Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kehidupan Eks Tapol di Kendari, Bebas tetapi "Terpenjara"

Kompas.com - 01/10/2015, 20:41 WIB
Kontributor Kendari, Kiki Andi Pati

Penulis


Termarjinalkan

Kondisi termarjinalkan itu dirasakan Ambardin. Dia diasingkan lingkungannya karena sang ayah, La Ode Hadidi juga dituduh terlibat dengan PKI saat menjadi kepala mantri kesehatan se-Wakatobi.

Ambardin mengenang, saat bapaknya ditangkap, ia baru berumur dua tahun sehingga dia sebenarnya tidak memahami situasi politik saat itu. Namun, setelah masuk sekolah dasar dia dikucilkan dan tidak bisa bergaul dengan anak-anak lain yang orangtuanya tidak terlibat dengan komunisme.

”Seperti anaknya tentara. Kalau ingin dia mau pukul kita, tidak segan-segan mereka. Asal dia melihat itu, eh anaknya PKI itu, langsung dia buru kita. Seperti keluarga dekat itu banyak yang sudah tidak mengakui lagi, bahwa itu keluarga saya. Apa lagi dia sebagai PNS, polisi dan tentara itu sangat takut sekali,” kata Ambardin.

Akibat stigma  negatif itulah, Ambardin tak pernah memiliki cita-cita lagi. Sebab, pemerintah melarang anak-anak anggota PKI menjadi PNS atau pekerjaan pemerintahan lainnya. Bahkan hanya untuk mengurus KTP saja, Ambardin selalu dihambat.

Pengalaman pahit serupa juga dirasakan Fauzu yang mulai menghuni penjara pada 1966. Sama seperti yang dialami Lambatu, Fauzu juga menderita siksaan selama menghuni penjara.  Akibatnya, salah satu matanya kini buta.

”Kalau terbukti memang saya terlibat dalam perkara ini, saya rela dihukum mati dibunuh di tempat. Saya tanda tangan dengan darah saya sendiri dari pada disiksa," ujarnya.

Penyiksaan mulai berkurang pada 1970, dan tak lama kemudian mereka dinyatakan bebas namun masih harus menjalani masa isolasi di tempat lain. Pada suatu malam di tahun 1970, dengan menggunakan kapal laut bernama Sultra, puluhan eks tapol asal Buton diangkut ke Kendari.

Mata mereka ditutup kain agar para eks tapol tidak tahu lokasi tujuan mereka selanjutnya. Setibanya di Kendari mereka digiring ke kamp pengasingan di Ameroro, Kabupaten Konawe. Selama di Ameroro, mereka juga mengalami penyiksaan. Tapi tidak separah seperti saat di dalam penjara Buton.

Hingga 22 Desember 1977, sebanyak 175 tapol PKI golongan B  ditahan di Ameroro. Selain di kamp pengasingan Ameroro, beberapa tapol juga ditahan di kamp pengasingan Pudotoa, Lepo-Lepo dan Tinggololi, Kendari.

Kampung Nanga-Nanga merupakan lokasi pengasingan terakhir bagi para eks tapol PKI. Lahan tersebut merupakan hadiah dari Pangkopkamtib Sudomo waktu itu. Mereka mendapat surat izin penggarapan lahan yang ditandatangani komandan korem setempat.

Surat izin penggarapan adalah pengganti sertifikat, jika ada yang mempermasalahkan lahan tersebut. Awalnya, lahan itu diperuntukkan bagi 500 tapol golongan B se-Indonesia Timur. Namun, hanya 42 orang tapol asal Buton, Muna, Kendari, Wawotobi, Kabupaten Konawe, Kolaka dan Makkasar yang bersedia bermukim di kampung Nanga-Nanga.

Ternyata tidak banyak yang tahan dengan kondisi dalam kampung tersebut. Kampung itu seperti penjara kedua buat mereka. Mereka mampu bertahan dengan membuka lahan dan menanam ubi. Namun, jerih payah mereka kerap sirna karena terlebih dahulu disantap babi hutan.

Apabila hujan deras, mereka terpaksa berjalan kaki dengan air sepinggang untuk membeli beras dan begitu tiba di pasar sebagian pedagang memilih menghindar karena takut melayani mereka yang sudah dicap PKI itu.

Kini, Lambatu biasa didatangi mahasiswa semester akhir yang melakukan wawancara untuk bahan pembuatan skripsi. Selain itu, ia juga masuk 15 orang eks tapol yang akan menyusun buku berjudul "Memecah Pembisuan" yang dikoordinir Ilham Aidit, anak mantan Ketua Umum PKI, DN Aidit.

"Dari LIPI juga pernah mendatangi saya di rumah ini untuk wawancara sebagai bahan riset," papar Lambatu.

Lambatu menyesalkan beberapa adegan film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang semasa pemerintahan Orde Baru selalu diputar setiap tahun. Dalam film ini, rapat persiapan kudeta militer digambarkan dihiasi kepulan-kepulan asap rokok yang keluar dari mulut para anggota PKI. Hal itu, ujar Lambatu, dianggap tidak sesuai dengan paham PKI.

“Di PKI kita dilarang merokok, karena rokok itu candu. Kita juga dilarang beristri dua, karena satu istri saja belum tentu bisa adil,” paparnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com