Salin Artikel

Potret Dilematisasi Pengajuan Dispensasi Pernikahan Anak di Bawah Umur di NTB

Tren perkawinan anak di NTB dari 16,61 persen pada 2020, menjadi 16,23 persen pada 2022. Penurunan ini masih kurang signifikan, bahkan di atas nasional yang berada di bawah 10 persen.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, Nunung mengatakan, data yang tercatat diperoleh dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) NTB.

Selama periode 2023 terdapat 723 kasus pengajuan dispensasi pernikahan di bawah umur.

"Kalau tren kasus dispensasi pernikahan di provinsi memang angkanya fluktuatif."

"Dari 2019 ada 302 kasus, 2020 ada 875, di 2021 ini tren meningkat pesat di angka 1.127, 2022 mulai menurun 710, dan terakhir di 2023 itu ada 723 kasus," kata Nunung.

Ia mengungkapkan itu dalam diskusi Dilematik Dispensasi Kawin dalam Perkawinan Anak di Nusa Tenggara Barat di kantor Gubernur NTB yang diadakan yayasan Plan Indonesia, Rabu (20/3/2024).

Nunung menambahkan, data lebih mengejutkan lagi jika melihat dari Dinas Kesehatan NTB yang mencatat ada ribuan kasus remaja di bawah usia 18 tahun yang melahirkan.

"Kalau melihat dari data Dinas Kesehatan ini memang berbeda jauh, angka kelahiran remaja usia di bawah 18 tahun mencapai 2.726 kasus di tahun 2023, ini mengindikasikan masih banyak perkawinan dini di NTB," kata Nunung.

Ia mengakui, pihaknya sangat kesulitan melakukan pendataan pernikahan dini mengingat kasus tersebut kerap dianggap menjadi aib keluarga karena terindikasi hamil di luar nikah.

"Jadi ini memang kesulitan kita melakukan pendataan, pernikahan dini ini sangat kompleks, kerap disembunyikan keluarga karena dianggap aib, jadi banyak yang tidak terdata dan menjadi perkawinan sirih." kata Nunung.

Pemerintah Provinsi NTB, kata Nunung, telah berinisiatif mengeluarkan serangkaian kebijakan.

Di antaranya Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 5 Tahun 2021 tentang Pencegahan Perkawinan Anak dan Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Barat Nomor 34 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak Tahun 2023-2026.

Meskipun demikian, perkawinan anak masih kerap terjadi, mengingat tidak adanya sanksi yang diterima pelaku pernikahan anak.

"Dari serangkaian aturan ini sudah berjalan, namun fakta di lapangan kurangnya sanksi yang didapatkan para pelaku, sehingga tidak menimbulkan efek jera," kata Nunung.

Selain melakukan penindakan, sejumlah sosialisasi juga terus digalakkan, namun hal itu belum berdampak signifikan.

Merespon hal tersebut Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Amran Suadi menyatakan, setelah terbitnya UU No 16 Tahun 2019, Mahkamah Agung segera merespon dengan menerbitkan Perma No 5 Tahun 2019 sebagai upaya mencegah perkawinan pada usia anak.

Menurutnya, hakim selalu berupaya memastikan kepentingan terbaik bagi anak. Caranya, memeriksa permohonan dispensasi dengan cermat bukan saja pertimbangan karena anak tersebut hamil di luar nikah.

"Kami juga meyakini bahwa berbagai alasan pengajuan dispensasi kawin dengan alasan kehamilan tidak sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak," kata Amran yang juga menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut.

Amran menilai persoalan pernikahan anak ini bukan saja dalam masalah umur, melainkan juga persoalan ekonomi, kultur dan pendidikan.

"Kalau kita semakin tarik ke atas, persoalan pernikahan dini karena berbagai faktor di hulunya, semisal faktor ekonomi, kondisi sekitar dan pendidikan."

"Jadi kalau ekonomi baik kita perbaiki insyaallah hal-hal semacam ini bisa kita minimalisir, begitu juga tentang kebudayaan kultur tadi, pemahaman budaya kawin lari (kawin culik) harus tersampaikan pesannya, bukan hanya menculik orang aja," kata Amran.

Perwakilan Majelis Adat Sasak Mamik Raden mengatakan masih banyak masyarakat yang belum paham memaknai kata tradisi merarik atau kawi lari yang kerap memicu pernikahan anak di bawah umur.

Padahal, kata Raden, menurut tradisi masyarakat Sasak Lombok, usia perkawinan bagi laki-laki maupun perempuan harus sudah dewasa yang dibuktikan dengan membentuk kapas sebagai benang untuk dijadikan bahan tenun.

"Usia dewasa untuk dapat melanjutkan perkawinan menurut ada Sasak itu harus prempuan dewasa yang ditandai dengan mengambil kapas menjadi benang sesekan tenun sebanyak 144 lembar kowasi atau motif," kata Raden.

Sementara untuk laki-laki, ukuran dewasa mampu melakukan pernikahan setelah bisa menggembala hewan seperti sapi, kerbau hingga menjadi beranak pinak.

Melihat ukuran dewasa tradisi tersebut, Raden memprediksi paling minim usia untuk perempuan sekitar 22 tahun dan usia untuk laki-laki 23 sampai 25 tahun.

Menurut Raden soal usia tradisi merarik ini harus masif disosialisasikan di kalangan pemerintah kampung yang paling bawah seperti Kepala Dusun.

"Nah ini yang kita harus terus lakukan, melibatkan tokoh masyarakat ada di desa-desa untuk ikut dilibatkan membahas usia perkawinan ini," kata Raden.

Direktur Eksekutif Plan Indonesia, Dini Widiastuti, yang turut hadir menyatakan bahwa temuan di lapangan soal perkawinan anak menunjukkan pentingnya penguatan peran masyarakat dalam pencegahan perkawinan anak, termasuk tokoh agama dan adat.

“Perlunya pengawasan dan dukungan organisasi kemasyarakatan, serta komunitas anak dan kaum muda – termasuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM)-masyarakat termasuk sekolah untuk mampu mengenali risiko, melaporkan kasus, dan merespon kasus perkawinan anak,” tandas Dini.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/20/164733878/potret-dilematisasi-pengajuan-dispensasi-pernikahan-anak-di-bawah-umur-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke