Salin Artikel

SOP dan Kelalaian Sopir Bus Nahas di Guci

Keduanya ditetapkan tersangka dengan sangkaan kelalaian yang menyebabkan kematian sesuai pasal 359 KUHP.

Secara rinci Kepolisian menyatakan kelalaian kedua kru bus tersebut karena mereka tidak berada di area kemudi saat bus sudah dihidupkan. Hal ini tidak sesuai dengan SOP dari pabrikan Hino.

Akibatnya saat bus melaju, kedua kru tersebut tidak bisa menghentikan laju busnya.

Pengakuan kedua kru tersebut, pada saat kejadian, sopir bus sedang ke kamar mandi membersihkan badan. Sedangkan kernet bus sedang berbincang dengan panitia di luar kabin. Atas temuan inilah, kedua kru bus dianggap lalai oleh penyidik.

Hal ini, menurut saya, agak terkesan memaksakan. Sependek pengetahuan saya, tidak ada aturan baik itu tataran UU, Permenhub, ataupun aturan resmi lainnya bahwa kru bus wajib berada di dalam kabin, khususnya area kemudi, pada saat bus sedang menyala.

Tataran UU, misalnya, di UU 22/2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan tidak mengatur kewajiban awak angkutan umum untuk tetap berada di area kemudi saat mesin menyala. UU ini lebih mengatur kewajiban pada saat mengemudikan angkutan umum.

Hal ini mungkin yang menyebabkan penyidik sulit menerapkan UU Lalu Lintas dalam menjerat awak angkutan umum. Faktanya sopir maupun kernet sedang tidak mengemudikan angkutan umum.

Begitupun tataran di bawah UU, baik PP maupun Permenhub tidak mengatur tentang Prosedur Operasi Standar (SOP) terkait kru angkutan umum pada saat mesin bus menyala.

Artinya jika bicara lalai, maka mereka ini lalai dari kewajiban melakukan atau tidak melakukan apa?

Jika dibilang lalai karena tidak mengikuti SOP dari pabrikan Hino, maka perlu ditelusuri apakah SOP tersebut benar-benar disosialisikan dengan baik kepada kru?

Sepengalaman penulis menjadi kru maupun pekerja transportasi, pelatihan dari pabrikan memang ada, baik kepada kru maupun mekanik PO. Namun pelatihan tidak masif alias tidak sebanding dengan jumlah bus maupun awak yang beroperasi.

Awak bus lebih mengandalkan belajar mengoperasikan bus secara otodidak atau belajar dari senior mereka, yang kadang belum tentu telah mendapatkan pelatihan, baik dari pabrikan maupun regulator.

Akibatnya standar yang diterapkan oleh awak kendaraan dalam mengoperasikan kendaraan umum belum tentu sesuai dengan standar pabrikan.

Padahal pengetahuan tentang standar dari pabrikan sebenarnya penting agar pengoperasian bus bisa tepat sehingga bisa aman dan nyaman bagi penumpang serta pengguna jalan lain.

Merujuk ke moda transportasi udara, perusahaan Boeing pernah didenda sekitar Rp 35 triliun karena minimnya sosialisasi ke para pilot terkait fitur antimacet di varian Boeing 737 Max yang sempat mengalami dua kecelakaan fatal dalam waktu berdekatan pada akhir 2018.

Maka Hino sebagai pabrikan harus memastikan bahwa SOP mereka, yang digunakan Polres Brebes untuk menjerat kedua kru, sudah tersosialisasikan dengan baik. Atau jika tidak disosialisasikan, setidaknya bisa diakses dengan mudah oleh para kru.

Pelatihan kru yang sebenarnya sudah dilakukan Hino, harus lebih dimasifkan, mengingat Hino merupakan pabrikan bus dengan penjualan sangat bagus di Indonesia.

Bagi kru, selain menambah pengetahuan, pelatihan dari pabrikan akan menambah nilai jual mereka.

Bagi penumpang, adanya kru yang memiliki pemahaman bagus terkait pengoperasian bus akan menambah kenyamanan mereka, termasuk meningkatkan keselamatan mereka selama menggunakan moda transportasi bus.

Restorative Justice

Penetapan kedua kru bus sebagai tersangka turut menimbulkan keprihatinan warganet. Tagar #savepakromyani merebak di media sosial.

Para warganet turut pula "mencolek" beberapa pengacara kondang untuk mendampingi Romyani dan kernetnya.

Dua pengacara, Hotman Paris Hutapea dan Ronny Talampessy, merespons positif permintaan warganet tersebut.

Hotman bahkan mengaku sudah menerima kuasa setelah menemui istri pak Romyani. Selanjutnya Hotman telah meminta jaringan advokatnya di Tegal untuk segera melakukan pendampingan kepada kedua kru ini.

Lepas dari perhatian publik, sebenarnya kasus laka Guci ini berpotensi diselesaikan melalui jalur keadilan restoratif (Restorative Justice).

Konsep Restorative Justice mengupayakan agar hubungan antara pihak korban dengan pihak pelaku bisa kembali membaik seperti sebelum terjadinya peristiwa pidana.

Dalam artian, sebagai kru yang membawa para penumpang, sebenarnya telah ada hubungan baik antara mereka dengan penumpangnya. Hal ini sesuai dengan keterangan para kru di mana saat kejadian si kernet sedang berbincang dengan panitia.

Fakta ini diperkuat dengan keterangan beberapa penumpang yang tidak menyudutkan kedua kru terkait kecelakaan. Maka potensi keadilan restoratif di kasus ini sangat besar, apalagi jika pihak penumpang terutama yang menjadi korban mau memaafkan para kru.

Merujuk kepada ketentuan di Polri maupun Kejaksaan, peluang penerapan penyelesaian perkara di luar jalur pengadilan terbuka.

Pada Polri terdapat Perpol 8 tahun 2021 tentang penanganan perkara berdasarkan keadilan restoratif, di mana penyidik bisa mengambil langkah penyelesaian perkara dengan cara keadilan restoratif.

Khususnya untuk tindak pidana yang tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, tidak menimbulkan perpecahan bangsa, tidak memicu konflik sosial, bukan pengulangan tindak pidana, dan tindak pidana terhadap nyawa.

Begitupun dalam Peraturan Kejaksaan nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif turut mengatur hal yang sama.

Dalam Perja ini diatur bahwa tindak pidana bisa diselesaikan dengan keadilan restoratif apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun, dan nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari pidana kurang dari Rp 2,5 juta.

Meski kedua peraturan di atas membuka peluang bagi perkara Romyani dan Andri untuk diselesaikan melalui restorative justice, namun kedua aturan tersebut mengatur terkait kejahatan terhadap nyawa sebagai kejahatan yang tidak bisa menggunakan mekanisme ini. Hal ini tentunya menjadi ganjalan upaya keadilan restoratif pada perkara ini.

Namun penyidik dan jaksa harus melihat baik buruknya meneruskan perkara dengan pemenjaraan kepada kedua kru ini.

Ditambah apakah kelalaian bisa dilihat sebagai kejahatan terhadap nyawa mengingat hampir pasti tidak ada niat jahat dari kru yang menyebabkan kendaraan maupun penumpangnya, sebagai tempatnya mencari nafkah, untuk dicelakai (mens rea).

Maka penyidik maupun jaksa harus mempertimbangkan sikap batin kru terhadap kecelakaan tersebut sebagai upaya penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif (jika bisa). Atau setidaknya bisa meringankan tuntutan kepada mereka.

Untuk tim pengacara, fakta bahwa SOP pabrikan sangat mungkin tidak tersampaikan kepada kedua tersangka, harus menjadi bahan pembelaan kepada para kru.

Tidak lupa perlunya menghadirkan saksi dari sesama kru bus, baik yang ada di lokasi saat kejadian, maupun tidak, sebagai bukti bahwa tidak adanya SOP bagi kru pada saat bus menyala, namun belum belum berjalan.

Metode ini pernah digunakan oleh para terdakwa tragedi Kanjuruhan sehingga hukuman mereka ringan, bahkan bebas. Mereka memperkuat kesaksian dari sesama anggota polisi.

Penasehat hukum perlu menghadirkan banyak saksi dari sesama kru bus, selain tentunya ahli mesin dan keselamatan transportasi yang mungkin meringankan para terdakwa.

Lebih-lebih, semoga kejadian ini menggugah para pemangku kepentingan mulai dari kru, pengusaha bus, regulator, hingga pabrikan untuk menyusun SOP baku bagi kru bus sehingga bisa meningkatkan keselamatan transportasi bus.

https://regional.kompas.com/read/2023/05/16/09484001/sop-dan-kelalaian-sopir-bus-nahas-di-guci

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke