Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Semangat Noldy, Guru di Sekolah Berdinding Bambu

Kompas.com - 25/11/2015, 10:27 WIB
Kontributor Manado, Ronny Adolof Buol

Penulis

TALAUD, KOMPAS.com - Noldy Lumangkibe terlihat begitu bersemangat datang sepagi mungkin. Posisinya sebagai Kepala Sekolah SMA Udamakatraya membuatnya bertekad menjadi teladan.

Bukan saja karena dia sebagai guru, tetapi lebih dari itu dia harus menjadi motivator bagi anak didiknya dan guru-guru lainnya.

Jangan membayangkan SMA Udamakatraya seperti sekolah pada umumnya. Bangunan sekolah yang berada di Desa Bannada, Kecamatan Gemeh, Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara ini jauh dari layak.

Dindingnya dari bambu, atapnya dari rumbia dan lantai tanahnya tidak disemen. Bangunan ini lebih mirip gubuk besar daripada sebuah sekolah.

Namun toh kondisi itu tidak melunturkan semangat Noldy mengabdi sebagai pengajar. Padahal, dia bukan asli orang Talaud, namun dari Tanah Minahasa terpisah lautan yang terbilang jauh.

"Sebagai abdi Negara, saya harus siap ditempatkan di mana saja, termasuk di kabupaten perbatasan dan terluar ini," kata Noldy.

Awalnya Noldy adalah guru SMP, lalu dia diminta menjadi kepala sekolah di SMA itu. Merasa terpanggil Noldy mengiyakan permintaan itu.

SMA Udamakatraya dibangun dengan prakarsa masyarakat Bannada, karena jika anak-anak mereka lulus SMP harus berjalan sangat jauh ke kecamatan lain. Padahal, akses jalan penghubung di Kecamatan Gemeh belum terbangun dengan baik. Rusak di sana sini.

"Saya mau anak-anak didik saya tidak minder dengan kondisi sekolah mereka. Dan saya ingin mereka juga tidak kalah berprestasi dengan sekolah lainnya yang lebih layak," ujar Noldy.

Para siswa di sekolah ini datang dari empat desa. Selain Bannada, warga dari desa Lahu, Apan dan Malat juga menyekolahkan anak-anak mereka di SMA Udamakatraya.

Sekolah ini mulai dirintis sejak 2009, tapi baru bisa didirikan pada tahun 2012 dengan dana seratus persen dari warga desa.

Mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 6 juta waktu itu. "Dana itu kami pakai beli bambu, kayu untuk tiang dan atap rumbia. Tidak cukup untuk membeli semen untuk lantai," ungkap Noldy.

Bangku dan meja pun disumbang oleh orangtua siswa. Awalnya bangunan sekolah itu didirikan di komplek makam Raja Porodisa di tepi pantai. Namun kemudian oleh pemerintah daerah diminta pindah karena di dekat makam dibangun monumen.

"Beberapa waktu lalu sekolah kami diminta oleh Bupati untuk dipindahkan ke sini, karena katanya bupati malu tamu-tamu yang akan datang akan lihat bangunan sekolah kami," kata Noldy.

Bupati Talaud Sri Wahyuni pada 20 Juni lalu memang membawa rombongan Pemkab Talaud menyambangi Bannada dalam rangka meresmikan Monumen Silsilah Porodisa Yupung Tanani yang dibangun di komplek makam raja tersebut.

Atas alasan itulah, menurut Noldy, Bupati meminta mereka memindahkan bangunan sekolah mereka. Namun, kondisi sekolah tak berubah sama sekali, bahkan bupati tak memberi dana pemindahan.

Noldy berharap sekolahnya segera mendapatkan SK Operasional agar bisa mendapat bantuan dana dari pemerintah. Sebab tanpa itu menurutnya sekolah mereka tidak akan tercatat di Kementerian Pendidikan.

Kondisi itu mengharuskan anak didik Noldy yang akan ikut Ujian Nasional, menempuh jarak 80 kilometer ke Melonguane, ibukota Talaud. Mereka harus ikut UB di salah satu sekolah di sana.

"Terakhir kami meluluskan 18 siswa. Mereka harus menumpang nginap satu bulan di Melonguane untuk menghadapi ujian akhir itu," papar Noldy.

Noldy berharap, Bupati dan Pemerintah bisa mengulurkan bantuan mereka, setidaknya dengan menerbitkan SK Operasional bagi SMA mereka.

Selama ini, memang tidak ada sama sekali bantuan yang mereka terima. Operasional sekolah sehari-hari semuanya berasal dari swadaya warga dan iuran siswa, termasuk gaji para guru honorer.

Buku cetak pun merupakan buku-buku bekas sumbangan para guru. Selain Noldy yang sudah berstatus PNS tetap, ada dua lagi guru PNS bantuan serta ada delapan guru honorer yang semuanya warga desa Bannada yang menyandang gelar S1 Pendidikan.

Dengan komposisi itu, sebenarnya mereka berharap sudah bisa mengantongi SK Operasional agar para siswa yang akan mengikuti ujian nasional tidak perlu lagi ke Melonguane.

Salah satu siswa Kelas 12 IPA, Anastasia Metusalach mengakui mencintai sekolahnya walaupun bangunannya sangat sederhana. Anastasia yang berasal dari desa tetangga, tidak memiliki pilihan lain selain bersekolah di SMA Udamakatraya.

"Saya setiap hari harus jalan kaki ke sini, lumayan jauh, jalannya rusak, tapi tetap harus semangat demi menyelesaikan pendidikan. Kami hanya bisa berharap, satu saat sekolah ini diperhatikan oleh Pemerintah," ungkap Anastasia.

Harapan Anastasia mungkin tak berlebihan. Dengan melihat sejarah Bannada yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai salah satu desa tertua di Talaud. Di desa ini masih tersimpan berbagai benda cagar budaya serta jejak sejarah termasuk makam raja-raja.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com