Salin Artikel

Wirawan, Dalang Generasi Terakhir yang Pertahankan Eksistensi Wayang Palembang

PALEMBANG, KOMPAS.com - Sudah hampir 20 tahun Wirawan Rusdi menjadi seorang dalang wayang Palembang, menggantikan ayahnya yang bernama Muhammad Rusdi Rasyid.

Iwan, panggilan akrabnya, mengenal wayang Palembang sedari kecil karena ayahnya sering ndalang di berbagai kegiatan.

Tak cuma ayahnya, kakek Iwan yang bernama Muhammad Abdul Rasyid juga merupakan dayang unggul wayang Palembang sejak tahun 1950.

Iwan muda awalnya enggan mendalami profesi dalang wayang Palembang. Dia memiliki cita-cita menjadi orang sukses, selain di bidang perwayangan Palembang.

Namun, pada 2004, pandangan Iwan terhadap dalang berubah. Dia pun berniat ingin mempertahankan wayang Palembang agar tetap eksis dengan menjadi dalang.

“Aku pun menggantikan bapak (sebagai dalang) karena sebagai anak tua (anak pertama). Karena tidak ada yang mau,” kata Iwan saat berbincang dengan Kompas.com, Minggu (25/9/2023).

Berbekal dari wayang peninggalan almarhum bapaknya serta bantuan dari 50 wayang kulit dari UNESCO, Iwan kemudian secara otodidak belajar menjadi seorang dalang. Kaset pita peninggalan ayahnya, menjadi pembimbing Iwan saat itu.

Lambat laun, Iwan mulai mengerti alur cerita pewayangan hingga akhirnya kini ia pun menjadi dalang.

“Waktu itu dua tahun belajar otodidak dari 2004 sampai 2006, karena Palembang yang mengajari jadi dalang itu tidak ada. Jadi saya mendengar kaset pita peninggalan Bapak, sampai akhirnya memainkan sendiri,” ujarnya.

Wayang Palembang dan wayang Jawa sebetulnya memiliki cerita sama yang diangkat dari kisah Mahabarata dan Ramayana.

Hanya saja, saat penampilan berlangsung, dalang akan menggunakan bahasa asli Palembang yang hampir mirip dengan bahasa Jawa halus namun berbeda dialek.

Saat pentas dilakukan, durasi yang dimainkan pun paling lama dua jam dan paling singkat 10 menit tergantung dengan permintaan tuan rumah ataupun pemilik acara.

“Kalau di Palembang berbeda seperti Jawa yang ketika pentas bermain semalam suntuk,” jelas Iwan.

Sebagai sosok dalang tunggal, Iwan pun pernah manggung di beberapa daerah di Tanah Air, seperti Yogyakarta dan Solo. Meski bermain di luar daerah, Iwan tetap menggunakan bahasa asli Palembang.

“Kalau di Jawa memakai bahasa asli Palembang orang lebih paham. Karena bahasa Palembang sama dengan bahasa Jawa. Tapi kalau di Palembang pakai bahasa asli hanya ada beberapa orang saja yang mengerti, atau paling tidak orangtua,” jelasnya.

Minim generasi dalang Palembang karena tidak menjanjikan

Sebagai dalang tunggal, Iwan sebetulnya telah berusaha keras agar wayang Palembang dikenal masyarakat.

Sanggar Sri Wayang Kulit Palembang milik keluarganya itu kembali ia hidupkan agar anak-anak di kampung tempatnya tinggal di Jalan Pangeran Sido Ing Lautan RT 10 Nomor 234, Lorong Ceklatah, Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Gandus, Terminal Tangga Buntung Palembang dapat mengenal tokoh para pewayangan Palembang.

Hanya saja, sampai saat ini profesi dalang wayang Palembang dianggap tidak menjanjikan. Sehingga, para anak muda tidak terlalu tertarik untuk menjadi dalang. Sebab, untuk satu kali pentas, wayang Palembang hanya dihargai sekitar Rp 2 juta sampai Rp 5 juta.

Hal itu berbanding terbalik dengan kebutuhan alat serta karakter wayang yang dimiliki. Untuk harga satu karakter wayang kulit saja, paling murah di jual Rp 1,5 juta. Setidaknya, satu dalang minimal memiliki500 karakter tokoh pewayangan.

“Sayapun hanya ada 100 (karakter wayang). Sosok dalang wayang Palembang dan Jawa ini berbeda, begitu juga dari penghasilan. Sehingga, hal itu yang menjadikan dalang di sini tidak diminati,” ujarnya.

Bukan hanya bayaran manggung yang masih belum mencukupi. Namun, pagelaran wayang di Palembang hanya akan dipentaskan pada acara tertentu, seperti acara instansi pemerintahan atau pun komunitas seni.

Dalam satu kali pentas, setidaknya minimal lima orang kru yang akan ikut. Mereka akan berbagi peran, yakni bermain gamelan, set panggung, lampu dan lain sebagainya.

“Karena banyaknya alat yang dibawa sehingga harus sewa mobil, sisanya baru dibagikan ke kru. Jadi ini juga membuat profesi dalang tidak diminati,” ungkap dia.

Selain sebagai dalang, Iwan adalah sosok seorang guru bahasa Palembang di salah satu sekolah swasta. Penghasilannya sebagai guru, dapat menutupi kebutuhan keluarga harian keluarganya.

Meski menjadi dalang tidak menjanjikan, Iwan tetap berniat akan tetap bermain wayang Palembang sampai akhir hayat. Sehingga budaya asli Palembang itu tetap hidup dan dikenal oleh masyarakat.

“Dulu niat saya sampai umur 50 tahun saja jadi dalang. Namun, karena tidak ada yang menggantikan saya akan tetap jadi dalang sampai akhir hayat,” ungkap Iwan.

Miliki karakter wayang kulit dari abad 17

Wayang Palembang peninggalan almarhum bapak Iwan ternyata telah ada sejak abad ke 17. Hal ini terungkap setelah peneliti melakukan pengecekan secara langsung ke karakter wayang yang dimiliki oleh Iwan.

Wayang kulit itu sempat diminta untuk dihibahkan untuk dimasukkan ke dalam museum. Namun, Iwan menolaknya dan ingin tetap merawat sendiri wayang peninggalan dari keluarganya tersebut.

“Pernah ditawari masuk museum diminta dihibahkan tapi saya tidak mau,” ujarnya.

Kolektor dari Malaysia pun ternyata sempat ingin membeli karakter wayang milik Iwan. Namun, ia tetap tak ingin menjualnya karena merupakan barang warisan peninggalan keluarga.

“Wayang peninggalan bapak masih ada 50 karakter lagi, ada juga yang sudah patah-patah karena termakan usia. Namun, tetap saya rawat karena warisan keluarga,” kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/25/143953778/wirawan-dalang-generasi-terakhir-yang-pertahankan-eksistensi-wayang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke