Salin Artikel

Lampung Butuh Sosok seperti Bima Yudho Saputra

Setidaknya, saya berharap ia berkata,“Kami apresiasi kritik Bima, sebagai generasi muda Lampung haruslah kritis sebagai bagian dari demokrasi dan untuk kemajuan Lampung. Semoga saat Bima pulang ke Lampung, kita bisa bertemu dan berdiskusi untuk kemajuan Lampung bersama generasi-generasi muda hebat lainnya”. Singkat dan elegan.

Namun sayang, alih-alih mengapresiasi atas keberanian Bima, yang muncul adalah pembelaan yang cenderung berbanding terbalik dengan realitas yang ditujukan oleh Netizen di media sosial. Bahkan, Bima sampai dilaporkan Polisi dan orangtuanya mendapatkan tekanan.

Jangan bunuh karakter “kritis”

Menyuarakan pendapat dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945. Hal ini juga dijamin melalui Pasal 25 UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Namun, mental-mental subversif seringkali masih menghinggapi otoritas kekuasaan untuk membungkam kritik-kritik ini dengan dengan berbagai macam dalih.

Bahkan, upaya kriminalisasi dilakukan untuk memberi efek jera dan dampak sosial atas risiko kritik ini.

Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti adalah contoh upaya untuk membungkam kritik dan menutup ruang demokrasi itu sendiri.

Apa yang dilakukan Bima Yudho Saputra adalah menjalan fungsi dan perannya sebagai seorang sarjana sekaligus intelektual.

Seperti yang dikatakan oleh Edward W Said (1995) bahwa intelektual merupakan benteng akal sehat yang kritis terhadap kekuasaan. Dari kacamata ini, kritik Bima adalah “simbol cinta” dan “rindu” terhadap Lampung.

Ungkapan Bima dengan menggunakan kata “Dajjal” harus dilihat dalam keseluruhan konteks kritiknya, bukan sebatas pemaknaan tunggal yang subyektif dan tidak subtantif.

Artinya, menghilangkan kata tersebut tidak menghilangkan fakta bahwa Lampung butuh berbenah, bukan dijadikan sebagai alat pembungkaman dan terjebak pada romantisme Orde Baru.

Upaya kriminalisasi dengan cara membuat laporan terhadap Bima Yudho Saputra di Polda Lampung adalah bentuk ketidakdewasaan berdemokrasi, bahkan tidak memiliki dampak pada perbaikan kondisi.

Malahan, upaya-upaya kriminalisasi menjadi kontra-produktif bagi budaya kritis yang seharusnya ada pada generasi muda.

Jika laporan ini diterima, maka hal ini menjadi preseden buruk sekaligus pembunuhan karakter terhadap upaya kritis di daerah yang mencoba untuk berkontribusi membangun daerah berbasis akal sehat dan intelektualitas.

Legitimasi kekuasaan hari ini berangkat dari prosedur demokrasi, sehingga para pemimpin daerah pada dasarnya adalah mandatoris rakyat sebagai pemangku kedaulatan rakyat.

Walapun sebagai mandatoris, harus dipahami bahwa hal ini tidak serta merta terjadi pemindahan kekuasaan rakyat (people power) sehingga menegasikan bentuk-bentuk aspirasi baik berupa kritik maupun masukan. Di sinilah peran penting penyelenggaran pemerintahan yang demokratis.

Pemerintah daerah Lampung seharusnya merasa bersyukur karena masih ada masyarakat yang menunjukkan kepedulian terhadap penyelenggaraan pemerintahan secara kritis melalui saluran media sosial, hal ini sebagaimana dikatakan oleh JJ Rousseau (1762) sebagai penanda eksistensi negara masih ada.

Jabatan kepala daerah baik di tingkat kabupaten maupun provinsi adalah amanah rakyat, sehingga pejabat tersebut adalah “pemangku kekuasaan”, bukan “pemilik kekuasaan” yang menganggap bahwa rakyat tidak memiliki kuasa saat menjabat.

Lord Acton (1833-1902) sudah mengingatkan bahwa memandang kekuasaan terlalu berlebihan cenderung pada penyalahgunaan (korup).

Menyikapi kritik-kritik seperti ini, apalagi di era media sosial, maka Gubernur Lampung sudah seharusnya melakukan pendekatan yang elegan dengan cara mengakomodasi kritik-kritik sebagai sarana introspeksi sekaligus dukungan terhadap pemerintahannya.

Bukan malah “alergi”, bahkan sampai melakukan hal-hal yang tidak elegan dengan semangat demokratis.

Melakukan pembelaan terhadap kritik memang sah-sah saja. Namun menerima kritik dengan baik justru akan mendapatkan dukungan dari masyarakat dan menunjukkan bahwa kepemimpinannya berjalan secara demokratis.

Saatnya Lampung berbenah

Lampung memiliki potensi yang luar biasa, bukan hanya alamnya (landscape) melainkan manusianya (lifescape).

Beragam potensi ini merupakan kapasitas dari Provinsi Lampung yang menunggu tangan-tangan dingin untuk mengelola dan memanfaatkannya menjadi “modal” dalam membangun Lampung lebih maju lagi.

Oleh karenanya, pembangunan di Lampung jangan juga berfokus pada membangun fisiknya, melainkan juga membangun manusianya.

Guna mewujudkan Lampung maju, menurut hemat penulis ada tiga prasyarat yang harus dilakukan, yakni:

Pertama, membangun pemerintahan yang terbuka dan demokratis. Pemerintah bukan hanya “terbuka”, namun juga “membuka” diri terhadap masyarakat untuk menerima berbagai macam saran dan masukan.

Pemerintahan yang tertutup dan tidak demokratis, apalagi membungkam kritik adalah ciri-ciri awal potensi korup. Pemerintahan yang demokratis adalah salah satu pencirian good and clean governance.

Kedua, meningkatkan layanan publik (public service) menggunakan perspektif Citizen Charter (berorientasi pada penilaian masyarakat).

Pelayanan publik yang buruk adalah tanda pemerintahan tidak berjalan efektif sehingga tidak mungkin efisien. Efektifitas harus didahulukan daripada efisiensi.

Ketiga, produk hukum yang berbasis pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Terdapat tiga bentuk produk hukum pemerintah daerah, yakni berupa aturan (regeling), keputusan (beschikking), dan peraturan kebijaksanaan (beleidsregel).

Jika ketiga luaran produk hukum ini tidak didasarkan pada kepentingan pragmatisme kekuasaan melainkan benar-benar berangkat dari aspirasi dan kepentingan masyarakat (meanigfull participation), maka dapat dipastikan gaya pemerintahannya demokratis.

Menarik yang disampaikan oleh Ketua DPRD Lampung, Mingrum Gumay pada Musrembang yang mengingatkan agar Gubernur Lampung mengevaluasi kinerja kelembagaannya agar memiliki legacy dalam sejarah pemerintah provinsi Lampung.

Pernyataan ini dapat dimaknai sebagai salah satu kritik keras bahwa kinerja Gubernur Lampung masih jauh dari yang menjadi harapan.

Membangun Lampung adalah kerja bersama, yakni semua elemen baik pemerintahan dan masyarakat. Namun, kunci utama ada pada pemerintah selaku penyelenggara sehingga ketiga poin di atas penting untuk dipertimbangkan.

Komitmen awal terhadap hal ini adalah pemerintah Lampung tidak sibuk membela diri, tetapi menerima kritik saat Lampung menjadi sorotan berita nasional, terutama perlakuan terhadap Bima Yudho Saputra yang seharusnya lebih diapresiasi dan dilindungi bukan diintervensi. Tabik.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/15/08224251/lampung-butuh-sosok-seperti-bima-yudho-saputra

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke