Salin Artikel

Berjalan-jalan ke "Kampung Lontong" Punia di Mataram

Sebutan itu muncul karena banyak warga yang berdomisili di kampung tersebut berprofesi sebagai perajin lontong.

Kampung lontong terletak di Kelurahan Punia, Kota Mataram, tepatnya di lingkungan Karang Kateng dan Karang Kelayu.

Saat Kompas.com berkunjung pada Selasa (12/3/2024) sore, sejumlah warga di sepanjang gang Lingkungan Punia Karang Kateng tampak sibuk.

Beberapa di antara mereka sedang mengisi beras ke dalam daun pisang. Sedangkan yang lainnya mengelap daun pisang yang akan dijadikan sebagai pembungkus.

Nur Istiarah (42), warga lingkungan Karang Keteng Punia yang sehari-hari membuat lontong, baru saja selesai mengelap ratusan lembar daun pisang.

Beberapa kantong beras dituang ke dalam satu ember besar. Istiarah mencampurnya dengan garam lalu mengaduknya sampai tercampur rata.

"Biar ada rasanya, biar tidak hambar," kata Istiarah sambil mengaduk beras.

30 kg beras sehari

Setiap hari Istiarah membuat 25-30 kilogram beras untuk dijadikan lontong.

Beras yang digunakan merupakan campuran antara beras kualitas premium dan beras medium.

Setelah beras siap, Istiarah duduk di teras rumahnya dan mulai mengisi lontong. Dengan terampil, tangan Istiarah lalu membentuk daun pisang menyerupai kerucut, mengisinya dengan beras, dan menyematkan dengan lidi.

Berbeda dengan lontong di daerah lain, lontong khas Lombok rata-rata berbentuk seperti kerucut dengan ujung lancip. Lontong-lontong berbentuk kerucut ini lalu ditata di dalam panci berukuran besar dan direbus selama delapan jam.

"Ada ukuran besar, tanggung sama ukuran kecil,"  kata Istiarah.

Proses perebusan lontong biasanya dimulai malam hari sekitar pukul 20.00 Wita hingga pagi hari pukul 04.00 Wita.

Setiap pagi usai shalat Subuh, lontong yang baru matang ditata di dalam bakul dan diangkut ke pasar-pasar tradisional di seputaran kota Mataram untuk dijual.

Harga satu buah lontong beragam, mulai dari Rp 500 hingga Rp 1.250 per bijinya, tergantung dari besar kecil lontong.

Lontong buatan Istiarah ini tahan selama satu hari karena menggunakan bahan alami dan tanpa pengawet.

Turun temurun

Istiarah mengatakan ketrampilan membuat lontong diturunkan dari ibunya yang dulunya juga seorang perjain lontong.

Ia merupakan generasi ketiga pembuat lontong di keluarganya.

Kini ketrampilan membuat lontong dia ajarkan ke anaknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebagai bekal keterampilan.

"Saya terapkan, saya ajarkan dia, supaya dia bisa," ujar Istiarah.

Para pengrajin lontong yang ada di kelurahan Punia, rata-rata mewarisi keterampilan membuat lontong secara turun-temurun dari orang tua mereka.

Rumini (64) misalnya, warga Lingkungan Karang Kelayu Punia  mengaku sudah membuat lontong sejak tahun 1982.

Awalnya Rumini belajar membuat lontong dari ibu dan kakaknya. Sampai sekarang, Rumini masih menjadi perajin lontong dan kerap menerima pesanan.

Lurah Kelurahan Punia, Lalu Suyudi Atmanegara mengatakan, keberadaan perajin lontong di kelurahan Punia sudah ada dari generasi ke generasi.

Suyudi menyebutkan, dari 400 KK yang ada di Lingkungan Karang Kateng sekitar 100 KK merupakan perajin lontong.

"Lingkungan Karang Kateng dan Karang Kelayu bisa dikategorikan kampung lontong. Karena mereka saling menularkan ilmunya," kata Suyudi.

Julukan kampung lontong sendiri sebenarnya berasal dari warga luar kampung, karena melihat banyaknya penjual dan perajin lontong berasal dari Punia maka kampung tersebut dijuluki kampung lontong.

Selama Ramadhan, setiap sore banyak warga Punia yang menjual takjil dan makanan untuk berbuka puasa.

Selain lontong, para pedagang juga menyediakan beraneka macam sayur dan lauk pauk.

Seperti plecing kangkung, ebatan, opor hingga aneka sate dengan bumbu pedas khas Lombok.

Puncaknya pada H-1 Lebaran hingga Lebaran ketupat, banyak warga Punia menggelar dagangan di pinggir-pinggir jalan.

Dengan menggunakan meja-meja kecil, puluhan pedagang dadakan ini menjual aneka masakan khas lebaran seperti ketupat, lontong, sayur opor, jaje tujak, hingga jajan bantal khas Lombok.

Omzet penjualan lontong dan ketupat pun ikut melonjak saat Lebaran. Jika hari biasa perajin lontong rata-rata membuat 25 kilogram beras untuk dijual di pasar, pada hari raya pembuatan lontong bisa mencapai 30-35 kilogram.

Selain perajin lontong yang memang setiap hari berjualan, menjelang Lebaran banyak warga Punia yang tadinya tidak berjualan lontong ikut membuat lontong.

Sejumlah warga bahkan membuat lontong dan merebusnya di pinggir jalan utama kampung Punia.

Suyudi mengatakan, meski hanya berjualan saat hari raya, bukan berarti penjual musiman ini tidak memiliki keahlian dalam membuat lontong dan ketupat.

"Yang mendadak ini bukan tidak punya skill karena lingkungan mereka secara tidak langsung sudah mengajarkan cara rebus, cara masukkan beras dalam daun, cara memanaskan api, dan berapa lama dia direbus. Jadi yang bukan pembuat (pengrajin) lontong, karena sehari-hari lihat cara membuat lontong pasti tahu," kata Suyudi.

Suyudi menambahkan, saat ini pihak kelurahan Punia telah melakukan pendataan terhadap perajin lontong yang ada di kelurahan Punia.

Pihaknya juga menggandeng OPD terkait untuk membina UMKM lontong dari segi kemasan dan segi higienis. Selain itu, pihak Kelurahan juga mendorong warga memanfaatkan media sosial untuk pemasaran lontong.

https://regional.kompas.com/read/2024/03/13/040000478/berjalan-jalan-ke-kampung-lontong-punia-di-mataram

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke