Salin Artikel

Berkunjung ke Desa Wisata Pulau Sapi, Kampungnya Warga Dayak Lundayeh

Waktu saat itu menunjukan pukul 08.30 Wita. Langit sedang mendung saat Kompas.com mengunjungi desa yang dihuni oleh warga Dayak Lundayeh itu.

Di sejumlah teras rumah panggung warga desa, para orangtua dan anaknya yang sudah berpakaian rapi sedang bersiap untuk berangkat ke Gereja Kemah Injil Indonesia.

Gereja ini hanya berjarak sekitar seratus meter dari Lapangan Ulung Buaye, tempat Rumah Adat Lundayeh berdiri kokoh.

Warga Desa Wisata Pulau Sapi memang mayoritas beragama Kristen.

Hal itu terlihat dari sejumlah tempat ibadah pemeluk Nasrani yang dengan mudah dijumpai di dalam atau di jalan yang mengarah ke desa tersebut.

Omongan Masdar memang ada benarnya. Baru agak siang sekitar pukul 10.30 Wita, kehidupan di Desa Pulau Sapi mulai ramai.

Warga yang selesai beribadah mulai berbondong-bondong pulang ke rumah masing-masing.

Tidak sedikit yang berjalan kaki ke rumah karena jarak yang berdekatan dengan gereja. Sebagian ada yang singgah di rumah kerabat setelah pulang beribadah.

Tempat wisata

Bulan lalu, Desa Wisata Pulau Sapi merayakan HUT-nya yang ke-65. Dalam memeriahkan hari jadinya, pemerintah desa menggelar karnaval budaya dan lomba karaoke di Lapangan Ulung Buaye.

"Iya, ramai kemarin. Apalagi karena Covid kemarin sudah lama tidak dilakukan," kata Igor, warga setempat.

Igor menuturkan, kegiatan budaya dan adat biasanya memang dipusatkan di Lapangan Ulung Buaye.

"Di Balai Adat biasa dipakai untuk pertemuan adat, acara nikah atau untuk kegiatan tari," kata Igor.

Igor bertempat tinggal persis di seberang SD Negeri 01 Mentarang. Jaraknya juga hanya puluhan meter dari alun-alun desa.

Secangkir kopi hangat dan roti isi menemani perbincangan Kompas.com di teras rumah warga Dayak Lundayeh ini.

Bangunan rumah tempat tinggal Igor memang sudah permanen.

Namun, kebanyakan warga di desa wisata ini masih mempertahankan bangunan rumah berbentuk panggung yang terbuat dari batang kayu.

Salah satu daya tarik bangunan tempat tinggal warga di sini yakni cat tembok rumah yang berwarna warni dengan ukiran-ukiran berciri khas Dayak Lundayeh.

"Ini merupakan salah satu identitas," kata dia.

Sejak menjadi desa wisata, ekonomi warga setempat perlahan mulai terangkat. Hal tersebut didukung dengan kreativitas warganya.

Desa wisata ini punya sentra pembuatan batik, salah satu yang terkenal yakni rumah batik Bua' Beluduh. Batik yang hasilnya disebut 'batik Malinau'.

"Ada dua tempat batik di sini, yaitu Bua' Beluduh dan batik Kamsai," kata Igor.

Batik ini dijual dengan harga terendah dimulai dari Rp 250.000.

"Tergantung kualitas, kalau yang batik tulis itu lebih mahal," kata dia.


Selain punya pontesi budaya dan kesenian, desa wisata ini juga dianugrahi keindahan alam.

Desa Wisata Pulau Sapi berbatasan langsung dengan tepian Sungai Mentarang yang punya bentang sungai yang lebar.

Masyarakat desa segera menangkap potensi wisata dengan membuat wisata susur sungai. Pengunjung bisa menyewa long boat untuk menjelajahi sungai.

"Di Sungai Mentarang ini juga ada yang namanya jembatan gantung, jembatan gantung panjang ini juga menjadi salah satu spot wisata bagi pengunjung di desa ini," ujar dia.

Liputan di Malinau ini menjadi rangkaian cerita serial di Kompas.com. Tim Kompas.com dalam liputan ini dibekali apparel dari Eiger.

Simak dan ikuti terus cerita menarik lainnya di sini.

https://regional.kompas.com/read/2023/08/13/183919178/berkunjung-ke-desa-wisata-pulau-sapi-kampungnya-warga-dayak-lundayeh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke