Salin Artikel

Kasus Obat Batuk Sirup Beracun, 4 Petinggi Perusahaan Produsen Divonis 2 Tahun Penjara

Vonis ini jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yaitu hukuman penjara selama tujuh hingga sembilan tahun penjara.

Keempat terdakwa adalah Direktur Utama PT Afi Farma, Arief Prasetya Harahap; Manajer Pengawasan Mutu PT Afi Farma, Nony Satya Anugrah; Manajer Quality Insurance PT Afi Farma, Aynarwati Suwito; dan Manajer Produksi PT Afi Farma, Istikhomah.

Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Arief dengan penjara selama sembilan tahun. Adapun ketiga terdakwa lainya dituntut lebih ringan, yakni tujuh tahun. Keempatnya juga didenda Rp1 miliar atau subsider enam bulan kurungan.

Hakim menilai keempat terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja memproduksi barang farmasi tidak memenuhi standar dan faktor keamanan.

Para terdakwa terbukti melanggar Pasal 196 juncto Pasal 98 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Menanggapi putusan tersebut, keempat terdakwa menyatakan pikir-pikir.

Hal senada diutarakan jaksa penuntut umum. ”Kami pikir-pikir dulu. Kemungkinan kami akan banding karena vonisnya di bawah tuntutan kami,” ujar JPU Sigit Artantodjati, seusai sidang, sebagaimana dilaporkan harian Kompas.

Sebelumnya, dalam dokumen dakwaan, JPU menyebut ada bahan baku campuran obat Propelin Glikol tercemar etilen glikol dan dietilen glikol yang terkandung dalam produk farmasi PT Afi Farma.

JPU menyebut perusahaan itu sebenarnya punya alat gas chromatography untuk mengetes produk farmasi, tetapi tidak dilakukan sebagaimana standar aturan Farmakope VI dari Kementerian Kesehatan.

Aturan itu menyatakan bahan campuran obat harus dites dulu dengan alat tersebut. ”Namun, hal itu tidak dilakukan,” katanya.

PT Afi Farma mendapatkan propilen glikol (PG) dari penyuplai yang menurut polisi mengoplos bahan tersebut dengan zat beracun etilen glikol (EG). Perusahaan itu dituduh lalai karena tidak melakukan pengecekan pada bahan baku.

Pengacara PT Afi Farma mengatakan pihaknya tidak melakukan pengujian zat beracun etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) karena berpegangan pada certificate of analysis (COA).

Dia menuduh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tidak melakukan pengawasan ketat terhadap bahan baku.

Raina mengalami gagal ginjal setelah minum obat penurun panas berbentuk sirop yang diproduksi PT Afi Farma. Obat itu diperoleh dari Puskesmas, namun belakangan dilarang beredar oleh BPOM.

Ibu Raina, Sri Rubiyanti, mengatakan saat ini berat badan anaknya masih jauh di bawah anak normal seusianya. Tulangnya “seperti bayi lagi” dan syaraf penggerak matanya terganggu.

Upaya pemulihan Raina membutuhkan biaya yang tidak sedikit, kata Sri. Biaya cuci darah memang ditanggung BPJS Kesehatan tetapi keluarga itu masih harus merogoh kocek pribadi untuk membeli susu dan obat untuk tulang Raina serta pengeluaran lainnya. Padahal, mereka bukan keluarga berada.

“Bukan terbebani lagi, beban banget. Ini kan bukan bawahan lahir, maksudnya [bukan] takdir, bawaan lahir. Ini kan kelalaian dari pemerintah, bukan harusnya kami yang tanggung,” keluh Sri.

Sri merasa diabaikan oleh pemerintah. Dia mengatakan, anaknya dianggap sudah sembuh setelah selesai cuci darah. “Mereka nggak lihat lagi nih kondisi anak,” ujarnya.

Ibu dua anak itu mengaku belum mendapatkan kompensasi atau santunan dari pemerintah. Dia menuduh pemerintah lepas tanggung jawab dalam kasus ini.

“Yang kami rasakan, yang orang tua rasakan itu, [pemerintah] enggak ada tanggung jawabnya. Katanya di luar BPJS pun Menteri Kesehatan tanggung secara gratis. Saya berani jamin, dari awal masuk sampai detik ini nggak ada tanggung jawabnya sepeser pun,” ujarnya.

Sri berharap semua pihak yang bertanggung jawab dihukum seberat-beratnya karena telah mengakibatkan kematian dan penderitaan ratusan anak.

Dia sendiri mengaku merasa sangat kesal, namun tidak tahu ke mana harus meluapkan kekesalannya itu.

“Wah kesel banget ya saya. Cuma kan untuk meluapkan kekesalannya itu ke mana? Kita juga ke mana?” ujarnya.

Etilen glikol dan propilen glikol sama-sama berfungsi sebagai zat tambahan untuk pelarut. Namun, propilen glikol merupakan zat yang tidak beracun sehingga banyak digunakan dalam obat, kosmetik dan makanan. Sedangkan etilen glikol bersifat beracun yang biasanya digunakan untuk cat, pulpen, dan cairan rem.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas aman untuk EG dan DEG adalah 0,1%. Standar ini diadopsi oleh Farmakope pada tahun 2020.

JPU Ikhsan Nasrulloh berkata kepada BBC News Indonesia bahwa temuan tersebut merupakan hasil pengujian Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Mabes Polri.

Dihubungi secara terpisah, penyidik di Polri mengonfirmasi bahwa itu memang temuan mereka.

Ikhsan menjelaskan asal usul bahan baku beracun itu. CV Samudera Chemical diketahui mengoplos propilen glikol yang dibeli dari Dow Chemical Thailand dengan zat cemaran etilen glikol (EG). Bahan oplosan itu kemudian diperjualbelikan sehingga akhirnya masuk ke mata rantai pembuatan obat di PT Afi Farma.

“Awalnya CV samudera yang mengoplos kemudian diperjualbelikan ke CV Anugerah Perdana Gemilang kemudian ke PT Fari Jaya Pratama terus ke PT Tirta Buana Kemindo sampai akhirnya masuk ke Afi Farma,” ujarnya.

“Ujungnya di Afi Farma karena Afi Farma itu industri farmasi. Dan karena tidak dilakukan pengujian terhadap kadar propilen juga cemaran etilen, bahan propilen glikol oplosan itu tidak terdeteksi. Akhirnya dipakai untuk bahan pembuatan obat sirop.”

Lebih lanjut dia menjelaskan, PT Afi Farma dituduh lalai karena dalam pedoman pembuatan obat Farmakope 6 serta Peraturan Badan Pom nomor 34 tahun 2018 disebutkan bahwa industri farmasi bertanggung jawab atas pengujian bahan awal.

Akibat kelalaian itu, diduga telah mengakibatkan kematian lima orang.

PT Afi Farma adalah salah satu dari empat perusahaan yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus gagal ginjal akut.

Dua perusahaan, yakni PT Afi Farma dan CV Samudera Chemical, ditetapkan tersangka oleh Bareskrim Polri. Kemudian PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Pharmaceutical dijerat sebagai tersangka oleh BPOM.

Perusahaan, imbuhnya, berpegang pada certificate of analysis (COA) serta kredibilitas PT TBK yang memegang surat CDOB (cara distribusi obat yang baik) yang dikeluarkan BPOM.

“Sehingga dengan itu semua kami meyakini bahwa barang yang dijual ke kami itu sudah legal,” katanya.

Samsul mengatakan perusahaan sudah berkali-kali membeli bahan baku dari PT TBK dan tidak ada masalah.

Lebih lanjut dia mengeklaim bahwa hampir semua perusahaan farmasi di Indonesia tidak ada yang secara spesifik menguji kandungan EG dan DEG.

“Karena kemarin pada saat di persidangan pun disampaikan oleh pihak Bareskrim metodenya [untuk menguji EG dan DEG] baru diperoleh ketika perkara ini muncul,” ujarnya.

Menurut Samsul, “sangat disayangkan” BPOM tidak melakukan pengawasan secara ketat terhadap bahan baku obat. Dia mempertanyakan mengapa perusahaan berstatus pedagang besar farmasi (PBF) seperti PT TBK bisa membeli bahan baku kepada CV Samudera Chemical yang non-PBF.

“Andaikata BPOM bisa mengawasi itu dari masuknya bahan baku obat saya rasa ini nggak mungkin terjadi,” ungkapnya.

BPOM menolak menjawab permintaan tanggapan yang diajukan oleh BBC News Indonesia.

Seorang staf Humas BPOM meminta BBC News Indonesia mengoordinasikan perkara ini ke Bareskrim Polri.

Namun hingga saat ini belum ada tindakan hukum terhadap BPOM.

Ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Doktor Marchaban, pernah mengatakan kepada BBC bahwa kasus ini membuktikan belum efektifnya pengawasan BPOM setelah obat beredar di masyarakat (post-market).

BPOM, kata dia, tidak pernah melakukan surveilans secara spesifik terhadap cemaran EG dan DEG dalam obat yang beredar sampai kasus ini terjadi.

Di sisi lain, industri farmasi dia duga juga tidak disiplin mengontrol cemaran dalam bahan baku, terutama ketika mengganti penyuplai bahan baku yang semestinya mereka laporkan kepada BPOM.

Itu menunjukkan bahwa standar yang tercantum dalam cara pembuatan obat yang baik (CPOB) tidak diterapkan dengan baik, kata Marchaban.

“Oke kalau seandainya betul kesalahan terletak di industri farmasi. Tapi kemudian siapa sih yang mengawasinya? Pengawasnya kan Badan POM. Mengapa memberikan izin edar kalau sesuatu yang dilakukan industri farmasi belum lengkap? Saya kira BPOM harus bertanggung jawab,” tutur Marchaban.

November lalu, BPOM mengeluarkan aturan yang mengakomodasi impor propilena glikol, polietilena glikol (PEG), serta bahan lain dengan pembatasan kadar EG dan DEG untuk kepentingan industri farmasi.

Aturan itu adalah Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia serta Peraturan BPOM Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/04/072700678/kasus-obat-batuk-sirup-beracun-4-petinggi-perusahaan-produsen-divonis-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke