Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Mpu Gondrong" Pembuat Keris Batu Akik Asal Bengkulu

Kompas.com - 23/12/2014, 13:19 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com — "Demam" batu akik terjadi di seluruh Nusantara. Mulai dari kalangan rakyat jelata hingga petinggi. Dari beragam daerah pun muncul batuan hasil perut bumi, dan mulai dengan harga yang murah hingga miliaran rupiah.

Di Bengkulu, demam batu akik juga melanda. Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi menyebutkan, tidak kurang dari 150 ton batu akik asal daerah itu dijual ke luar Bengkulu sepanjang tahun 2014. Sayang, tak banyak batuan tersebut diolah menjadi aksesori bernilai jual tinggi.

Ngadenin adalah salah satu warga Kelurahan Kandang Mas, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu, yang menjadi perajin batu akik bernilai jual tinggi. Dia mampu mengolah batu akik biasa menjadi beragam aksesori, seperti tempat lampu kamar, pipa rokok, kujang, keris, hiasan meja, asbak, gagang pistol, dan bonggol persneling mobil.

"Baru satu tahun ini saya mengolah batu akik menjadi bahan jadi, seperti keris, bernilai tinggi. Hal itu bermula dari anak saya yang sedih saat batu akiknya hilang, lalu saya berniat menghilangkan kesedihannya dengan membuatkan dia batu akik yang lebih bagus," kata Ngadenin saat dijumpai di rumahnya, Selasa (23/12/2014).

Pesanan pengolahan batu akik milik Ngadenin yang juga akrab disapa Gondrong ini ternyata mendunia dan dijual hingga ke mancanegara, seperi Brunei Darussalam dan Singapura. Untuk pasar nasional, batu akiknya dijual ke wilayah Pulau Jawa dan sekitarnya.

Hasil karya Ngadenin tergolong bagus, rapi, dan sedikit rumit sehingga menghasilkan nilai artistik tinggi. Tak jarang pesanan datang dari pejabat daerah, baik dari kalangan Polri maupun TNI.

Untuk mengolah batu akik, ia memasang tarif beragam, mulai dari Rp 300.000 hingga jutaan rupiah, tergantung kerumitan dan bahan baku. "Saya biasanya mengerjakannya saja, sementara bahan baku dari konsumen," kata dia.

Dia juga menceritakan inspirasinya kali pertama mengubah akik menjadi keris saat ia melakukan ritual cuci keris pada Bulan Muharam. Awalnya, ia tak memiliki kemampuan mengolah. Namun, ia belajar secara otodidak. "Dari sana saya berpikiran, ada baiknya batu akik dibuat menjadi keris, dan hasilnya sangat memuaskan. Barulah order dari konsumen berdatangan," kata pria yang memiliki pekerjaan utama sebagai kuli bangunan.

Batu akik ramah lingkungan
Ia juga menyesalkan, sejak harga batu akik beranjak naik, banyak pencari batu akik semena-mena membongkar tanah dan mencari batu yang bernilai jual tinggi. Kondisi ini dapat merusak lingkungan hidup.

"Memang harus diatur, agar lingkungan tak rusak akibat keserakahan menjual batu akik, pemerintah harus buat aturan, termasuk monopoli oleh kelompok tertentu," kata dia.

Saat ini, bahan baku batu akik perlahan mulai susah didapat, apalagi dengan maraknya pembelian bahan mentah batu tersebut yang banyak dikuasai oleh pengusaha dari luar Bengkulu. "Kita kadang tak kebagian lagi bahan baku karena semua dijual, padahal sangat baik dibuat bahan jadi, yang bernilai tinggi," kata dia.

Sejak Ngadenin menggeluti kerajinan batu akik, ia mulai memberdayakan pemuda di lingkungan tempat ia tinggal dengan memberikan pelatihan secara otodidak. "Saya bercita-cita menjadikan kampung ini sebagai kampung perajin batu akik agar para pemuda yang menganggur mendapatkan pekerjaan. Tentunya ini harus didukung pemerintah daerah," imbuhnya.

Dia mengakui, kelemahannya selaku perajin batu akik tradisional adalah akses pasar dan jaringan. "Saya pernah membuatkan keris dari batu akik berbagai jenis. Modal saya hanya Rp 500.000, tetapi dijual oleh konsumen ke orang lain, harganya mencapai Rp 25 juta. Saya terkaget-kaget campur bangga," kenangnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com