Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putus Mata Rantai Hidup di Jalanan, Pengamen DIY Dirikan Sekolah

Kompas.com - 30/01/2015, 17:41 WIB
Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah pemuda di Ledok Timoho, Yogyakarta, merintis sebuah sekolah gratis dengan nama Gajah Wong. Pendirian sekolah itu dilatarbelakangi keinginan memutus mata rantai hidup di jalanan dan memberikan harapan kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Secara administrasi, Ledok Timoho tidak terdaftar di pemetaan Kota Yogyakarta. Sebab, lokasi ini merupakan perkampungan urban, tempat tinggal masyarakat bawah yang sebagian besar pendatang. Namun demikian, lokasi yang berada tepat di bantaran sungai Gajah Wong ini sudah mulai ditinggali sejak 15 tahun lalu.

Sebagian besar warga yang tinggal di Ledok Timoho ini pun menggantungkan hidupnya dari jalanan, baik menjadi pemulung maupun pengamen. Bagi meraka, mencari nafkah dengan menjadi pengamen dan pemulung merupakan satu-satunya pilihan bagi pendatang yang tak memiliki bekal pendidikan serta keterampilan yang memadai. Keterbatasan ekonomi akhirnya memaksa anak-anak di Ledok Timoho tak dapat mengeyam pendidikan. Alhasil, setelah beranjak dewasa mereka mengikuti jejak orangtua masuk ke jalanan sebagai pengamen ataupun pemulung.

Tak hanya keterbatasan ekonomi, karena pendatang sebagian besar warga di Ledok Timoho tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Karenanya, pernikahan yang terjadi pun tak terdaftar di Catatan Sipil, sehingga anak-anak yang lahir tidak dapat memiliki akta kelahiran. Imbasnya, mereka kesulitan mendaftar ke sekolah formal dan berakhir di jalanan seperti kedua orangtua mereka.

"Di sini memang perkampungan urban. Generasi ke genarasi menggantungkan hidup di jalanan. Ya, karena berbagai permasalahan itu," jlas koordinator Sekolah Gajah Wong Faiz Fakhruddin saat ditemui di Ledok Timoho, Jumat (30/1/2015).

Dari keprihatinan itu, akhirnya Sanggar Tabah yang selama ini menjadi satu-satunya tempat advokasi bagi warga Ledok Timoho berusaha memutus mata rantai hidup di jalanan. Satu-satunya cara adalah dengan memberikan bekal pendidikan bagi generasi selanjutnya, terutama anak-anak usia dini.

"Sanggar tabah itu isinya juga anak-anak jalanan, pemulung dan pengamen. Ya, warga sini juga. Kita ingin memutus mata rantai agar generasi selanjutnya tidak seperti sebelumnya," tegasnya.

Insiatif pengamen

Pada 2011 lalu, para pengamen dan pemulung berinisiatif mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak usia dini di Ledok Timoho. Faiz ditunjuk untuk menjadi koordinatornya.

"Awal-awal kita masih jemput bola dengan memberi pemahaman pentingnya pendidikan ke orangtua," tandasnya.

Dari jemput bola itu, lanjutnya, ada sekitar 22 anak-anak usia dini yang mau masuk ke sekolah Gajah Wong. Dari 22 itu dibagi menjadi 2 kelas, yakni kelas akar dan kelas rumput.

"Kelas akar usia 3 tahun sampai 5 tahun. Lalu kelas rumput usia 5 tahun sampai usia 7 tahun," ujarnya.

Menurut dia, untuk saat ini, total sudah ada 39 anak yang belajar di sekolah Gajah Wong. Siswanya pun tidak lagi hanya anak-anak Ledok Timoho, tetapi berasal dari tetangga desa.

Untuk tenaga pengajar, lanjut Faiz, awalnya menggunakan relawan dari mahasiswa. Lalu seiring berjalannya waktu, tenaga pengajar ditambah dari beberapa guru sukarela.

"Sekarang kita ada 5 guru, ini masih kekurangan. Relawan dari mahasiswa kan tidak sewaktu-waktu bisa di sini karena kesibukan kuliah," tuturnya.

Menurut dia, sekolah Gajah Wong tidak hanya diperuntukan bagi anak-anak usia dini, tetapi juga untuk orangtua. Bagi orangtua, waktu belajar digelar setiap hari Sabtu.

Biaya urunan

Mendirikan sekolah memang tidak semudah yang dibayangkan, terutama soal biaya pembangunan kelas dan gaji guru. Namun dengan tekad dan semangat memutus mata rantai hidup di jalanan, keterbatasan uang tidak menjadi sebuah halangan.

Demi dapat memiliki sekolah gratis, para pengamen dan pemulung di Ledok Timoho rela setiap hari menyisihkan pendapatannya, mulai dari Rp 15.000 sampai dengan Rp 10.000 untuk membiayai pembangunan kelas.

"Hasil pendapatan mereka memang tidak banyak. Tapi mereka masih rela menyisihkan uang untuk membangun sekolah," ujarnya.

Uang itu dikumpulkan untuk membeli bahan bangunan. Untuk mengurangi biaya, pasir sengaja dicari dari sungai. Lalu ada saja dermawan yang membantu genteng dan bahan-bahan bangunan lainnya.

"Ya, hasilnya itu kita bisa bangun satu kelas sederhana. Itu usaha mandiri, tidak ada satu paku pun yang dari pemerintah," ucapnya.

Untuk biaya operasional sekolah, lanjut Faiz, pihaknya menggulirkan program donasi sampah untuk sekolah, beternak dan menjual kaos.

"Jadi kita share lewat media sosial donasi sampah seperti koran bekas dan botol-botol bekas, atau apa pun. Barang itu kita pisahkan untuk bahan mengajar dan lainnya dijual," katanya.

Selain dari donasi sampah, biaya operasional sekolah juga didapat dari hasil ternak. Faiz mengatakan, saat ini pengelola beternak bebek, kambing dan ikan. Dulu ada sapi namun sudah dijual untuk biaya menambah pembangunan satu kelas. Sebab, anak-anak yang mendaftar semakin banyak dan tidak mungkin ditolak.

"Ya, dari ternak, jual kaos dan donasi itu kita bisa menggaji 5 guru. Mereka kan juga mencari nafkah untuk keluarga, jadi tetap harus ada gaji," tandasnya.

Sekolah gratis

Sekolah Gajah Wong memiliki konsep pendidikan gratis. Namun orangtua tetap dibebani jatah piket membersihkan sekolah. Selain itu, orangtua juga mendapat jatah ikut mendampingi anaknya saat belajar.

"Biaya sekolah diganti dengan tanggung jawab orangtua menjalankan piket sekolah," tandasnya.

Dari sekolah gratis ini, ia berharap generasi selanjutnya dapat merajut masa depan yang lebih baik dan meninggalkan kehidupan jalanan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com