februari 2015 dan diumumkan melalui media pada tanggal 10 Maret 2015 yang lalu.

"Minimal mengajarkan mereka untuk bisa membaca, menulis dan berhitung. Untuk tenaga pengajar, atas saran dari KJRI, perusahaan merekrut guru dari kalangan TKI itu sendiri yang minimal memiliki pendidikan SMA yang gajinya juga dibayar oleh perusahaan," jelas Jahar.

"Kita tidak tahu di antara mereka anak-anak ini nanti ada yang jadi dokter, guru, polisi, tentara, atau bahkan pejabat tinggi negara ke depannya," imbuh Jahar.

Jika hal tersebut terjadi, tentu semua tidak terlepas dari peran pemerintah Indonesia, pihak perusahaan, dan pihak lainnya yang terlibat dalam upaya mengentaskan pendidikan bagi anak-anak TKI yang terpaksa ikut orangtua mereka bekerja.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com