Salin Artikel

Cerita dari 5 "Kampung Mati" di Indonesia yang Sempat Viral di Media Sosial

Ternyata kampung mati tersebut berada sekitar 50 meter dari gang depan kantor Kelurahan Cempoko.

Di lokasi yang disebut kampung mati, ada belasan rumah megah yang sudah tak berpenghuni. Rumput liar menutupi bangunan dan ada beberapa bagian rumah yang hilang serta ada yang dirobohkan.

Di antara belasan rumah tersebut, ada satu rumah di sekitar lokasi yang digunakan untuk bisnis grosir gas LPG.

Sementara di sebelahnya ada satu rumah yang digunakan untuk pengolahan pupuk kandang.

Dan berikut cerita tentang 5 kampung mati yang pernah viral di di Indonesia:

Perumahan tersebut dibangun sekitar tahun 1980-an. Kini sejumlah rumah sudah dibeli oleh pengusaha asli Desa Cepoko yang bernama Sumardani dan salah satunya disewakan untuk bisnis gas elpiji.

Sumardani menyebut tujuh rumah di perumahan tersebut sudah menjadi hak miliknya sejak tahun 2000-an.

Awalnya kawasan tersebut dikenal dengan perumahan elit di masanya. Namun, pada 1987-an, beberapa penghuni rumah itu menjadi korban Tragedi Mina.

"Beberapa rumah itu sempat dijual untuk biaya haji, namun malah menjadi korban Tragedi Mina. Hingga tahun 2000-an rumah itu mangkrak, kemudian saya beli," paparnya.

Salah satu warga yang masih tinggal di pemukiman tersebut adalah Nailil (23) yang sudah tinggal di tempat itu sejak dua tahun terakhir.

Dia menempati satu rumah yang bagian depannya digunakan sebagai gudang sekaligus kantor gas elpiji.

Di kampung tersebut ada 13 kepala keluarga yang bermukim. Salah satunya adalah Bejo (53).

Bejo mengaku pindah ke kampung tersebut pada 2010. Sebelumnya ia dibesarkan di Kelurahan Dukuh yang tak jauh dari lokasi tersebut.

Menurut Bejo, kampung tersebut dulunya digunakan sebagai penampungan korban perang Vietnam pada 1977-1978. Kala itu ada ratusan orang Vietnam yang mengungsi.

“Dulu dibuat satu bangunan gitu aja. Kayak penampungan pengungsi. Mereka tinggal bersama di bangunan itu,” bebernya.

Setelah perang usai, para pengungsi itu sebagian dikirim pulang ke Vietnam dan sebagian lainnya meminta suaka ke Australia.

Setelah pengungsi Vietnam pergi, pemerintah menjadikan bangunan tersebut sebagai panti jompo yang dinaungi Dinas Sosial.

“Sekitar tahun 1980-an sudah mulai (digunakan) untuk panti jompo," ujar Bejo.

Panti jompo itu berhenti beroperasi pada 2007 sehingga kampung tersebut menjadi sepi.

Ternyata kawasan yang masuk dalam lokasi rawan bencana pergerakan tanah itu masih dihuni oleh sejumlah warga.

Bencana pergeseran tanah pernah menimpa wilayah tersebut pada tahun 2006 dan 2016 silam.

Sejak saat itu, tercatat sebanyak 253 Kepala Keluarga (KK) di blok tersebut direlokasi ke Blok Buahlega oleh pemerintah setempat pada tahun 2009 hingga tahun 2010.

Camat Majalengka, Doni Fardiansyah mengatakan, hasil pemantauan ke lapangan, masih ada sekitar 49 warga yang masih beraktivitas di wilayah tersebut.

Mereka kebanyakan beraktivitas dikarenakan mata pencahariannya sebagai petani berada di lokasi tersebut.

"Ya jadi informasi yang saya terima masih ada yang menempati. Namun setelah tadi musyawarah warga sepakat mulai hari ini akan pindah ke tempat relokasi yang telah disediakan," ujar Doni, Rabu (19/10/2022).

Namun warga menjelaskan tak sepenuhnya menempati rumah tersebut, karena mereka juga masih tinggal di rumah relokasi.

Awalnya kampung yang dikenal dengan nama Sembulan tersebut dihuni oleh 30 kepala keluarga.

Namun, sejak lima tahun terakhir, kampung tersebut sama sekali tidak berpenghuni. Semua warganya pindah hingga disebut kampung mati.

Penyebab warga Kampung Sumbulan pindah karena akses jalan yang sulit.

Pada tahun 1850, di kampung tersebut ada pondok pesantren yang didirikan Nyai Murtadho, anak ulama dari Demak.

Kala itu banyak warga yang datang untuk belajar agama. Namun saat Nyai Murtadho dan keluarganya meninggal, pondok pesantren semakin sepi.

Sejak saat itu, satu per satu warga di Kampung Sumbulan pindah dari wilayah yang memiliki luas sekitar tiga hektar tersebut.

Kepala Desa Plalangan, Ipin Herdianto menuturkan, sudah ada pengembang yang hendak membangun perumahan di kampung tersebut.

Namun, ahli waris pemilik tanah dan rumah di kampung mati tersebut menolak tawaran dari pengembang untuk dijadikan kompleks perumahan.

"Namun, bila dibeli untuk pembangunan pesantren ahli waris menerimanya," ujar Ipin, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (4/3/2021).

Di kampung itu masih ada surau yang terlihat bersih dan digunakan warga lain yang bekerja di perkebunan di sekitar Desa Puntingan.

Kepala Desa Dlimas Saebani menceritakan, sejak sekitar tahun 1985 dusun ini masih dihuni 7-10 kepala keluarga (KK).

Namun satu per satu, mereka pindah ke dusun atau desa lain hingga menyisakan satu keluarga yang masih bertahan di dusun tersebut sampai tahun 2020.

Penghuni terakhir adalah suami istri yang hanya tinggal malam hari karena siang hari mereka bekerja. Lalu pada 2020, sang suami meninggal dunia.

Sang istri yang sakit-sakitan dan seorang diri akhirnya pindah ke rumah anaknya di Dusun Koripan, Desa Dawung.

Saebani mengatakan sebagian besar warga yang pindah karena merantau ke luar daerah. Namun jika melihat kondisi akses jalan dan minimnya fasilitas seperti listrik, wajar jika penduduk Dusun Puntingan lebih memilih pindah dari dusun ini.

"Listrik tidak ada. Sebelumnya warga ambil (menyalurkan) listrik dari Dusun Tobanan. Karena sekarang tidak ada penghuni jadi tidak ada listrik lagi," terang Saebani.

https://regional.kompas.com/read/2023/10/18/155500778/cerita-dari-5-kampung-mati-di-indonesia-yang-sempat-viral-di-media-sosial

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke