Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Sebutan "RS Kusta" Berganti Menjadi "RS Infeksi"...

Kompas.com - 24/09/2014, 09:39 WIB
Achmad Faizal,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

SURABAYA, KOMPAS.com - Berbagai upaya dilakukan pihak pemerintah maupun swasta untuk menghapus stigma negatif di tengah masyarakat tentang penyakit kusta. Karena selain mengarah pada perilaku diskriminatif, stigma itu juga menimbulkan dampak psikologis bagi penderitanya.

Selain menggencarkan sosialisasi pemahaman penyakit kusta di tengah-tengah masyarakat, pemerintah dalam waktu dekat akan mengubah nama tempat pasien penderita kusta dirawat dari "Rumah Sakit Kusta" menjadi "Rumah Sakit Infeksi".

"Perubahan nama itu saat ini sudah ditandatangani Gubernur Jatim dan segera akan diaplikasikan di semua rumah sakit Kusta di Jatim.," kata Kepala Rumah Sakit Kusta Kediri, Nur Siti Maimunah, belum lama ini.

Perubahan nama rumah sakit itu, kata Nur, diharapkan setidaknya mengubah cara pandang masyarakat tentang penyakit kusta yang sudah terlanjur berkonotasi negatif. Perubahan nama rumah sakit juga dimaksudkan agar masyarakat tidak segan-segan datang ke rumah sakit kusta meskipun untuk mendapatkan layanan kesehatan umum.

"Rumah sakit kusta yang menyediakan layanan penyakit umum di kebanyakan daerah selalu sepi pasien, karena ada nama kusta-nya, padahal juga ada layanan kesehatan umum," kata Nur.

Di Jawa Timur, ada dua rumah sakit kusta yang dioperasikan pemerintah. Selain Rumah Sakit Kusta Kediri, juga ada Rumah Sakit Kusta Sumberglagah di Kecamatan Pacet Mojokerto. Kedua rumah sakit itu merawat ratusan pasien kusta dari berbagai daerah di Jawa Timur secara gratis.

Biaya perawatan dan obat hingga sembuh total, ditanggung pemerintah melalui Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), karena penderita kusta sebagian besar berasal dari kalangan menengah ke bawah. Itu juga termasuk dengan biaya kaki palsu jika ada penderita kusta yang terpaksa diamputasi kakinya.

Jatim bebas kusta
Di Jawa Timur, sampai hari ini tercatat ada 4.293 penderita kusta dari berbagai tingkat keparahan. Dari jumlah itu, penderita yang sampai cacat seumur hidup tercatat sebanyak 184 penderita. Sementara penderita usia anak, tercatat sebanyak 177 penderita. Dari 4.293 penderita Kusta di Jatim, sebanyak 3.054 atau 71 persen penderitanya berada di wilayah Madura, Tapal Kuda, dan Pantura.

"Belum ada penelitian medis yang tegas menyebutkan mengapa kusta tumbuh subur di daerah daerah itu," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jatim, Harsono, dikonfirmasi terpisah.

Fokus dia terkait penanganan kusta, adalah bagaimana agar kusta tidak menyerang usia anak dan menyebabkan cacat seumur hidup. Karena itu, Dinas Kesehatan gencar menurunkan tim juru kusta, memburu penderita kusta usia anak di lingkungan sekolah, khususnya di daerah-daerah miskin dan tertinggal.

"Kalkulasi kami, semua penderita kusta di Jatim habis ditangani hingga 2017, dan tahun itu, Jatim kami upayakan bebas dari kusta," tegasnya.

Persepsi masyarakat soal penyakit Kusta diluruskan oleh pakar dan peneliti Kusta, Dr. Cita Rosita Sigit Prakoeswa, dr, SpKK(K), FINSDV, FAADV. Kata dia, penyakit kusta bukanlah penyakit kutukan, melainkan murni disebabkan oleh bakteri bernama mycobacterium leprae yang terutama menyerang saraf tepi dan kulit manusia. "Penyakit ini terjadi karena kegagalan sistem imunitas seluler manusia melawan bakteri tersebut," kata dia.

Selama ini manusia diyakini sebagai sumber utama penularan penyakit Kkusta. Mycobacterium leprae bersarang pada kulit dan mukosa hidung pasien kusta yang belum diobati. Kuman kusta memiliki masa inkubasi bervariasi antara dua hingga tujuh tahun. Penyakit ini dapat ditularkan dengan kontak lama dan terus menerus, tetapi penularan baru dapat terjadi apabila manusia yang tertular memiliki kegagalan sistem imun terhadap bakteri tersebut. Jadi penularan tidak semudah yang dibayangkan. 

Menurut Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga - RSUD Dr Soetomo, Surabaya ini, berdasarkan data WHO ada dua jenis penyakit kusta, yakni Pausi Basiler (PB) yang bakterinya terlokalisasi di suatu bagian tubuh, dan berpotensi menyebabkan cacat terutama pada tangan dan kaki, serta Multi Basiler (MB) dengan bakteri yang sifatnya menyebar.

"Kecacatan banyak terjadi karena pasien mengalami mati rasa," ujar tenaga medis yang saat ini masih kerap turun di daerah endemis kusta ini.

Pasien kusta yang melakukan pengobatan rutin terbukti bisa sembuh dan terbebas dari kusta. "Soal stigma yang masih ada pada sebagian masyarakat, itu merupakan tugas kita semua untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, perlu juga pendampingan pada pasien kusta maupun mantan pasien kusta agar tetap bersosialisasi dengan lingkungan dan tidak minder," ujar Cita.

Baca juga: Stigma 'Dusta' Penyakit Kusta...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com