Salin Artikel

Kisah di Balik Pembuat Konten Kehidupan Sederhana di Kampung yang Viral di Media Sosial

Marselina Lika, seorang warga Kalimantan Barat berusia 23 tahun, mengaku kaget saat melihat video yang ia unggah ke media sosial TikTok telah ditonton sebanyak 1,3 juta kali.

Ia tak menyangka ada orang-orang di luar sana yang tertarik menonton cuplikan dirinya dan ayahnya menangkap ikan di sungai.

“Aku memang tipenya suka merekam atau memotret segala sesuatu. Jadi pertama-tamanya iseng, setelah beberapa kali upload, ternyata banyak yang suka, kontennya dibilang refreshing banget,” ungkap Lika kepada BBC News Indonesia pada Selasa (18/10).

Dalam beberapa videonya, Lika biasa pergi ke hutan untuk menemani ibunya mencari sayur-mayur segar yang dapat mereka masak untuk makanan rumah. Ia juga sering menampilkan beraneka ragam masakan unik seperti memasak dengan daging ular.

Lika terkadang pergi bersama ayahnya untuk menangkap ikan dengan jala di sungai berair cokelat. Pemandangan sungai dan alam yang hijau seringkali menjadi daya tarik tersendiri bagi video-video Lika.

“Angkat perangkap ikan bersama bapak! Ini aku otw dulu dari kota ke kampung harus melewati atau menyeberangi Sungai Kapuas yang sedalam dan selebar ini guys,“ kata Lika dalam videonya yang diunggah pada akun @marselina_lika.

Tak hanya Lika, Nia Daniati Situmorang yang tinggal bersama suami, anak dan ketiga adiknya di daerah Sibuluan Nauli, Sumatera Utara, juga berhasil membangun karier sebagai pembuat konten dari kesehariannya di desa itu.

Perempuan yang berprofesi sebagai petani padi dan kopi itu sering mengunggah video yang menunjukkan dirinya dan suaminya bekerja di ladang secara manual serta mengurus anaknya. Akunnya yang bernama @niadaniatisitumorang sudah memiliki lebih dari 700.000 pengikut.

“Tidak ada niat mau terkenal, saya hanya iseng membuat a day in my life (sehari dalam hidupku) di kampung. Tapi tiba-tiba banyak yang suka dan menonton, ya puji Tuhan,“ katanya.

Nia pernah merasakan kesibukan hidup di kota saat ia dan suaminya bekerja di Jepang. Namun, ia harus kembali ke kampungnya setelah kedua orangtuanya meninggal untuk membantu mengurus adik-adiknya.

Selama tinggal di kampungnya, ia gemar merekam dan mengunggah aktivitas sehari-harinya, seperti mengikuti upacara adat hingga menggosok gigi dengan daun sehabis mencangkul di sawah berlumpur.

“Lebih enak hidup sederhana, apa adanya. Jadi kita nggak harus ikuti tren, enggak harus ikuti orang-orang yang mewah di sana,“ ungkap Nia.

Oleh karena itu, ia harus menempuh perjalanan 15 menit ke perumahan dekat perusahaan sawit demi mengunggah video yang sudah siap tayang setia harinya.

“Jadi upload sebentar, semuanya selesai balik lagi ke rumah. Karena di kampungku itu belum ada tiang pemancar sinyal sama sekali. Tak ada satupun,” kata Lika.

Meski begitu, ia rela berusaha lebih untuk tetap mempertahankan hobinya yang telah berubah menjadi sumber pendapatan. Setiap video yang ia bagikan di media sosial merupakan hasil editan, rekaman dan unggahan sendiri.

”Aku kadang sambil bantu-bantu, sambil merekam. Karena ini aktivitas orang lain, kadang aktivitas orang tua atau orang-orang di kebun, kita enggak bisa, 'eh nanti-nanti' jadi tantangannya di situ, harus serba cepat,” ujarnya.

Nia juga merasakan hal yang sama. Ia merekam semua aktivitasnya di sawah atau di sekitar rumahnya menggunakan iPhone 11 miliknya. Sesampai di rumah ia mengedit semua video sendiri dan mengunggahnya saat jaringan seluler sedang bagus.

”Karena kita pakai alatnya seadanya, enggak seperti orang yang lengkap semuanya. Jadi kadang-kadang kalau bikin content ke lahan atau sawah yang seharian, tiba-tiba kita mau ambil video lagi pas pulang, handphone udah lowbat,” kata Nia.

Nia mengatakan menjadi konten kreator telah mengubah hidupnya. Ia bisa mendapatkan pendapatan tambahan untuk membantu menyekolahkan adik-adiknya, memenuhi kebutuhan anaknya sekaligus meneruskan pekerjaannya di sawah.

Namun, ia juga beberapa kali menerima komentar negatif dari warganet yang menganggap kontennya ‘kampungan‘ atau bahwa dirinya ‘minta dikasihani‘.

Padahal, kata Nia, ia tidak memiliki niat itu sama sekali, melainkan ia lebih bahagia saat hidup di kampung bersama keluarganya.

“Saya mau menunjukkan kehidupan sederhana juga enggak banyak beban dan kita juga bisa bahagia walaupun kehidupan kita sederhana,“ tuturnya.

“Untuk mendapatkan perhatian, kata kuncinya adalah authenticity atau originalitas. Karena ketika original berarti sesuatu yang berbeda. Ketika itu berbeda, maka orang akan menoleh,” kata Devie kepada BBC News Indonesia.

Indonesia, sambungnya, merupakan negara yang memiliki beragam budaya dan keanekaragaman gaya hidup. Dengan munculnya para pembuat konten dari daerah, berarti mereka mulai menyadari keunggulan budaya yang mereka miliki.

“Mengingat budaya kita ini luar biasa, banyaknya permata budaya tadi. Inilah yang kemudian sekarang mulai disasar oleh banyak orang,” ujarnya.

Namun, Devie mengatakan negara perlu memfasilitasi para pembuat konten di daerah karena mereka tidak memiliki akses ke sarana dan prasarana yang dimiliki pembuat konten di kota-kota besar. Khususnya koneksi internet yang lancar.

Sebab, keberadaan media sosial dapat menjadi kesempatan bagi orang-orang yang tinggal di daerah untuk mempromosikan pengalaman unik mereka dan budaya lokal yang kaya.

“Negara dalam hal ini harus serius memastikan teman-teman daerah bisa mendiri lewat attention economy ini, bahkan memperoleh kesejahteraan melalui ini,” sebut Devie.

Tak bisa dipungkiri, semakin banyak warga perkotaan justru menyukai konten yang disajikan oleh para pembuat konten seperti Lika dan Nia karena dianggap menyegarkan dan menawarkan gaya hidup yang lebih sederhana.

“Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Sesuatu yang kita tidak miliki secara psikologis, manusia akan berpikir bahwa itu adalah sebuah sumber kebahagiaan yang baru.

“Pada akhirnya akan terjadi kejenuhan, enggak semua yang bagus selalu kemudian menarik perhatian,” tutup Devie.

Lika mengatakan bahwa dirinya tidak pernah merasa ‘gengsi’ ataupun membandingkan dirinya dengan para pembuat konten di kota-kota besar seperti Jakarta.

Sebab, ia kurang suka dengan konten yang terkesan ‘settingan’, ia lebih suka menyajikan konten yang menunjukkan dirinya ‘seadanya’.

“Bangga banget jadi orang Dayak aku. Karena kehidupan orang di sini sehat, dari gaya hidupnya sampai gaya hidup dan aktivitasnya. Semuanya enggak serba cepat,“ ujar Lika.

https://regional.kompas.com/read/2023/10/24/151600778/kisah-di-balik-pembuat-konten-kehidupan-sederhana-di-kampung-yang-viral-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke