Salin Artikel

Cerita PRT, Sopir Angkot, Penjual Sabun dan Tukang Mi Ayam Maju Jadi Caleg: Kampanye dari Mengosek WC (1)

Mereka yang berprofesi sebagai pekerja rumah tangga (PRT), sopir angkot, penjual sabun keliling, dan tukang mi ayam ini mencoba memikat pemilih - pada saat masyarakat miskin kota, menurut pengamat politik, kadung terbiasa menerima ‘hadiah’ dari para calon legislatif (caleg) saat berkampanye.

Dengan berbekal dana Rp 1 juta hingga Rp 6 juta, mereka tetap menyimpan asa untuk menang, walau itu bukan jadi tujuan utama. Angka ini tentu tak sebanding dengan besarnya dana yang dikeluarkan oleh para caleg pada umumnya.

Dalam sebuah riset, biaya yang dikeluarkan seorang caleg pada pemilu-pemilu sebelumnya berkisar dari Rp 250 juta hingga Rp 2 miliar.

Mereka berharap partisipasi kelompok miskin dalam hajatan akbar demokrasi dapat menginspirasi dan menciptakan kehidupan politik yang inklusif.

Bukan hanya dimiliki oleh kelompok berduit, tapi juga dari kelas menengah ke bawah.

Pengamat politik menilai kans kelompok miskin kota untuk menang dalam kontestasi politik relatif kecil di tengah mahalnya biaya politik di Indonesia.

Hal itu disebabkan oleh model pencalonan dan kampanye yang kandidat sentris – setiap calon berjuang seorang diri, baik itu dari biaya hingga kampanye.

Lalu, bagaimana para caleg miskin itu menyiasati biaya politik yang tinggi dan tantangan apa saja yang mereka hadapi saat berkampanye? Wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, mengikuti kegiatan mereka bertemu dengan para calon pemilih.

Di rumah kontrakan yang disewa dengan harga Rp 1,2 juta per bulan itu, Yuni tinggal bersama dengan keempat anaknya.

Di ruang utama – dengan kamar tidur dan ruang tamu hanya disekat lemari – Yuni menceritakan perjalanan hidupnya dari menjadi PRT sejak tahun 2008 hingga kini dia menjadi seorang caleg.

Diskriminasi, pelecehan seksual, kekerasan verbal dan ekonomi, pernah dialami Yuni.

Kendati begitu, dia mengaku bersyukur atas kondisi hidupnya saat ini. PRT lain, katanya, kerap mengalami kondisi lebih buruk.

Seorang diri menghidupi keempat anaknya, Yuni kini bekerja di tiga orang majikan dengan penghasilan kira-kira Rp 5 juta per bulan.

Yuni lalu mendapat penugasan dari organisasinya, Serikat Pekerja Rumah Tangga (SPRT) Sapulidi, untuk menjadi caleg melalui Partai Buruh.

“Waktu dicalonkan, aku bersikeras tidak mau. Aku didesak untuk mengisi kekosongan suara 30% perempuan. Dari situ akhirnya mau tidak mau coba dulu karena cuma mengisi kekosongan dan ada tes juga. Jadi belum tentu lolos,” tutur Yuni

Satu demi satu proses pendaftaran dilewati hingga akhirnya Yuni menjadi daftar calon tetap (DCT).

“Harus ada perwakilan dari PRT yang menjadi anggota dewan sehingga bisa turun andil mengambil kebijakan kami para PRT,” kata Yuni.

Yuni – yang menyebut dirinya sebagai caleg duafa atau miskin kota – juga mengalami hambatan saat berkampanye.

“Di wilayah sendiri saja aku tidak boleh bersosialisasi dengan alasan yang tidak masuk akal. Mungkin karena tidak bermodal, aku pun bukan orang sini asli, istilahnya pendatang. Diskriminasi kependudukan saya alami,” katanya tanpa menjelaskan lebih rinci.

Selain itu, Yuni mengatakan hanya mampu mengalokasikan dana Rp 1,5 juta untuk kampanye, dengan menyisihkan pengeluaran untuk kebutuhan keluarga yang juga harus dipenuhi.

“Dana kampanye aku sisihkan dari upah. Kasarnya dari hasil saya mengosek [bersihkan] WC,” katanya.

Usai berbincang di rumahnya, Yuni mengajak saya untuk mengikutinya berkampanye.

Dengan mengendarai sepeda motornya, Yuni mendatangi rumah seorang teman di Terogong, Cilandak. Di sana, ada sejumlah PRT dan ibu rumah tangga (IRT) yang telah berkumpul.

Di hadapan mereka, Yuni menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki dana untuk dibagi-bagikan, tetapi menegaskan bahwa misinya maju sebagai caleg adalah demi keterwakilan perempuan dalam politik.

“Saya minta dukungan dari kawan-kawan supaya ada perwakilan perempuan, dan dari PRT bisa masuk [parlemen]. Saya tidak ada pelicin, tapi jika ada masalah kami siap advokasi,” katanya.

“Yang jadi pemimpin mah enak, saya cari duit sendiri (PRT). Mau tidak terima kita kalau ke rumahnya?” kata Sumainah yang mengaku baru bertemu dengan Yuni saat itu.

Yuni lalu menjawab, “Aku buka [pintu]. Aku saja lagi pikir kalau terpilih, aku masih mau kok kerja sebagai PRT. Aku sayang sama bos aku.”

Seorang PRT lain lalu menambahkan, “Saya berharap jangan sampai kacang lupa kulitnya kalau nanti terpilih”.

Di akhir pertemuan itu, saya mendatangi Sumainah. Perempuan yang tinggal di kontrakan dengan biaya sewa Rp 1,2 juta per bulan itu mengaku salut ada PRT seperti Yuni yang berani menjadi caleg.

“Kita PRT itu juga punya mimpi, tidak direndahkan. Insya Allah [pilih Yuni]. Tidak menjanjikan memilih, tapi insya Allah,” kata Sumainah yang menjadi tulang punggung ketiga anaknya dengan gaji Rp 2 juta per bulan. Adapun suami Seumainah bekerja serabutan.

Setelah itu, Yuni mengajak saya mengunjungi deretan petak kontrakan di Gandaria Selatan, Cilandak.

Dia mengetuk satu demi satu pintu rumah untuk memperkenalkan diri dan membagikan kalender serta stiker kampanyenya.

Ada warga yang merespons positif, tetapi tak sedikit juga yang bersikap acuh saat Yuni berkampanye.

Di ujung pertemuan kami, Yuni menyimpan harap untuk menang, di tengah beragam tantangan yang dihadapi.

“Apa pun hasilnya insya Allah aku terima. Karena memang untuk Jala PRT mungkin 10-15 tahun lagi baru akan mendatangkan caleg yang benar-benar mumpuni jadi anggota dewan," kata Yuni.

"Untuk menuju ke sana, sekarang lah proses belajarnya,” tutupnya.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/19/120200178/cerita-prt-sopir-angkot-penjual-sabun-dan-tukang-mi-ayam-maju-jadi-caleg

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke