Salin Artikel

Setahun Tragedi Kanjuruhan dan Perjuangan Mencari Keadilan

Data ini tentunya masih mungkin bertambah karena kemungkinan adanya korban yang tidak dilaporkan atau tidak menjangkau instalasi medis sehingga tidak tercatat.

Dengan besaran jumlah korban seperti itu, proses hukum tragedi Kanjuruhan bisa dibilang jauh dari adil.

Aparat kepolisian hanya menjerat enam orang tersangka yang terdiri dari pihak panpel, PT Liga, dan tiga polisi.

Dari enam orang itu, hanya lima orang yang berkasnya berlanjut ke peradilan. Vonis terberat yang mereka dapat hanya 2,5 tahun.

Bahkan pada pengadilan tingkat pertama di PN Surabaya, dua dari tiga personel kepolisian yang menjadi terdakwa sempat divonis bebas, sebelum akhirnya vonis tersebut dianulir oleh Mahkamah Agung pada akhir Agustus lalu.

Dua polisi itu, yakni mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi (divonis 2 tahun penjara) dan eks Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto (divonis 2 tahun 6 bulan penjara).

Vonis tersebut tentunya jauh dari harapan para korban dan keluarganya. Selain terkait besaran masa pidana, pelaku operator gas air mata maupun petinggi kepolisian yang seharusnya bertanggung jawab tidak tersentuh hukum.

Begitu pula suporter pertama yang turun ke lapangan, yang diduga menjadi pemicu penembakan gas air mata, juga tidak tersentuh hukum.

Meskipun foto dan videonya banyak beredar, namun aparat kepolisian seakan enggan mengusut orang tersebut.

Perjuangan para keluarga korban mencari keadilan seakan menemui tembok besar. Perjuangan mereka dimulai dari adanya laporan kepolisian model B di Polres Malang yang dibuat oleh dua orang keluarga korban meninggal dunia pada November 2022 lalu.

Bahkan untuk membuat laporan model B tidak mudah. Upaya pelaporan di Polda Jatim ditolak, sedangkan upaya pelaporan di Polres Malang tidak langsung diterima, melainkan melalui diskusi panjang dengan penyidik hingga akhirnya laporan kepolisian model B tersebut mau mereka buat.

Proses hukum untuk laporan kepolisian model A yang dibuat polisi atas meninggalnya 135 orang dan ratusan orang lainnya terluka di Stadion Kanjuruhan tersebut berjalan seadanya.

Pasal yang dikenakan seakan sekenanya, yaitu pasal kelalaian yang menyebabkan kematian. Untuk dua orang Panpel Arema ditambah pasal dalam UU Keolahragaan.

Hai ini menunjukkan pihak penyidik kurang mengelaborasi potensi pengenaan pasal lain yang mungkin terjadi pada saat peristiwa Kanjuruhan seperti pasal penganiayaan, kekerasan terhadap anak, hingga pasal penghalangan orang mengakses pengobatan.

Berdasarkan kesaksian para korban selamat, mereka sempat dilarang mendekati ambulans milik Dokpol yang berjaga.

Penyidik seakan hanya ingin memenuhi keinginan masyarakat agar ada tersangka pada peristiwa Kanjuruhan.

Meski laporan kepolisian bergulir di pengadilan, namun upaya mencari keadilan melalui laporan model A tidak semudah itu.

Forkopimda Kabupaten Malang meminta agar persidangan dipindahkan ke PN Surabaya, akibatnya kontrol masyarakat Malang terhadap persidangan menjadi sulit.

Bahkan mereka seakan dibenturkan dengan suporter Surabaya melalui isu-isu bahwa persidangan akan dibuat kisruh apabila kelompok korban datang ke PN Surabaya.

Mahasiswa Surabaya yang sempat melakukan aksi terkait persidangan tersebut sempat diintimidasi oleh orang-orang tidak dikenal sehingga aksi mereka bubar.

Dan menjadi fakta bahwa pihak korban yang ingin menyaksikan proses peradilan di PN Surabaya mendapatkan perlakuan kurang baik dari petugas yang menjaga persidangan tersebut.

Bahkan beberapa korban selamat yang menjadi saksi sempat dilucuti pakaiannya karena dianggap berbau atribut korban.

Berbanding terbalik dengan pihak terdakwa di mana para pendukungnya bebas masuk ruang sidang, bahkan sempat terekam kamera melakukan intimidasi terhadap petugas Kejaksaan yang sedang mengawal terdakwa.

Dengan situasi persidangan seperti itu, tentunya sulit untuk mengharapkan adanya vonis yang berpihak kepada korban.

Tanpa adanya kawalan dari kelompok korban ditambah adanya intimidasi dari kelompok terdakwa, tentunya sedikit banyak memberi pengaruh kepada vonis majelis hakim.

Awal Maret, keluarlah vonis ringan tersebut sesuai dengan yang ditulis pada awal tulisan ini.

Beralih ke upaya pencarian keadilan melalui laporan kepolisian model B. Proses laporan kepolisian model B di Polres Malang lebih mengenaskan.

Dalam SP2HP bulan Februari 2023 atau 4 bulan setelah pelaporan dibuat, kepolisian hanya memeriksa saksi dengan hitungan jari di mana hampir semuanya merupakan anggota Kepolisian.

Puncaknya pada 7 September 2023, Kapolres Malang AKBP Putu Kholis Aryana mengumumkan bahwa laporan kepolisian model B yang dibuat keluarga korban Kanjuruhan dihentikan karena tidak memenuhi unsur.

Hal ini tentunya sangat menyakitkan hati keluarga korban. Nyawa keluarga mereka tidak dibayar penegakan hukum yang setimpal.

Fokus LP model B yang menyasar kepada penembak gas air mata maupun pejabat kepolisian yang seharusnya bertanggung jawab dikesampingkan oleh penyidik.

Seakan para penembak gas air mata tidak melakukan apa-apa yang menyebabkan tewasnya 135 orang dan ratusan lain luka-luka.

Jika dibandingkan dengan perkara Ferdy Sambo di mana Bharada Eliezer tetap dipidana meskipun statusnya hanyalah bawahan yang mengikuti perintah atasan, tentu sangat bertolak belakang karena para penembak gas air mata tidak tersentuh hukum sama sekali.

Adanya proses kepada para penembak gas air mata dan para pejabat Kepolisian tentunya akan menimbulkan rasa keadilan bagi para keluarga korban. Tangan-tangan yang menyebabkan kematian atau lukanya keluarga mereka bisa dihadapkan ke pengadilan.

Keluarga korban terus berupaya mencari keadilan, salah satunya dengan mendatangi Bareskrim Polri pada 27 September 2023 lalu.

Atas kedatangan mereka, pejabat Bareskrim menyatakan akan menarik laporan kepolisian model B yang dihentikan oleh Polres Malang untuk ditinjau kembali dan kemungkinan akan ditarik penanganannya ke Bareskrim.

Hal ini tentunya menjadi secercah harapan atas munculnya keadilan bagi para korban. Kita tentunya harus mengawal terus janji Bareskrim Polri untuk meninjau kembali penghentian laporan kepolisian model B dan harapannya agar penanganan benar-benar ditarik ke Bareskrim.

Penanganan oleh Bareskrim menjadi penting karena suka tidak suka beberapa terlapor merupakan anggota Polres Malang sehingga ada potensi konflik kepentingan.

Selain melalui pelaporan pidana, keluarga korban juga melakukan upaya lain seperti mendatangi Komnas HAM pada Senin 25 September 2023.

Komnas HAM menjadi salah satu harapan dari keluarga korban karena mereka berwenang untuk menetapkan tragedi tersebut sebagai pelanggaran HAM berat.

Adanya penetapan sebagai pelanggaran HAM berat tentunya memberikan imbas baik terhadap penanganan hukum maupun hak-hak korban.

Ini bisa menjadi alternatif penyelesaian tragedi Kanjuruhan jika memang penanganan secara hukum pidana biasa mentok.

Atensi masyarakat tentunya juga penting agar para pemangku kebijakan terkait penanganan Kanjuruhan bisa bekerja dengan serius dan secara optimal mewujudkan keadilan bagi para korban.

Tidak hanya mentok di bantuan sosial, renovasi rumah, penyelenggaraan SIM gratis yang kadang ujungnya harus dengan embel-embel video terima kasih ke Polres Malang.

Harapannya pernyataan “kami jawab di lain waktu” yang pernah disampaikan Presiden Jokowi adalah berupa penegakan hukum yang tegas terhadap penembak gas air mata, pejabat kepolisian, dan suporter yang awal-awal turun sehingga memicu kericuhan.

Jangan sampai Kanjuruhan tidak tuntas dan hanya berakhir di aksi Kamisan atau renungan di tiap 1 Oktober. Tanpa ada ganjaran setimpal untuk mereka yang benar-benar bersalah.

https://regional.kompas.com/read/2023/10/02/14152151/setahun-tragedi-kanjuruhan-dan-perjuangan-mencari-keadilan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke