Salin Artikel

Kala Rempang Cate di Bawah Kekuasaan Panglima Galang, Sang Penumpas Lanun

Saat bentrokan terjadi, Erman Sikumbang (48) yang rumahnya tak jauh dari lokasi bentrokan panik saat anak ketiganya pingsan dan bola matanya memuntih.

Bentrokan terjadi karena warga menolak pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City di lokasi tersebut.

Erman juga tak bisa bernapas karena pekatnya asap gas air mata yang dilepaskan aparat gabungan untuk membubarkan massa.

Dengan menggendong bayinya, Erman merangsek keluar rumah dalam situasi yang tak kondusif.

Ia berteriak sekeras-kerasnya di tengah kekacauan tersebut.

"Anak saya enggak bisa bernapas, tolong anak saya," seru Herman sepanjang jalan diikuti sang istri di belakangnya.

Wanita yang mengenakan baju kaus merah muda tersebut tak kalah panik dengan Erman. Sebagai ibu, Sukira (37) mencemaskan anaknya.

"Ya, Tuhan anak saya, enggak bergerak," serunya.

Bersyukur, anak Herman berhasil diselamatkan dan kembali pulih. Erman dan istrinya tinggal di rumah dekat jalan Trans Balerang.

Walaupun bayinya selamat, Erman was-was dan ketakutan pemukiman yang mereka tempati sewaktu-waktu direlokasi.

“Gimana tidak takut, kalau kami digusur. Mau kemana kami pindah, cuman inilah tempat tinggal kami sayu-satunya. Kami tinggal disini sudah 24 tahun,” kata dia.

Erman mengakui jika ia bukan orang asli Rempang Cate. Namun istrinya merupakan penduduk Melayu Rempang Cate dan keluarga besar sang istri tinggal di Tanjung Kertang.

“Orang tua bini saya ini tinggal di belakang tepi pantai, tujuh bersaudara semuanya tinggal di sini. Mulai dari ujung sana sampai sini,” ungkap Erman.

Erman menyebut jika nasib mereka sampai saat ini belum juga diketahui. Ia bahkan sempat mencari kontrakan jika rumahnya nanti digusur.

“Kami tak bisa berbuat banyak. Mungkin kampung, tanah leluhur kami ini akan segera lenyap. Namun masa depan anak kami ini harus terus berjalan. Kami sangat berharap nanti setelah besar anak kami Algifari ini dapat perhatian dari pemerintah,” harap Sukira yang diamini Herman.

Wilayah Kota Batam terdiri dari Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulang Galang serta pulau-pulau kecil lainnya di kawasan Selat Singapura dan Selat Malaka.

Dalam buku Mozaik Batam di Bumi Segangtang Lada yang ditulis M MHD Alfan Suheiri disebutkan tentang kisah Rempang di masa lalu.

Batam pernah dalam kekuasaan Sultan Riau Lingga. Bukti kekuasaannya adalah adanya stempel berbentuk cincin yang digunakan untuk surat-surat tanah milik penduduk Batam yang dikeluarkan Kerajaan Riau Lingga.

Penduduk pun harus membayar pajak atas tanah yang mereka tempati kepada kerajaan.

Pengaruh Kerajaan Riau Lingga atas Baram berakhir saat Riau Lingga kalah perang dengan Belanda tahun 1812.

Sultan Riau Lingga dan pengikutnya menyelamatkan diri ke Malaka. Sementara wilayahnya dikuasai oleh Belanda.

Namun ternyata tak semua di wilayah tersebut dikuasai oleh Kerajaan Riau Lingga. Ada beberapa bagian otonom di wilayah Batam yang dikuasai oleh Panglima Galang.

Kala itu Sultan Riau Lingga berbagi kekuasaan otomon dengan Sang Panglima Galang. Antara keduanya tak ada pertentangan.

Namun Sang Panglima tetap tunduk kepada Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Kerajaan Riau Lingga.

Daerah otonom Panglima Galang meliputi Pulau Galang hingga Rempang Cate.

Saat ini Rempang Cate menjadi bagian yang digunakan untuk pengembangan kawasan ekonomi Rempang Eco City.

Panglima Galang dan pengikutnya terkenal kuat dan perkasa. Mereka berjasa karena telah menumpas bajak laut atau lanun yang sering membuat keonaran di daerah laut.

Para lanun tersebut membuat para pedagang yang melintas di perairan tersebut resah. Tak hanya itu. Para lanun juga berusaha menjatuhkan kekuasaan Sultan.

Karena berhasil menumpas para lanun, Panglima Galang pun tinggal di Pulang Galang yang berada di dekat Pulau Rempang, tepatnya di Selat Penyambung.

Dari Pulau Galang, Sang Panglima memantau pergerakan para lanun dan kapal-kapal yang mencurigakan. Tak sedikit lanun bertekuk lutut pada Sang Panglima Galang.

Sementara itu anggota Kerajaan Riau Lingga yang tinggal di wilayah tersebut adalah Raja Tak dan Raja Haji Fisabilillah.

Namun Raja Tak memilih meninggalkan Lingga dan menetap di Batam karena berbeda pandangan dengan sang ayah.

Panglima Galang pun membantu Raja Tak dan beberapa pengikutnya mendirikan kerajaan kecil di wilayah Gunung Bulang, Pulau Bulang.

Legenda menceritakan, Rajak Tak terjun ke laut dan mengubah dirinya menjadi buaya.

Sementara Panglima Galang menikah dengan putri Raja Tanah Dungun dari Kerajaan Riau Lingga. Lalu Sang Panglima dan keluarganya menetap di Pantai Gelam yang saat ini masuk wilayah Kecamatan Bulang, Batam.

https://regional.kompas.com/read/2023/09/10/171800778/kala-rempang-cate-di-bawah-kekuasaan-panglima-galang-sang-penumpas-lanun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke