Salin Artikel

Menyoal Tewasnya Bocah 12 Tahun Saat Baku Tembak di Papua, Peluru Tembus Dinding Rumah Korban

Ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto, mengatakan penempatan posko aparat di lokasi yang bercampur dengan masyarakat sipil hanya akan menimbulkan potensi pelanggaran hukum, jatuhnya korban sipil, dan menyulitkan gerak aparat.

Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey sependapat. Ia berkata, penempatan posko aparat yang bertugas melakukan penindakan sebaiknya di daerah-daerah yang "bisa memutus jalur transportasi ataupun jaringan kelompok bersenjata".

Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Bayu Suseno, mengakui sebagian besar posko mereka berada di dekat permukiman warga. Hal itu dilakukan karena, klaimnya, kelompok kriminal bersenjata menyasar masyarakat sipil baik pendatang maupun orang asli Papua.

Dalam peristiwa yang terjadi pada Senin (08/04), seorang anak meninggal, yaitu Ronaldo Duwitau (12 tahun). Adapun Nepina Duwitau (6 tahun) masih dalam perawatan di Nabire.

Perwakilan keluarga korban mendesak Komnas HAM menyelidiki peristiwa tersebut dan meminta pelakunya diproses hukum sampai tuntas.

Beda versi kronologi baku tembak di Distrik Sugapa

Insiden baku tembak yang terjadi antara kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) -atau yang disebut Polri/TNI sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB)- dan aparat dari Satgas Damai Cartenz berlangsung di tengah-tengah permukiman warga di Distrik Sugapa, Intan Jaya.

Namun, baik TPNPB maupun Polri memiliki kronologi yang berbeda.

Menurut versi aparat, peristiwa itu bermula ketika Satgas Gakkum Operasi Damai Cartenz menangkap satu anggota yang diklaim bagian dari TPNPB atas nama Bui Wonda alias Bossman Wenda. Dia dituduh terkait senjata dan amunisi, kata Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Bayu Suseno seperti dilansir mediapolri.id.

Kemudian sekitar pukul 14.00 WIT, kelompok kriminal bersenjata wilayah Intan Jaya pimpinan Undius Kogoya melakukan upaya untuk membebaskan Bui Wonda dengan menyerang pos Bank Papua.

Suara rentetan tembakan kemudian terdengar dari arah belakang pos Bank Papua yang kemudian dibalas oleh anggota Satgas dari pos bank dan pos menara ke arah suara tembakan sebanyak enam kali tembakan.

Akibat serangan kelompok pro-kemerdekaan Papua, pos Bank Papua rusak berat. Sedangkan anggota Satgas disebut dalam keadaan aman.

Namun kira-kira pukul 14.30 WIT, sambungnya, terdapat dua masyarakat yang terkena tembakan yakni Ronaldo Duwitau dan Nepina Duwitau.

Satgas, klaim Kasatgas Humas Operasi Damai Cartenz, Bayu Suseno, segera mendatangi lokasi dan mengevakuasi kedua korban ke Puskesmas Bilogai.

Hingga saat ini belum diketahui dari arah mana tembakan yang melukai korban. Tapi Satgas akan terus melakukan penyelidikan.

Di pihak kelompok TPNPB, mereka memang telah menarget pos Bank Papua yang menjadi markas aparat dan tak ada sangkut pautnya dengan Bui Wonda.

Selain itu, menurut juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, Intan Jaya merupakan wilayah perang. Sehingga aparat yang berada di sana sudah pasti bakal menjadi sasaran tembak.

Meskipun begitu, klaimnya, TPNPB tidak akan mengarahkan tembakan ke masyarakat sipil.

Sebby justru balik menuduh aparat dari Satgas Cartenz yang melukai dua anak itu.

"Itu kan tempat perang, maka sudah pasti ada baku tembak dan TPNPB tidak mungkin tembak warga karena kami tahu itu masyarakat. TPNPB akan melindungi warga Papua," ujar Sebby kepada BBC News Indonesia.

"Yang biasa tembak membabi buta begitu polisi. Kami tembak satu, mentalnya tidak kuat karena mereka anak-anak baru yang didatangkan ke sini dan tidak punya mental perang. Sementara kami dari kecil punya mental perang."

Dia bercerita baku tembak itu terjadi pukul 14.00 WIT.

Dari arah yang berlawanan dari pos Bank Papua, katanya, terdengar suara tembakan dan kemudian dibalas oleh anggota Satgas Cartenz.

Pria yang tak mau diungkap identitasnya ini lantas menunjuk lokasi pos Bank Papua -yang menjadi markas aparat- dan letaknya memang berada di dekat permukiman warga.

Dalam video lain yang diterima BBC News Indonesia, suara rentetan tembakan betul-betul terdengar jelas dari rumah warga.

Akan tetapi, sambung kerabat korban, dua peluru ternyata menembus dinding kayu rumah keluarga Duwitau.

Peluru pertama mengenai sisi samping rumah bagian bawah yang merupakan ruang kamar.

"Jadi saat terjadi kontak tembak, anak-anak dan ibu-ibu semua masuk ke dalam rumah. Tapi korban atas nama Ronaldo, dia posisinya tidur di sini."

"Karena takut, sehingga anak ini tidur di sini," tuturnya sambil menunjukkan bantal yang dipakai Ronaldo.

"Saat tidur, peluru dari arah pos Bank Papua ke sini, langsung tembus masuk ke dalam rumah."

"Jadi peluru tembus, masuk, dan pas mengenai kepala anak Ronaldo dan meninggal di sini," ujarnya sambil menunjukkan bekas darah yang masih membekas di lantai.

Adapun peluru kedua, katanya, mengenai telapak tangan Nepina.

Keluarga, pihak camat, dan beberapa orang yang mengetahui adanya korban luka langsung memboyong kedua anak itu ke puskesmas. Akan tetapi, nyawa Ronaldo tak bisa diselamatkan.

Pada Selasa (09/04), isak tangis mengiringi prosesi pemakaman bocah 12 tahun itu di halaman rumah keluarga. Seorang pendeta berdiri di antara warga memimpin acara pekuburan dengan membacakan doa.

Pihak perwakilan keluarga korban mengatakan mereka mengutuk tindakan oknum manapun yang menyebabkan tertembaknya Ronaldo dan Nepina.

Dalam setiap kali kontak senjata, ujarnya, masyarakat menjadi serbasalah karena berada di antara dua pihak yang berkonflik. Akibatnya anak-anak dan ibu-ibu selalu menjadi korban.

Kejadian seperti ini, menurut dia, perlu diperhatikan oleh kepolisian maupun kepala daerah demi mencegah jatuhnya korban di kemudian hari.

Namun atas apa yang menimpa pada Ronaldo, pihak keluarga mendesak Komnas HAM, lembaga perlindungan anak dan pihak keuskupan untuk melakukan penyelidikan dan menghukum pelakunya.

"Kami juga mendesak Pj gubernur provinsi Papua Tengah dan Pj bupati Intan Jaya untuk segera menarik Satgas Cartenz yang sedang bertugas di pos Bank Papua."

Sepanjang pengamatannya di Intan Jaya, Satgas Cartenz kerap menempati aset milik pemerintah daerah yang tidak terpakai untuk disulap menjadi pos keamanan.

Bangunan punya pemda ini, sebutnya juga kebanyakan berada di area permukiman warga yang ramai dengan aktivitas masyarakat.

Ia mengatakan tak mengetahui pasti alasan Satgas Cartenz menempatkan poskonya di sana. Padahal menurut dia, hal itu membahayakan warga sipil.

Apalagi jika ada serangan dari kelompok bersenjata yang menyasar aparat.

"Intan Jaya itu salah satu daerah rawan. Karena itu penempatan Satgas jangan di dekat permukiman warga. Penempatan aparat sebaiknya di daerah-daerah yang bisa memutus logistik, jaringan atau transportasi mereka," jelas Frits kepada BBC News Indonesia.

"Dengan begitu penindakan hukum bisa berlangsung tanpa menimbulkan korban dari warga sipil."

Ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto, sependapat.

Berkaca pada banyaknya korban sipil yang berjatuhan di tengah insiden baku tembak antara aparat dengan kelompok bersenjata pro-kemerdekaan Papua, dia mempertanyakan alasan di balik penempatan pos-pos keamanan tersebut.

Dalam situasi konflik seperti di Papua, katanya, keberadaan aparat sudah pasti menjadi incaran kelompok TPNPB di mana pun lokasinya.

"Sebenarnya kan potensi ancaman yang terjadi bisa dipetakan, karena sasaran kelompok bersenjata itu selama ini aparat. Maka mestinya ancaman itu diantisipasi dengan kebijakan penempatan aparat yang berpihak dan melindungi warga sipil," paparnya.

"Salah satunya, pos keamanan itu tidak bercampur dengan warga."

Sigit juga menilai dengan menempatkan pos keamanan di tempat-tempat yang tepat, maka operasi yang dilancarkan TNI/Polri bisa lebih "dikendalikan" serta meminimalisir risiko jatuhnya korban jiwa dari aparat maupun masyarakat sipil.

Selain itu, penempatan aparat di objek-objek sipil sesungguhnya tak dibolehkan oleh hukum humaniter internasional. Karena bagaimanapun objek sipil berkaitan dengan keselamatan penduduk sipil.

Baik Sigit maupun Frits menyarankan agar pos-pos aparat tak lagi memakai objek sipil yang berada di tengah permukiman warga.

Tapi harus ditempatkan di "objek yang memang diperuntukkan untuk operasi keamanan dan legal secara hukum".

Karena kalau terus dibiarkan, korban dari sipil akan terus berjatuhan dan tudingan aparat menjadikan warga sebagai tameng menghadapi kelompok bersenjata semakin kuat.

"Jika bercampur dengan objek sipil akan menimbulkan potensi pelanggaran hukum dan kesulitan bagi operasi keamanan sendiri," ujar Sigit.

Frits juga menambahkan, Satgas Cartenz semestinya sudah memetakan wilayah-wilayah mana saja yang menjadi jalur atau persembunyian kelompok tersebut.

Kalau berpegang pada data itu, mestinya pos keamanan diarahkan ke sasaran tersebut, bukan berada di sekitar permukiman masyarakat.

Adapun alasan mengapa menjadikan pos Bank Papua yang dekat dengan permukiman warga sebagai markas, karena klaimnya kelompok TPNPB di Intan Jaya dalam beberapa tahun terakhir ini aktif melakukan serangan.

Sehingga, Satgas menempatkan satu pos di dekat Bank Papua tersebut, ucapnya.

"Pos kami memang sebagian besar di dekat permukiman. Karena KKB sendiri juga menyasar masyarakat sipil baik pendatang maupun orang asli Papua untuk dibunuh," sebut Bayu dalam pesan singkat kepada BBC News Indonesia.

Soal aksi kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata di Papua, Satgas mencatat pada Senin (08/04) malam sekitar pukul 21.05 WIT, TPNPB pimpinan Ananias Ati Mimin disebut mengeksekusi kepala kampung Modusit yang juga Satpol PP Kabupaten Pegunungan Bintang yaitu Timo Kasipmabin.

Pasalnya Timo (45 tahun) dicurigai sebagai mata-mata yang membantu aparat keamanan dalam menumpas lima anggota TPNPB di wilayah tersebut sepanjang tahun 2024.

Kepada BBC News Indonesia, juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, membenarkan bahwa pihaknya membunuh Timo karena memiliki bukti keterlibatannya dengan aparat.

Akan tetapi, Bayu Suseno menampik sangkaan itu.

"Kami tegaskan bahwa korban sama sekali bukanlah mata-mata aparat. KKB memang keras, mereka mencari-cari alasan agar bisa membunuh sesuka hati. Korban difitnah sebagai mata-mata padahal tujuan mereka hanyalah menghabisi sesama orang asli Papua itu sendiri," tegas Bayu.

Kekerasan lain yang dilakukan kelompok bersenjata, kata Bayu, menyasar warga sipil juga terjadi pada Selasa (09/04) di Kampung Kago, Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak.

Satgas Cartenz menyebutkan telah terjadi insiden penembakan terhadap dua warga sipil di kios jembatan Yesey Mersey sekitar pukul 14.52 WIT.

Korban bernama Pampang dilaporkan mengalami luka tembak pada bagian kepala sebelah kanan dan saat ini dalam kondisi kritis di RSUD Ilaga. Sementara korban bernama Nortinus mengalami luka kibat rekoset peluru pada pinggang sebelah kiri dan kondisinya stabil.

Tapi di sisi lain, anggota Brimob juga diketahui menangkap dua warga sipil di Ibu Kota Dekai, Kabupaten Yahukimo, pada Jumat (05/04) pagi.

Dua warga sipil itu ditangkap di depan SD Negeri 1 Dekai saat pulang dari Perumahan Guru.

Hingga saat ini keduanya masih ditahan di Polres Yahukimo untuk diinterogasi atas sangkaan keterlibatan mereka dengan TPNPB Kodap 16 Yahukimo.

Identitas dua orang itu yakni Elki Pahabol yang merupakan calon DPRD Provinsi Papua Pegunungan dan Gerefas Silak berusia 18 tahun.

Aktivis Kemanusiaan Yahukimo, Nifal Engglim, meyakini keduanya "murni warga sipil".

Mengutip laporan tahunan Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) disebutkan sepanjang 2022 terjadi 53 kasus kekerasan di Papua dan Papua Barat.

Sedangkan korban dari kelompok anak berjumlah 14 orang.

Konflik bersenjata antara aparat dengan TPNPB tidak saja terjadi di pos-pos keamanan, tapi juga di pasar, jalan utama dan tempat fasilitas layanan publik. Beberapa peristiwa akhirnya mengorbankan rakyat sipil dalam jumlah besar dengan cara yang tak manusiawi.

https://regional.kompas.com/read/2024/04/12/060700578/menyoal-tewasnya-bocah-12-tahun-saat-baku-tembak-di-papua-peluru-tembus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke