Salin Artikel

Berani Targetkan "Net Zero Emission" pada 2040, Begini Strategi Sido Muncul

Seluruh operasional pabrik digerakkan dengan membeli listrik energi terbarukan panas bumi di Jawa Barat milik PLN. Kini Sido Muncul telah mengantongi renewable energy certificate (REC) sejak 2022.

Tak heran, perusahaan jamu ternama asal Semarang itu memborong sejumlah penghargaan industri hijau sampai sekarang. Mulai dari Industri Hijau Level 5 selama lima tahun terakhir dari Kementrian Perindustrian.

Kemudian Indonesian SDGs Action Awards 2022 Pemenang Kategori Pelaku Usaha Besar dari Kementrian PPN/Bappenas. Lalu Proper Emas selama tiga tahun terakhir dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Manajer Lingkungan Sido Muncul, Hadi Hartojo menyebut dari segi ekonomi pemasangan PLTS atap telah menghemat listrik mencapai Rp 40-50 juta per bulan.

“Tetapi hebatnya Direksi itu tidak menikmati penghematan itu. Direksi Justru menyetujui proposalnya PLN yang menawarkan listrik ramah lingkungan,” tuturnya saat ditemui di kantornya, Minggu (13/8/2023).

Walhasil keuntungan dari penghematan penggunaan PLTS atap dialokasikan untuk membeli listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang berlokasi di Kamojang, Jawa Barat.

“Listrik REC itu ditransfer untuk dipakai Sido Muncul. Tapi harga listrik ini lebih mahal dibandingkan listrik konvensional. Ini menunjukkan komitmen direksi sungguh luar biasa,” tuturnya.

Kini pihaknya telah sepenuhnya berganti dari listrik PLN konvensional yang bersumber dari batu bara menjadi listrik REC yang terbilang ramah lingkungan.

Sementara dari pemasangan ribuan unit panel surya dapat menghasilkan 1.600 Kwp. Sedangkan kebutuhan listrik pabriknya mencapai 7000 Kw atau 7 mega.

Namun aturan PLN hanya mengizinkan pemasangan dan penggunaan listrik PLTS Atap sebesar 15 persen dari total kebutuhan energi perusahaan. “Maka saat ini kita beroperasi di 1040 Kwp atau 15 persennya,” jelas Hadi.

Pemasangan 4.446 unit solar panel dilakukan sekaligus pada Juli 2021. Instalasi membutuhkan waktu 6 bulan oleh tim teknis dari supplier.

“Kita melakukan kerja sama dengan supplier yang memasangkan PLTS atap ini untuk dipakai selama 25 tahun. Setelah itu menjadi milik Sido Muncul,” katanya.

Pemasangan PLTS atap di sektor industri umumnya dilakukan dalam bentuk bekerja sama. Sehingga industri hanya membayar listrik yang dihasilkan PLTS atap tersebut. Pemasangan PLTS atap menjadi menarik bagi sektor industri lantaran selisihnya dengan listrik milik PLN lebih murah.

“Misalnya kita bayar listrik Rp1 miliar, katakanlah kalau dengan PLN kita bayar Rp 1 miliar 50 juta. Nah Rp 50 juta merupakan keuntungan kami,” imbuhnya.

Hadi menambahkan di pagi dan siang hari operasional pabrik memanfaatkan energi matahari yang diserap melalui panel surya PLTS Atap. Kemudian di malam harinya, Sido Muncul menggunakan listrik REC panas bumi dari PLN.

Menurutnya, ide pemasangan PLTS atap dari direksidi dasari beberapa faktor. Pertama, ancaman global warming atau pemanasan global yang semakin nyata.

“Kedua memang kita mau mendukung program pemerintah yang mencanangkan sejuta PLTS atap. Ketiga tentunya mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK),” tegasnya.

Ia menyebut pemasangan ini merupakan wujud nyata dari Direksi Sido Muncul untuk melestarikan lingkungan khususnya di sektor energi.

“Kita pakai energi ramah lingkungan 95 persen, 85 persen diantaranya EBT, seperti dari PLTS atap, REC, ampas jamu pengganti bahab bakar fosil (solar) untuk utility kita,” katanya.

Kemudian 10 persen energi di sana masih memakai compressed natural gas (CNG) untuk gas. CNG diklaim ramah lingkungan, tapi tidak tergolong EBT.

Selain itu investasi energi ramah lingkungan dilakukan dengan pemanfaatan energi terbarukan dari limbah ampas jamu untuk mengurangi pemakaian energi fosil berupa solar.

“Boiler kami sudah tidak menggunakan fosil, tetapi menggunakan ampas jamu, pellet kayu,”

Meski penggunaan energi ramah lingkungan sudah 95 persen, pihaknya aka mengejar angka 100 persen. Termasuk melalui peningkatan EBT, maupun memperbanyak peralatan pendukung yang dari energi fosil menuju terbarukan.

“Kita sudah punya roadmap net zero pada 2040 di semua operasional pabrik. Sehingga penggunaan energi terbarukan harus terus diperbanyak,” tegasnya.

Target tersebut terbilang sangat ambisius mengingat Pemerintah Indonesia baru menargetkan zero net emission dua dekade setelah target Sido Muncul, yakni pada 2060.

Lebih lanjut, ia memahami bila pemerintah melalui PLN harus mengatur batasan penggunaan PLTS atap. Terlebih kondisi listrik di Jawa masih surplus.

Namun ia tetap berharap batas kuota 15 persen yang diatur PLN, dapat ditambah lebih banyak. Apalagi perusahaannya komitmen mengejar target net zero 2040 mendatang.

“Harapannya bisa bertahap, dari 15 persen, mungkin ke 25 persen, lalu 40 persen, dan seterusnya,” ujarnya.

“Tantangannya inovasi dan biaya. Karena mengubah sesuatu yang sudah mapan menjadi ramah lingkngan itu membutuhkan investasi awal,” tandasnya.

Kritik mengenai kebijakan itu juga disampaikan dalam laporan studi Institute for Essential Services Reform (IESR). Dalam kajian Implikasi Paris Agreement terhadap masa depan PLTU di Indonesia, IESR mendorong pemerintah mengkaji kembali peningkatan aksi mitigasi NDC di sektor pembangkitan listrik.

“Menyiapakan kerangka kebijakan dan regulasi yang lebih komprehensif. Termasuk mengkaji ulang perencanaan energi dan listrik dalam jangka panjang yang berlaku saat ini,” kata Fabby Tumiwa, Direktur IESR.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/16/105614178/berani-targetkan-net-zero-emission-pada-2040-begini-strategi-sido-muncul

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke