Dede Tri (34), pengemudi Go-Jek, sangat kecewa terhadap keputusan tersebut. Menurut dia, keberadaan Go-Jek sangat terasa manfaatnya.
"Saya harap petinggi Go-Jek bisa bernegosiasi. Kami tidak senang dengan kebijakan itu," ucap Dede kepada Kompas.com, Jumat (18/12/2015).
Dia mengatakan, ekonomi keluarganya sangat terbantu setelah adanya ojek berbasis aplikasi itu.
"Ada yang nganggur jadi Go-Jek, dari hal lapangan kerja sangat dibutuhkan. Untuk konsumen yang malas ke luar bisa menggunakan aplikasi itu. Jadi sangat merugikan kalau ditutup. Undang-undangnya diatur lagilah," kata dia.
Berbeda dengan Dede, Rayadi (23) mengaku penutupan transportasi berbasis aplikasi cukup masuk akal. Pasalnya, bagi pengemudi sendiri, faktor keamanan pengemudi belum terjamin lantaran masih adanya konflik sosial.
"Kita seperti kucing-kucingan dengan ojek pangkalan, tidak amanlah," ungkapnya.
Dia menambahkan, sistem dari manajemen perusahaan juga perlu diperbaiki.
"Semenjak sanksi massal kemarin, sistemnya jadi enggak benar. Teman saya dapat tiga orderan dalam satu jam. Itu langsung di sanksi, katanya fiktif. Itu yang buat kita merasa dirugikan," ucapnya.
Dari pantauan Kompas.com, kantor Go-Jek Bandung yang beralamat di Jalan BKR (Lingkar Selatan) masih beroperasi seperti biasa. Seorang anggota polisi terlihat berjaga di luar kantor.
Kantor Go-jek Bandung mendapat penjagaan aparat kepolisian pasca insiden demo dari sejumlah pengemudi yang terkena sanksi.