Salin Artikel

Menengok Langgar Tak Bernama di Magelang, Cagar Budaya yang Menunggu Roboh

MAGELANG, KOMPAS.com – Tersembunyi di balik permukiman dan pertokoan, sebuah langgar tak bernama di Dusun Ngrajek, Mungkid, Kabupaten Magelang berdiri.

Bangunan lawas ini tak terawat, tinggal menunggu waktu untuk dirobohkan sang pewaris.

Totok Isbanu (57) kesal selalu ketiban sampur untuk merawat langgar atau masjid kecil keluarganya.

Memang, rumah Totok dan bangunan cagar budaya itu hanya sepelemparan batu. 

Dia sebenarnya bersedia merawat langgar tersebut, asal kelima saudaranya turut urun biaya perawatan.

“Saudara sebenarnya masih punya rasa memiliki langgar ini. Saya yang dipasrahi (merawat), tapi tidak ada (bantuan perawatan) apa-apa. Mau saya robohkan saja (langgarnya),” tuturnya kepada Kompas.com, Rabu (13/3/2024).

Langgar warisan keluarga Totok itu terpojok di samping rumah bergaya modern minimalis. Rumah Totok tepat di depan langgar.

Pada Desember 2019, tim ahli cagar budaya Kabupaten Magelang menetapkan langgar anonim itu sebagai bangunan cagar budaya.

Dengan status tersebut, Totok mengakui, mendapat honor sebagai juru pelihara sebesar Rp 450.000 per tiga bulan. Namun, ia merasa nilai itu tak cukup, lebih-lebih bila meminta bantuan seseorang.

Riwayat langgar

Adalah kakek Totok bernama Haji Abdul Khamid si penggagas langgar. Totok berkata, arsitek langgar datang dari China.

Langgar itu didirikanbersamaan dengan masa perluasan rumah Abdul Khamid.

Di rumah tersebut, di atas pelipit menuju area jongkangan, terpatri angka 16-5-1925. Masa yang diyakini sebagai waktu berdirinya rumah.

Dalam naskah Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Magelang disebutkan, langgar di Dusun Ngrajek berkaitan dengan rumah tipe kampung peninggalan Abdul Khamid. Rumah ini kini ditempati Totok beserta keluarga.

Totok tidak begitu tahu sejarah langgar kuna ini. Ia juga tak pernah bertemu dengan kakeknya. Hanya saja, ia memiliki kenangan sewaktu kecil menghabiskan waktu di langgar.

Terutama ketika bulan Ramadhan, langgar penuh dengan beragam kegiatan ibadah. Anak-anak menginap di langgar selepas salat tarawih sampai sahur menjelang.

“Setiap malam selikuran, ibu menyajikan tongseng kepala kambing. Lalu, dimakan bersama jemaah setelah tarawih,” imbuhnya.

Akulturasi Jawa-Belanda

Langgar kuno ini memiliki dua lantai. Bagian bawah berlantai semen pelur, sedangkan bagian atas berlantai kayu jati.

Kedua bagian langgar dihubungkan tangga kayu di sisi utara bangunan. Teras depan dan lantai atas dipasang pagar kayu dengan ukir-ukiran.

Bangunan ini berukuran 9x9 meter dengan bentuk atap limasan. Ia mengdopsi model arsitektur kolonial dan Jawa. Akulturasi budaya ini disebut juga gaya Indis.

Corak bangunan Jawa tampak pada rete-rete (lis plan) kayu berukir menggantung mengelilingi seluruh teras langgar.

Fasad tempat imam salat merupakan hasil perkawinan interior Jawa-Belanda. Ia berbentuk lengkungan, mengingatkan pada fasad-fasad benteng Belanda.

Namun, elevasi fasad tak begitu tinggi, sehingga orang harus membungkuk bila hendak masuk. Interior yang menyimbolkan penghormatan tamu terhadap sahibulbait ini acap dijumpai pada rumah-rumah gaya Jawa.

Pengaruh simbolisasi dalam konsep Jawa juga kentara pada jendela berbahan kayu yang menghadap kiblat. Jendela ini bermakna terhubungnya salat langsung dengan Kabah.

Sudah belasan tahun langgar tidak pernah digunakan. Totok menyebut, penyebabnya imam musala meninggal dan belum ada pengganti

Dalam hati kecilnya ia ingin menghidupkan kembali langgar warisan keluarganya.

“Nanti kalau ada rezeki,” ucapnya.

Langgar tak bernama, nyatanya, menjadi saksi perkembangan Islam di seputaran Ngrajek. Keberadaannya di kawasan peribadatan Hindu-Buddha masa silam menunjukkan toleransi hidup dan tumbuh dalam hubungan sosial masyarakat Jawa.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/13/135042478/menengok-langgar-tak-bernama-di-magelang-cagar-budaya-yang-menunggu-roboh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke