Pramoedja mengatakan, kasus penyerangan Charlie Hebdo seharusnya menjadi tolok ukur kehidupan pers di Indonesia. Pers sudah semestinya diberi kebebasan, namun media harus bisa bertanggung jawab.
"Kalau terbitan teralu berani hingga diserang bisa dilihat dari beragam hal. Biasanya media yang membangun isu-isu kontroversial berkaitan oplah," kata Pramono, Kamis siang tadi.
Sebagai seorang pekerja seni, dia mengakui bahwa karikatur mempunyai dimensi magis. Ia mampu menarik orang, membuat tertawa hingga membakar gedung.
“Tapi, kalau mengkritik dan membuat gambar Nabi Muhammad itu sangat tidak etis. Karikatur tidak sekadar menggambar. Ia punya makna, tujuan, membangun kecerdasan,” kata kartunis Sinar Harapan ini didampingi kartunis Cempaka, Abdullah Ibnu Thalkah.
Berdasarkan penelusurannya, majalah Charlie Hebdo adalah majalah mingguan yang oplahnya terbatas. Seiring menerbitkan karya yang sensasional, oplah majalah itu cenderung meningkat tajam. Meski begitu, dia minta agar insan pers di Indonesia tak perlu ketakutan. Kebebasan era reformasi di Indonesia bisa lebih dinikmati karena dilindungi konstitusi. Dia menilai, ketakutan justru akan membelenggu mereka dalam hal berkreasi.
Kritik yang sama disampaikan pengamat komunikasi media dari Universitas Diponegoro Semarang, Triyono Lukmantoro. Kontroversi karya majalah Cherlie Hebdo memang membuat panas pihak lain.
“Semua agama itu dikritik. Charlie Hebdo sebetulnya tidak perlu melakukan hal tersebut. Ngakunya sayap kiri, tapi tindakannya sayap kanan,” kata dosen Undip ini.
Dia berpendapat, perlu bagi media massa untuk bisa menghormati kebebasan yang dimilikinya. Kebebasan memang menjadi ruh media massa, tapi juga harus bisa memahami kebebasan orang lain. Untuk itulah, kartun yang tergambar dalam sebuah karya media harus mempunyai etika.
“Kartun harus punya etika. Harus punya kebenaran dan dapat dipertanggungjawabkan,” tambahnya.
Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang, Tedi Kholiludin menguraikan, peran pemahaman keagamaan turut menjadi pemicu mudahnya penggunaan jalan kekerasan, termasuk penyerangan terhadap kantor majalah Charlie Hebdo tersebut. Berdasarkan catatannya, banyak kasus kekerasan di Indonesia dilatarbelakangi oleh pemahaman agama yang sempit dan cenderung literalistik. Mereka yang melihat idolanya dijelek-jelekkan merasa tersinggung. Jalan yang cenderung mudah ditempuh adalah dengan tindak kekerasan.
Penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo disertai penembakan itu menyebabkan 12 orang korban tewas, termasuk satu pemimpin redaksi dan tiga kartunis kawakan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.