Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Mendidik Anak Kebutuhan Khusus, Bunda Nina Rela Digigit hingga Dibayar Nasi Kuning

Kompas.com - 03/05/2016, 12:15 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - "Setiap anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, termasuk anak-anak yang berkebutuhan khusus," kata perempuan yang menggunakan baju ungu kepada Kompas.com, Selasa (3/5/2016) sambil memangku seorang anak laki laki yang berusia 5 tahun.

Dengan telaten perempuan yang akrab dipanggil Bunda Nina ini menujukkan balok warna dan meminta muridnya untuk menirukan warna setiap balok yang ditunjuknya.

Saat ini, ada sekitar 30 anak kebutuhan khusus yang ikut home schooling di Yayasan Matahari yang didirikan Andreina Marcelina SPsi sejak tahun 2012 lalu.

Ada tiga kelas yang dibuka, yaitu mulai pukul 08.00 WIB -10.00 WIB, 10.00 WIB - 12.000 WIB dan 12.00 WIB - 13.00 WIB.

"Kami menerapkan umbrella school, jadi mereka yang ambil siang biasanya sekolah juga di sekolah formal," jelas perempuan kelahiran 19 Januari 1981 tersebut.

Bukan hanya membuka kelas home schooling untuk anak anak kebutuhan khusus, mulai jam 13.00 hingga sore hari Bunda Nina juga membuka terapi. Saat ini, ada sekitar 160 anak yang melakukan terapi di yayasan yang berada di Kelurahan Sobo, Kecamatan Banyuwangi tersebut.

Sebagian besar anak-anak kebutuhan khusus yang melakukan terapi di tempatnya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Mereka membayar semampu mereka.

"Sejak awal saya memang tidak mau masang tarif. Orangtua mereka ada yang bayar dengan nasi kuning jualannya, atau beras atau barang bekas. Apapun yang diberikan kami terima. Kami bisa lakukan subsidi silang. Ini kerja untuk akhirat juga," jelasnya.

Saat ini, Bunda Nina dibantu oleh 15 guru yang rata-rata masih berstatus mahasiswa keguruan mengelola yayasan Matahari Banyuwangi. Mereka mendampingi anak-anak kebutuhan khusus, baik yang bersekolah ataupun melakukan terapi.

"Sebelum mereka megang anak-anak, para guru ikut pelatihan karena penanganan untuk anak-anak kebutuhan khusus memang beda. Buat saya, para guru adalah pengabdi yang luar biasa. Saya belum bisa memberikan yang terbaik buat para guru," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Ia juga menjukkan luka bekas gigitan muridnya di bagian tangan.

"Ini bagian dari konsekwensi seorang terapi perilaku," katanya.

Dari rumah ke rumah

Sebelum mendirikan Yayasan Matahari Banyuwangi, Bunda Nina ditemani suaminya, Muhammad Syaifudin berkeliling dari desa ke desa untuk mencari anak-anak kebutuhan khusus dan memberikan edukasi penanganan kepada keluarga dan masyarakat.

Hal tersebut ia lakukan dengan biaya sendiri dengan alasan masih banyak anak kebutuhan khusus yang disembunyikan di dalam rumah oleh keluarganya.

"Kami hanya ingin membantu agar anak-anak kebutuhan khusus lebih mandiri dan masyarakat juga bisa menerima keberadaan mereka tanpa mengalami diskriminasi," jelas perempuan lulusan psikologi Universitas Diponegoro, Semarang.

Hingga ia memutuskan untuk mendirikan yayasan khusus untuk menangani anak-anak kebutuhan khusus, mulai dari autisme spectrum disorder, attention deficit and hyperactivity disorder, cerebral palsy dan dyselexia, termasuk juga down syndrome.

Tidak jarang ia mendapatkan penolakan dari orangtua dan masyarakat ketika ia meminta agar datang ke yayasannya untuk diterapi karena alasan biaya.

"Saya hanya bilang yang penting ada yang ngantar ke yayasan karena jika terapi dilakukan di rumahnya tidak memungkinkan. Kalau tetap menolak, ya saya tidak berbuat apa-apa lagi, padahal saya sudah bilang nggak usah mikir biaya," katanya dengan mengusap air mata.

"Maaf saya selalu nangis kalau ingat mereka karena tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk mereka," katanya.

Padahal untuk terapi tidak harus dilakukan setiap hari. Seminggu hanya dua atau tiga kali sesuai dengan kebutuhan sang anak, termasuk juga lingkungan yang mendukung dari orangtua dan keluarga.

Ia mencontohkan, seorang anak kebutuhan khusus asal Melaya, Bali, ditemani ayahnya yang datang sore hari untuk melakukan terapi, lalu menginap semalam dan melanjutkan terapi pada pagi harinya sebelum kembali pulang ke Bali.

"Untuk terapi yang dilakukan kepada anak kebutuhan khusus membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua jam. Anak tersebut menunjukkan kemajuan yang luar biasa," katanya.

Saat ini, ibu satu anak tersebut bersebut mempunyai mimpi untuk memiliki sekolah vokasional yang mengajarkan ketrampilan kepada anak anak kebutuhan khusus.

Mereka bisa belajar musik dan keterampilan lainnya untuk bekal kehidupan ke depan seperti sekolah vokasional yang pernah ia kunjungi di Singapura.

Menurut perempuan yang mengikuti College Allied Educator tersebut, di Singapura ada sebuah sekolah yang melatih mereka yang berkebutuhan khusus membuat kerajinan dan pemerintah membantu menjualkan barang, dan hasilnya ditabung atas nama prbadi. Tabungan tersebut baru boleh dibuka jika orangtua yang bersangkutan meninggal dan digunakan untuk biaya hidup.

"Rata-rata orang tua yang memiliki anak kebutuhan khusus selalu 'curhat' ke saya kalau nanti meninggal lebih dulu gimana nasib anaknya. Saya bilang harus dilatih agar bisa mandiri," jelasnya.

Dia juga menegaskan bahwa penanganan anak kebutuhan khusus bukan hanya tanggung jawab pendidik atau keluarga, tapi pemerintah juga mempunyai peranan penting.

"Semua harus saling mendukung agar pendidikan untuk anak kebutuhan khusus mendapatkan perhatian khusus serta tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com