Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Sekolah, Sudah 2 Tahun Anak TKI Tak Bisa Bertemu Orangtua

Kompas.com - 08/01/2016, 13:53 WIB
Kontributor Nunukan, Sukoco

Penulis

NUNUKAN, KOMPAS.com - Kain pel yang masih baru itu sedikit demi sedikit mengikis debu dari bekas cat dan plamir yang mengotori lantai dapur asrama SMKN 1 Nunukan yang terletak di Jl Sungai Fatimah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Dengan cekatan, tangan Joeslyn Dominic Kia (17), siswa kelas XII Akutansi SMKN 1 Nunukan tersebut, menyelesaikan pekerjaan mengepel lantai dapur yang belum difungsikan tersebut.

Joeslyn memang sengaja membantu pihak sekolah membereskan asrama sekolah yang rencananya akan difungsikan hari ini.

“Hari ini katanya mau ditempati. Saya salah satu siswa yang mendafar untuk bisa menempati salah satu kamar di sini,” kata Joeslyn, Jumat (8/1/2016).

Joeslyn merupakan satu dari 87 anak buruh migran yang akan menempati asrama di SMKN 1 Nunukan yang berjumlah 20 kamar.

Setiap kamar berisi empat ranjang susun yang akan ditempati delapan siswa. Sebelum menempati asrama sekolah, Joeslyn kos di rumah salah satu guru SMKN 1 Nunukan yang berjarak hanya beberapa meter dari tempatnya bersekolah.

“Selama ini, ngekos di rumah guru. Sebulan Rp 200.000. Untuk makan, masak sendiri.” imbuhnya.

Dalam sebulan, Joeslyn menerima jatah dari orangtuanya yang bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit di Kota Kinabalu Malaysia sebesar Rp 900.000.

Uang itu dibaginya, masing-masing Rp 200.000 untuk membayar kos dan Rp 700.000 untuk biaya hidup dan keperluan sekolah.

Dia mengaku tidak mudah untuk bertahan hidup dengan uang Rp 700.000. Untuk makan, Joeslyn terpaksa masak sendiri dengan menu utama mie instan.

Menyadari kesulitan ekonomi keluarganya, Joeslyn memilih tidak menjenguk orangtuanya di Malaysia ketika libur sekolah.

“Sudah dua tahun belum ketemu orangtua dan adik. Ya kangen, tapi mau bagaimana, demi sekolah ditahan-tahanlah,” ungkap Joeslyn.

Dengan menempati asrama sekolah yang gratis, Joeslyn mengaku bisa menabung dan menghemat biaya hidup. Dia juga mendengar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan biaya makan bagi siswa anak-anak buruh migran yang menuntut ilmu di Kabupaten Nunukan.

Joeslyn mengaku sudah berencana menjenguk orangtua dan ketiga adiknya di Kota Kinabalu, Juni mendatang.

”Bulan Juni mungkin akan menjenguk keluarga karena libur mau puasa kan,” ujar Joeslyn.

Asrama sekolah SMKN 1 Nunukan mampu menampung sebanyak 160 siswa anak buruh migran di 20 kamar yang tersedia. Sementara itu, anak buruh migran yang menuntut ilmu di SMKN 1 Nunukan saat ini berjumlah 87 siswa.

Dengan dibangunnya asrama, Kepala Sekolah SMKN 1 Nunukan Lasali berharap akan lebih banyak lagi anak TKI yang bekerja di Malaysia bisa kembali bersekolah.

”Kendala utama saat ini kan kontrakan. Sebulan Rp 200.000 dikalikan setahun, belum biaya hidup makan minum dan biaya kebutuhan sekolah,” ujarnya.

Lasali menambahkan, asrama sekolah SMKN 1 Nunukan sebenarnya belum diserahterimakan oleh konraktor kepada pemerintah. Namun, menurut dia, kebutuhan asrama bagi siswa anak buruh migran sangat mendesak.

Meski demikian, dia mengaku telah berkoordinasi dengan PPTK Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah yang membangun asrama untuk segera ditempati. Tingginya kebutuhan asrama sekolah, lanjut Lasali, sangat berpengaruh terhadap semangat belajar anak-anak buruh migran yang kebanyakan berprofesi sebagi buruh di perkebunan sawit.

Pada tahun 2014, tiga siswanya terpaksa putus sekolah karena tidak mampu menopang kebutuhan hidup anak-anak buruh migran di Nunukan.

Untuk kebutuhan hidup, Lasali mengaku telah mengajukan usulan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menanggung keperluan hidup anak-anak buruh migran tersebut sebesar Rp 60.000 setiap hari.

”Kenapa kita percepat untuk anak-anak bisa masuk? Supaya mereka ini kan mengurangi biaya kontrakan mereka. Kita sudah sudah konsultasi juga dengan PPTK dari Direktorat tidak ada masalah dimasuki duluan. Karena ini menjadi daya tarik untuk anak-anak TKI untuk bisa sekolah di sini. Kami usulkan juga negara menanggung biaya hidup mereka sebesar Rp 60.000 sehari. Itu baru usulan kita,” ujar Lasali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com