Menariknya, tiga gunung terakhir berada di wilayah provinsi Sulawesi Utara. Selain Soputan di Minahasa Tenggara dan Minahasa Selatan, Lokon di Tomohon dan Karangetang di Sitaro, Sulut masih punya beberapa gunung berapi lain yang tidak aktif atau statusnya normal.
Sebut saja Gunung Mahawu di Tomohon, Gunung Ruang di Sitaro, gunung Awu di Sangihe dan gunung berapi bawah laut Mahagetang di Perairan Nusa Utara. Keberadaan gunung api itu membuat daerah Sulawesi Utara kecuali wilayah Bolaang Mongondow rentan terhadap bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung.
Sebab, di semua wilayah gunung berapi tersebut, bermukim warga dengan aktivitas pertanian dan perkebunan mereka, bahkan beberapa desa terletak sangat dekat dengan kawah. Namun di sisi lain, keberadaan gunung berapi tersebut membuat wilayah Sulut dikarunai alam yang indah serta unik, dan material vulkanik yang dimuntahkan gunung berapi menjadi penyubur lahan perkebunan.
"Kami harus akui bahwa Lokon dan Mahawu telah membuat lahan kebun kami menjadi subur," ujar Fredy, petani sayur-sayuran asal Kakaskasen, Tomohon, Senin (9/3/2015).
Kepala Pos Pemantau Soputan Sandi Monengkey menjelaskan dalam letusannya pada Sabtu lalu, Soputan menyemburkan material vulkanis setinggi 4500 meter, dan awan panas juga teramati meluncur sejauh 2500 meter. Walau demikian belum ada perintah pengungsian dari pemerintah setempat.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Mitra Yopi Mokodaser mengimbau agar warga tidak beraktivitas dalam radius 6,5 kilometer dari kawah. Pelarangan yang sama juga ditujukan bagi para pendaki, walau masih ada laporan aktivitas pendakian.
Berdasarkan pengamatan Kompas.com yang berkeliling di wilayah-wilayah terdampak bencana Soputan, warga tetap beraktivitas seperti biasanya dan belum terganggu dengan erupsi Soputan walau sempat terjadi hujan abu.
Warga menganggap aktivitas vulkanis Soputan sudah menjadi rutinitas bagi mereka, kecuali memang ada perintah mengungsi. "Sudah biasa gunung itu begitu, kami tidak kaget lagi kalau Soputan meletus. Gunung itu tidak akan meletus besar setiap saat, memang dulu pernah meletus besar, ya kalau sudah begitu harus mengungsi," ujar Oma Bertje, warga Tombatu, Mitra.
Beberapa pemukiman warga bahkan hanya berjarak ratusan meter dari kawah Karangetang. Warga pulau Siau bahkan khawatir jika Karangetang dalam waktu cukup lama tidak menunjukkan aktivitasnya. Sebab jika erupsi, material vulkanis yang tertimbun di kawahnya dapat mengakibatkan letusan besar yang membahayakan.
"Kalau gunung itu aktif terus kan materialnya tidak tertumpuk di atas, keluar sebagian-sebagian," kata Rano, warga Ulu, Sitaro.
Karangetang yang juga dijuluki "The Real Volcano" dengan ketinggian 1784 meter ini sering juga dianggap sebagai gunung adat bagi warga pulau Siau. Pasalnya, setiap kali Karangetang erupsi warga sering mengaitkan kejadian itu dengan pelanggaran adat oleh warga yang ada di pulau Siau.
"Warga percaya, Karangetang akan berhenti erupsi jika pelanggaran adat seperti perbuatan asusila sudah terungkap, dan memang itu sering terjadi," ungkap antropolog asal Sitaro, Dirno Kaghoo.
Setidaknya ada 40 letusan besar Karangetang yang pernah terekam sejak 1675 dan banyak tambahan letusan kecil lainnya yang tidak terdokumentasi. Lima letusan besar dari gunung api bertipe stratovolcano ini yang menimbulkan kematian terjadi pada 1940, 1972, 1976, 1983 dan tahun 1991.
Hingga kini status siaga belum dicabut sejak ditetapkan pada 3 September 2013. Walau mengancam keselamatan pemukiman warga, keberadaan Karangetang diyakini penduduk Siau membawa berkah tersendiri bagi pulau indah ini.
Siau terkenal sebagai salah satu penghasil pala terbaik di dunia, dan itu diyakini karena karakteristik tanahnya yang unik lantaran kehadiran Karangetang.
Di kaki Gunung Lokon, para petani menggantungkan hidup mereka dari berbagai jenis tanaman bunga yang subur dan indah. Tak ayal Tomohon menjadi daerah penyuplai bunga utama bagi Sulut.
Di kota ini juga secara berkala digelar Tomohon International Festival of Flower sebagai bentuk apresiasi bagi para petani bunga.
Sementara di kaki Gunung Mahawu yang berstatus normal ini, para petani holtikultura menjadi pemasok utama kebutuhan sayur mayur bagi Sulut terutama Kota Manado. Bahkan beberapa pengusaha holtikultura menyuplai produksi sayuran Tomohon hingga ke Ternate dan Kalimantan.
Lokon memiliki ketinggian 1.580 meter dan hingga kini status siaganya yang ditetapkan sejak 24 Juli 2011 juga belum dicabut. Lokon pernah meletus dahysat pada tahun 1951, 1991, 2001 dan 2011. Pada letusan di tahun 1991 ribuan penduduk Tomohon harus diungsikan dan lontaran batu dan debunya merusak ratusan rumah warga.
Keberadaan gunung-gunung api di Sulut ini di samping menjadi penyuplai kesuburan tanah pertanian dan perkebunan juga menjadi penambah keindahan dan keunikan alam Sulut. Banyak wisatawan mancanegara datang ke Sulut hanya untuk melihat dan menyaksikan sendiri keberadaan gunung-gunung berapi tersebut.
"Saya tiap bulan selalu kedatangan wisatawan dari luar negeri untuk ditemani melihat dan mendaki Karangetang," ujar Dominik, salah satu pemandu gunung berapi di Siau.
Namun di sisi lain, keberadaan gunung berapi ini juga tentu harus diantisipasi oleh pemerintah daerah terutama BPBD saat gunung berapi tersebut menunjukkan aktivitas vulkanis seperti yang terjadi pada Soputan saat ini. "Kami sudah mendirikan pos-pos siaga dan selalu menyiapkan petugas saat ada kejadian. Pada beberapa hari belakangan ini kami juga sudah turun membagikan masker dan melakukan verifikasi kerusakan yang ditimbulkan oleh erupsi Soputan," kata Mokodaser.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.