Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Di Apartemen, Anakku Tidak Kenal Saudaranya Sendiri"

Kompas.com - 27/05/2016, 11:38 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Muhammad Iqbal (3,5) tidak jarang menangis jika bertemu dengan orang yang belum dikenal. Ia memang merasa tidak nyaman berada di lingkungan yang asing baginya.

Kondisi tersebut dialami anak pasangan Desi Puspitasari dan Dadang Tarihoran itu sejak tinggal di apartemen di kawasan Duren Sawit, Kota Jakarta Timur.

Selama beberapa tahun keluarga itu tinggal di apartemen. Meski tidak lama, namun mereka cukup merasakan perbedaan tinggal di unit gedung pencakar langit dengan di perumahan konvensional, terutama dari segi sosial.

"Anakku lebih pendiam, dia enggan berinteraksi dengan orang-orang yang tidak ia kenal, bahkan dengan sepupu-sepupu sendiri atau saudara yang lain," kata Desi, ibu Iqbal, ditemui di Magelang, Jumat (27/5/2016).

Menurut Desi, perilaku anak semata wayangnya itu cukup dimaklumi. Sebab, selama tinggal di ibu kota ia memang sengaja menerapkan sikap "waspada" kepada anaknya saat berinteraksi dengan orang asing, mengingat Jakarta adalah kota dengan tingkat kriminalitasnya tinggi.

Apalagi tinggal di apartemen yang nyaris tidak saling mengenal antar penghuni. Desi berujar, di apartemen ia hanya mengenal tak lebih dari lima orang sesama penghuni. Itu pun tidak sampai lama karena sebagian besar tetangganya hanya menyewa apartemen dan segera meninggalkannya ketika masa sewanya habis.

"Iqbal cuma punya 2 sampai 3 teman sebayanya, itu pun enggak lama, mereka keburu pindah. Selama di apartemen, dia hanya intens ketemu ibu, bapak dan neneknya yang sesekali mengunjungi," ucap Desi.

Desi melihat perubahan perilaku Iqbal saat mulai pindah di perumahan di Kabupaten Cepu, Jawa Tengah. Di perumahan itu, Iqbal memiliki banyak teman dan tetangga yang saling menyayangi. Iqbal kini terbiasa bertemu dengan orang lain dan tidak butuh waktu lama untuk bisa saling kenal.

"Sekarang sudah mendingan, dia lebih ceria, karena banyak teman-teman di perumahan, banyak tetangga juga yang seperti keluarga sendiri," papar dia.

Hal yang sama juga dirasakan Dimas Wahyu Wibowo dan istrinya Indah Anggraini. Mereka sempat merasakan tinggal di apartemen di kawasan Kedoya, Jakarta Barat, selama satu tahun.

Mereka memilih menyewa apartemen karena dinilai praktis, nyaman, banyak fasilitas dan lebih dekat dengan tempat mereka bekerja.

Meski demikian, banyak hal yang mereka tidak sukai ketika tinggal di hunian vertikal itu. Lagi-lagi persoalan hubungan sosial menjadi hal pertama yang dikeluhkan oleh penghuni apartemen.

Menurut Dimas, sebagian besar penguni apartemen adalah orang-orang yang mobilitasnya tinggi. Mereka terlalu sibuk dengan kehidupan masing-masing, sehingga interkasi yang berkualitas antar-penghuni nyaris tidak ada.

"Paling cuma senyum atau ngobrol sedikit di lif, atau pas papasan aja, selebihnya enggak ada," kata dia.

Kondisi tersebut cukup memprihatinkan menurut Dimas. Terlebih, ia memiliki anak yang masih bayi. Jika tinggal di apartemen dengan kondisi seperti itu, maka dikhawatirkan juga akan mengganggu karakter anak terhadap lingkungan sekitarnya.

"Anak akan jarang bergaul ya, jadi cenderung akan menolak orang asing. Dia juga akan tidak tahu alam sesungguhnya karena fasilitas mainan di apartemen biasanya cuma buatan," ucapnya.

Dimas pun menyambut baik para pengembang properti, seperti Cainhill Nine, yang membangun hunian-hunian vertikal dengan konsep lebih humanis. Karena sempitnya lahan serta mobilitas masyarakat urban yang tinggi, pembangunan apartemen atau jenis hunian serupa sejauh ini masih menjadi solusi.

Ruang sosial

Sunyoto Usman, Sosiolog dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menuturkan, individualisme di apartemen memang lebih terlihat dibanding dengan kehidupan masyarakat di pemukiman rumah tapak.

Padahal, individualisme bisa dimanfaatkan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab untuk berbuat kriminal, perjudian, prostitusi hingga terorisme.

Sunyoto berpendapat, pengelola apartemen perlu untuk membangun ruang sosial selain juga ruang fisik. Ruang sosial yang dimaksud adalah forum yang berisi warga atau penghuni apartemen untuk berkumpul.

"Ruang sosial menjadi tempat warga bertemu 'face to face', mereka bisa berbincang tentang isu-isu yang relevan dengan kehidupan keluarga, misalnya tentang listrik, air bersih, sanitasi dan sebagainya," papar Usman.

Kanti Pamungkas, sosiolog Universitas Muhammadiyah Magelang, memandang, munculnya fenomena pembangunan apartemen-apartemen di perkotaan disebabkan karena lajunya pertumbuhan kebutuhan rumah dengan ketersediaan lahan tidak seimbang.  

Sikap individual sangat terasa, sebab tidak ada budaya tegur sapa, ramah tamah, sikap peduli kepada sesama penghuni hingga kontrol sosial juga minim. Cepat atau lambat, fenomena ini akan dapat menimbulkan masalah-masalah sosial yang lebih makro.

Menurutnya, apartemen yang baik adalah apartemen yang juga mengedepankan kenyamanan sosial bagi para penghuni. Sebab, kenyamanan fisik belum tentu identik dengan kenyamanan sosial.

Seperti yang telah dikembangkan oleh perusahaan properti CairnHill Nine yang berbasis di Singapura.
 
Fasilitas itu, sebut Kanti, bisa berupa ruangan khusus yang digunakan untuk berinteraksi menjalin kebersamaan diantara penghuni apartemen. Dengan demikian, budaya silaturahmi atau "atmosfir guyub rukun" dapat mulai dikembangkan.

"Pengelola bisa membuat fasilitas olah raga atau taman bermain, di tempat itu bapak-bapak atau ibu-ibu yang memiliki hobi sama dapat bertemu dan ngobrol ringan setelah pulang kerja, mereka juga sambil menunggu anak-anak bermain," papar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com