Salin Artikel

Soal Mahasiswa Magang Jadi Korban TPPO di Jepang, Direktur PPNP: Resmi dari Kampus, Bukan Ilegal

PADANG, KOMPAS.com - Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh (PPNP) Sumatera Barat John Nefri menyebutkan, proses magang mahasiswa ke Jepang adalah resmi, bukan ilegal.

Mahasiswa yang diberangkatkan pun melalui seleksi dan berangkat membawa nama kampus.

"Jadi magangnya resmi. Ada seleksinya di kampus. Bukan ilegal," kata John Nefri yang dihubungi Kompas.com, Rabu (28/6/2023).

John mengatakan, pihaknya belum mengetahui secara pasti kenapa kasus itu masuk dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

"Ini yang sedang kita telusuri secara internal. Tapi kita hormati proses hukum yang sedang berlangsung di kepolisian," kata John.

Sebelumnya John menyebutkan kasus tersebut terjadi pada 2020-2021 ketika Covid-19 sedang merebak dan saat itu dirinya belum menjabat sebagai direktur.

"Kalau tidak salah itu 2020-2021 saat Covid-19 ya. Saya waktu itu belum menjadi direktur jadi belum tahu persis," kata John.

John menjadi direktur pada Agustus 2022 untuk periode 2022-2026.

Saat itu posisi direktur dijabat oleh EH yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Sedangkan tersangka satunya lagi, G merupakan direktur sebelum EH.

Menurut John, sejak dirinya menjabat, proses magang ke Jepang sudah dihentikan.

"Tidak ada lagi sekarang dikirim magang ke Jepang," kata John.

Bareskrim sebut ada praktik TPPO

Sebelumnya diberitakan, salah satu politeknik di Sumatera Barat (Sumbar) kedapatan terlibat dalam praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Politeknik tersebut mengiming-imingi mahasiswanya magang ke Jepang, padahal menjadi buruh dengan jam kerja yang tidak masuk akal di sana.

Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengatakan para mahasiswa yang dikirim ke Jepang malah bekerja jadi buruh.

Polisi pun menetapkan dua orang tersangka dalam kasus ini yakni G dan EH. Keduanya sama-sama menjabat sebagai direktur di politeknik tersebut dalam periode yang berbeda.

"Selama 1 tahun magang korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang. Akan tetapi bekerja seperti buruh," ujar Djuhandani dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (27/6/2023).

Djuhandani menjelaskan, ketika tiba di Jepang, mahasiswa yang lulus untuk mengikuti program magang tersebut bekerja di sebuah perusahaan sebagai buruh.

Sehari-hari, para korban bekerja selama 14 jam dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 10.00 malam. Hal tersebut terus mereka lakukan selama 7 hari dalam seminggu, alias tanpa libur.

Bahkan, kata Djuhandani, istirahat yang diberikan oleh pihak perusahaan untuk makan pun hanya selama 10-15 menit.

"Korban tidak dibolehkan untuk beribadah," ucap dia.

Sementara itu, korban juga diberikan upah sebesar 50.000 Yen atau Rp 5 juta per bulan.

Hanya saja, korban diharuskan memberi dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 Yen atau Rp 2 juta per bulan.

Djuhandani menegaskan politeknik tersebut terdaftar di dinas pendidikan setempat.

Kegiatan belajar mengajar di politeknik tersebut saat ini masih berjalan. Namun, untuk program magang ke luar negerinya telah disetop.

https://regional.kompas.com/read/2023/06/28/224833078/soal-mahasiswa-magang-jadi-korban-tppo-di-jepang-direktur-ppnp-resmi-dari

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke