Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mantari Bondar, Penjaga Sumber Air Warisan Leluhur

Kompas.com - 30/01/2013, 10:16 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

Untuk Kabupaten Tapanuli Selatan, kawasan hutan Batang Toru seluas 29.507 hektare atau sekitar 22,2 persen masuk di dalamnya. Dari jumlah itu, sekitar 3.000 hektare dilestarikan oleh masyarakat yang memiliki tradisi menjaga hutan sejak leluhurnya hingga saat ini untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari dan mengairi 300 hektare lahan pertanian.

Seperti yang dilakukan empat desa, yakni Desa Haunatas, Bonandolok, Tanjungrompa dan Siranap, yang dikenal dengan sebutan Hatabosi. Sistem pengelolaan dan pembagian saluran air tersebut disepakati masyarakat keempat desa, syaratnya memiliki areal persawahan dan telah diadati dalam pernikahan.

"Kalau keluar dari kampung, maka haknya dalam penggunaan saluran air akan hilang. Tapi dapat dipulihkan jika dia kembali lagi ke desa," kata Oloan menegaskan.

Apabila terjadi kerusakan pada saluran air, lanjutnya, misalnya salah satu jaringan bondar rusak maka yang akan memperbaiki adalah Panjago Bondar. Namun jika di hulu Aek Sirabun terjadi longsor maka Mantari Bondar akan turun tangan untuk menutup saluran dan meminta masyarakat bergotong royong memperbaikinya.

Sumber dana untuk perawatan dan pengawasan bondar berasal dari masyarakat keempat desa itu sendiri, setiap masyarakat yang menggunakan air diwajibkan membayar dua kaleng padi atau sekitar 24 kilogram setiap tahun. Bagi warga baru dari luar keturunan keempat desa diwajibkan membayar 12 kilogram karet dan tiga tabung padi.

Mantari Bondar akan menjualnya dan uangnya digunakan untuk membeli peralatan seperti cangkul, parang, dan alat-alat yang biasa di gunakan untuk memperbaiki irigasi. Sisanya, disisihkan untuk upah Mantari Bondar. Sementara upah Panjago Bondar diatur Mantari Bondar berdasarkan hari kerja yang dilakukan Panjago Bondar dalam setahun.

"Dari semua kesepakatan itu, paling penting adalah larangan untuk masyarakat empat desa dan masyarakat luar desa agar tidak merusak hutan khususnya di hulu Aek Sirabun dan daerah sepanjang saluran air. Kalau ada yang melanggarnya, akan diadili oleh masyarakat sendiri sesuai aturan yang sudah disepakati, lalu dilanjutkan ke proses hukum negara," tegas Oloan.

Sementara itu, menurut Jansen Pasaribu (78), Mantari Bondar ketiga sejak desa ini berada mengatakan tugasnya tidaklah ringan. Dia harus berlaku adil dalam setia menyelesaikan masalah pencurian kayu dan air di empat desa yang dipimpinnya. Dia bekerja berdasarkan Deklarasi Kesepakatan yang tertulis tanggal 8 April 1994 ditandatangani seluruh tokoh adat (hatobangon dan harajaon), alim ulama, dan aparat desa.

Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi perambah-perambah hutan dari dalam dan luar desa, dan sebagai pesan moral bagi generasi muda untuk selalu mempertahankan dan menjaga hutan dan sumber air empat desa.

Meskipun sudah dibuat kesepakatan, bukan berarti pencurian kayu di sekitar hulu Aek Sirabun berhenti. 1995, pernah terjadi pencurian kayu yang dilakukan seorang warga desa akibat janji harga tinggi dan bujukan seorang cukong kayu. Masyarakat akhirnya menangkap pelaku pencurian. Tak senang dengan apa yang diterimanya, pelaku lalu membuat pengaduan ke polisi.

Saat itu, Jansen sedang berada di Jakarta untuk urusan keluarga. Sekembalinya ke desa langsung menerima surat panggilan dari polisi untuk dimintai keterangan. Dia memenuhi panggilan polisi, ternyata setelah diinterogasi, Jansen diancam akan dipenjara jika tidak memberi biaya perobatan kepada pencuri itu. Alasan polisi, Mantari Bondar-lah yang paling bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa pelaku.

"Aku bilang sama polisi, suruh dulu si pencuri membayar kerusakan hutan sumber air kami. Baru ku kasih biaya perobatannya. Sampai saat ini, kasus itu di anggap selesai, karena polisi paham pencuri kayulah yang bersalah," kata Jansen.

Kampungan Simaretong
Laki-laki tua bersahaja ini mengatakan, tradisi yang terus dilestarikan warga Hatabosi tak lepas dari sejarah lahirnya Kampungan Simaretong (Desa Haunatas) sekira tahun 1909, jauh sebelum NKRI ada. Leluhurnya adalah empat laki-laki bersaudara Marga Pasaribu, yakni Parbagas Godang, Tarub Ijuk, Tarup Seng dan si bungsu Bonandolok. Keempatnya mendatangi Luat Marancar yang dikuasai Marga Siregar.

Walau terletak di Lembah Gunung Lubuk Raya dan Sibual-buali serta hutan yang lebat, namun air cukup sulit didapat. Kesulitan air inilah yang menyebabkan kampung ini ditinggalkan marga Siregar, lalu diganti marga Pasaribu.

Keempat marga Pasaribu kemudian masuk jauh ke dalam hutan untuk mencari sumber air, hingga sampai di kawasan Hutan Gunung Sibual-buali dengan Aek Sirabun yang airnya mengalir deras, tapi tidak mengalir ke kampung mereka karena terhalang sebuah batu besar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com