Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lagi, Lumba-lumba Hidung Botol Ditemukan Mati di Pantai Balikpapan

Kompas.com - 27/04/2016, 20:01 WIB
Dani Julius Zebua

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Lumba-lumba hidung botol Indo-Pasifik (Tursiops aduncus) kembali ditemukan dalam kondisi mati di perairan Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu (27/4/2016) pagi.

Lumba-lumba sepanjang 180 sentimeter dan berat 60 kilogram itu sudah dalam keadaan membusuk.

Polisi perairan Balikpapan menemukan mamalia laut ini terombang-ambing di sekitaran pelabuhan speed di Semayang sekitar pukul 07.15 Wita. Polisi tidak gegabah langsung mengevakuasi bangkai lumba-lumba itu.

"Pihak polisi koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan, dinas menyampaikannya ke kami untuk penanganan lumba-lumba," kata Andi Ishak Yusma, kepala Satuan Kerja Balikpapan dari Badan Pengelola Sumber Daya Pesisir dan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Lumba-lumba sempat terbawa arus laut hingga 2 kilometer dari lokasi saat pertama kali ditemukan. Polisi dan tim menemukan bangkai ini setelah menyisir pantai selama 30 menit. Bangkai lumba-lumba itu pun kemudian ditarik ke pantai pasir Kilang Mandiri.

Tim BPSPL hanya mengambil sample kulit dan daging mamalia itu untuk diteliti.

"Kondisi sudah busuk tahap lanjutan. Hanya bisa diambil sampel kulit dan dagingnya saja untuk mengetahui DNA dan penyebab kematian," kata Ishak.

Penyebab kematian

Ishak menduga lumba-lumba mengalami sakit dan sekarat sehingga terbawa arus dan terdampar di pantai. Dugaan itu dilihat dari tubuh ikan yang tidak ada bekas luka.

“Kematiannya mungkin sudah 3 atau 4 hari,” kata Ishak.

Ishak mengatakan, lumba-lumba sakit bisa disebabkan banyak hal. Salah satunya karena sampah dan limbah yang masuk ke tubuh lewat makanan.

“Kami mengambil sampel kulit dan daging. Kita akan memeriksa DNA dan dari sampel daging bisa kelihatan kandungan apa di dalamnya,” kata Ishak.

Lumba-lumba hidung botol ini hidup berkelompok. Habitat satwa ini, kata Ishak, banyak ditemui di Selat Makassar, termasuk di Kaltim dan di Bali.

Temuan lumba-lumba hidung botol mati bukan kali ini saja. Akhir Maret 2016 lalu, satu lumba-lumba juga ditemukan mati di perairan permukiman warga.

Mamalia lain, yakni porpoise, kerabat lumba-lumba dan paus, juga ditemukan mati akhir pekan lalu.   

Ishak mengungkapkan, beberapa kali temuan mamalia mati di perairan Balikpapan menunjukkan adanya kerusakan lingkungan laut. Kerusakan itu bisa karena limbah dan pencemaran di sekitar teluk Balikpapan.

Mereka mengalami gangguan navigasi saat bermigrasi karena laut yang sudah tercemar dan hutan bakau yang tiba-tiba menghilang.

“Mereka cari tempat cocok, tapi sebelum dapat tempat yang cocok, terdampar,” kata Ishak.

Kerusakan teluk

Beberapa temuan mamalia laut yang mati ini menunjukkan kerusakan habitatnya di perairan Balikpapan.

Koordinator Forum Pemerhati Teluk Balikpapan, Husen, mengatakan, kekeruhan air di teluk diyakini mengakibatkan kerusakan habitat.

“Hanya dalam 30 hari ada temuan tiga mamalia laut mati. Ditemukan pula satu penyu hijau tersesat di perairan permukiman warga namun bisa diselamatkan. Ini tanda bahwa habitat di teluk semakin kritis,” kata Husen.

Husen menduga pembangunan industri, permukiman, dan kota, khususnya pada daerah pesisir yang dicanangkan pemerintah kota dan provinsi mengabaikan ekosistem teluk.

Pembukaan lahan terus terjadi, termasuk di Buluminung, Penajam Pasir Utara. Perluasan KIK terus berlangsung. Belum lagi, kata Husen, pembangunan kebun sawit di hulu dari teluk makin gencar.

“Dampaknya sedimentasi yang luar biasa. Kebijakan pembangunan kita ini tanpa ada green belt. Mereka bisa jadi punya izin prinsip tapi tak punya Amdal. Kalau tidak ada penahannya, seperti buffer zone yang digembar-gembor pemerintah (BLH) selama ini, ya jadinya seperti ini,” kata Husen.

Warga dan masyarakat kecil diyakini menerima dampak terburuk. Masyarakat nelayan menjadi tumbal pertama sejak mereka kehilangan area tangkapan. Nelayan di tiga desa, yakni Jenebora, Pantai Lango dan Gresik, sudah kehilangan daerah tangkapan.

Husen mengatakan, kondisi ini harus dicarikan jalan keluar. Pemerintah mesti segera sadar sebelum terlambat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com