Salin Artikel

Walhi Sebut Banjir di Aceh Tenggara Bukti Kerusakan Hutan Makin Parah

Baik itu akibat penebangan liar, pembukaan perkebunan sawit, hingga pembukaan jalan baru.

Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye WALHI Aceh Afifuddin Acal mengatakan, kabupaten yang sering banjir merupakan daerah yang tingkat kerusakan hutannya masif.

”Secara alami, setiap akhir tahun intensitas hujan di Aceh memang tinggi, tetapi karena kondisi lingkungan yang kritis, memicu bencana, baik banjir bandang, banjir dan longsor maupun berbagai jenis lainnya,” sebut Afif dalam keterangan tertulisnya, Rabu (15/11/2023).

Selain itu, WALHI Aceh juga menilai pemicu banjir juga akibat adanya pembukaan jalan baru yang dapat memicu illegal logging maupun konflik satwa dan kejahatan lingkungan lainnya.

Dengan adanya jalan tersebut para perambah hutan semakin mudah untuk mengakses kawasan hutan untuk menebang kayu.

Berdasarkan data yang dirilis Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), Selasa (14/11/2023) pukul 20.00 WIB, ada 14 kecamatan, 50 desa terdampak banjir di Aceh Tenggara.

Banjir terjadi setelah curah hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi yang mengguyur sejak pukul 19.00 WIB, mengakibatkan meluapnya sejumlah sungai di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara.

Dampaknya sejumlah ruas jalan nasional di Aceh Tenggara terendam lumpur dan permukiman warga ikut terendam setinggi 30 sentimeter.

Hingga sekarang dilaporkan banjir masih menggenang, kendati mulai surut.

Banjir bandang di Aceh Tenggara juga mengakibatkan seorang anak berusia 2 tahun meninggal dunia di Desa Pasir Puntung, Kecamatan Semadam.

Sedangkan dua orang lainnya mengalami luka-luka di desa yang sama.

”Banjir menjadi persoalan klasik, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan, padahal peristiwa seperti ini, terjadi setiap akhir tahun, dan pemerintah terkesan tidak peduli, padahal bisa berkaca pengalaman setiap tahunnya,” katanya.

Kata Afif, seharusnya Aceh Tenggara itu harus dilestarikan hutannya dengan baik.

Mengingat dari luas wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, 92 persen masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi.


Berdasarkan SK 580, total luas wilayah Aceh Tenggara 414.664 hektar, dan 380.457 hektar di antaranya adalah KEL.

Berdasarkan SK 580, luas KEL di Aceh Tenggara awalnya 380,457 hektar, dan terus mengalami penyusutan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Sisa KEL pada 2022 hanya 326,048 hektar, terjadi penyusutan seluas 54,409 hektar, atau seluas 14,30 persen.

Menurut Afif, KEL merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara, serta menjadi lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orang utan sumatra dalam satu area.

Parahnya kerusakan tutupan hutan di Aceh Tenggara mayoritas terjadi dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang seharusnya dijaga dan dilindungi.

Dampaknya, saat musim hujan dengan intensitas tinggi, banjir dengan mudah terjadi, karena daya tampung semakin berkurang akibat hutan sudah gundul.

WALHI Aceh mendesak Pemerintah Aceh memproteksi kerusakan hutan di Aceh Tenggara yang terus terjadi setiap tahunnya.

Begitu juga, untuk tidak membuka jalan baru, cukup memaksimalkan jalan yang sudah ada dengan memperbaiki agar mudah dilalui.

Selain itu, WALHI Aceh juga mengajak warga yang tinggal di daerah yang rawan bencana alam, baik itu banjir maupun lainnya agar selalu waspada.

Penting bagi warga untuk adaptif terhadap berbagai bencana ekologi, baik saat kejadian bencana maupun sebelum bencana terjadi.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/15/191552078/walhi-sebut-banjir-di-aceh-tenggara-bukti-kerusakan-hutan-makin-parah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke