Salin Artikel

Melihat Mata Air Hodo dan Benteng Kerajaan yang Terkubur Letusan Tambora

DOMPU, KOMPAS.com - Sinar cerah sang surya mengantar perjalanan menelusuri jejak-jejak yang terkubur letusan Gunung Tambora di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), 208 tahun silam.

Peta penunjuk arah menunjukkan, jarak yang harus ditempuh menggunakan sepeda motor sejauh 60 kilometer dengan lama waktu perjalanan sekitar 1 jam 18 menit.

Waktu tempuh itu diperlukan jika perjalanan dimulai dari pusat Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Dompu, menuju tujuan pertama, Mata Air Hodo.

Sepanjang perjalanan, terhampar pemandangan alam bukit pegunungan. Suhu udara pagi pun terasa hangat menyentuh kulit.

Hampir tidak ada lagi pepohonan besar berusia ratusan tahun yang bisa dijumpai. Kawasan hutan yang dulunya hijau, kini terbuka menjadi areal penanaman jagung.

Pohon-pohon besar hanya tersisa di puncak pegunungan yang belum tersentuh pembukaan jalan dan perambahan.

Setelah satu jam berkendara, dari ketinggian jalan raya Dompu-Calabai, di sisi selatan terhampar laut tenang Moti Toi di Teluk Saleh.

Mengabadikan momen perjalanan dengan latar laut biru menjadi pilihan menarik saat tiba di tempat ini.

Dari Moti Toi, suhu udara perjalanan menuju Mata Air Hodo mulai terasa sejuk. Lalu lintas truk bermuatan pasir besi dan batu hitam juga ramai.

Material ini dibawa oleh para penambang tradisional untuk dijual ke sejumlah wilayah di Dompu, Bima hingga Sumbawa.

"Harganya tergantung jarak tempuh, kalau ke Bima bisa sampai Rp 1,5 juta," kata Abdul Basar, sopir truk yang singgah di Mata Air Hodo.

Mata Air Hodo yang tak pernah kering

Mata Air Hodo berada di wilayah administrasi Desa Sori Tatanga, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Lokasi ini sangat strategis sebagai tempat persinggahan, setelah menempuh perjalanan panjang dari Dompu ke Calabai, atau sebaliknya.

Mata air yang menyembur dari retakan batuan andesit hasil pembekuan magma bekas letusan Gunung Tambora 1815 silam, menjadi daya tarik wisata yang unik.

Pengunjung bisa istirahat sejenak atau mandi sambil menikmati pemandangan laut yang indah sebelum melanjutkan perjalanan.

"Mata air ini merupakan fenomena geologi yang unik karena berada di batuan beku andesit yang sifatnya kompak, sehingga deformasi pada batuan sangat berperan dalam menentukan besarnya debit air yang keluar dari bawah tanah," kata Hudan Ramadani, Penanggung Jawab Sekretariat Geopark Tambora Kabupaten Dompu.

Hasil analisis ahli geologi memperkirakan bahwa usia mata air ini jauh lebih tua dari letusan Gunung Tambora.

Dulu, terdapat aliran sungai yang hulunya berada di lembah Tambora. Karena letusan hebat pada 1815, sungai itu terkubur material pasir dan batuan.

Mata Air Hodo tidak pernah kering sepanjang tahun. Air yang terus mengalir dari retakan bebatuan dimanfaatkan warga setempat untuk kebutuhan sehari-hari.

Kendati mata air ini menjadi salah satu bukti betapa hebatnya letusan Gunung Tambora, namun kondisinya belum terawat.

"Untuk merawat ini perlu kolaborasi, tidak bisa Geopark Tambora berjalan sendiri. Harus barengan dengan pemerintah daerah dan provinsi," kata Hudan.

Selain menyuguhkan mata air yang menyembur dari retakan batuan, panorama alam ini memberi kesejukan dengan pepohonan besar yang mengelilinginya.

Mata air ini juga membentuk kolam alami dan hanya dibatasi pasir hitam lebih kurang 10 meter dengan bibir pantai.

Pada bagian timur dapat dijumpai kawanan ternak yang berendam setelah mencari makan di kawasan hutan setempat.

"Selain menjadi tempat singgah, mata air ini kami manfaatkan untuk minum dan memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata Arif, salah seorang warga di Mata Air Hodo.

Menurut dia, sebagai tempat yang memiliki nilai sejarah, objek ini semestinya dikelola secara maksimal agar bisa menjadi salah satu tujuan wisata.

Apalagi fasilitas penunjang seperti MCK dan gazebo sudah tersedia, termasuk warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman.

"Tinggal ditata rapi dan dikelola saja sebenarnya, tapi sekarang hanya dibiarkan alami seperti ini," ujarnya.

Beranjak dari Mata Air Hodo, perjalanan menuju Situs Doro Bente membutuhkan waktu sekitar 10 menit.

Doro Bente merupakan sebutan penduduk lokal untuk mengenali kerucut parasit di selatan Gunung Tambora.

Puncak tertinggi situs ini berada pada ketinggian 77 meter di atas permukaan laut. Tersusun dari bebatuan dan endapan material gunung api Tambora.

Situs ini membentang kokoh di tengah Padang Sabana Doro Ncanga. Dari citra udara bentuknya terlihat seperti permukaan rembulan yang menghadap Teluk Saleh.

Penggiat Sejarah Dompu, Nurhaedah menjelaskan, tempat ini dulunya sebuah benteng kerajaan dan areal permukiman warga yang terkubur letusan Gunung Tambora.

Hal itu diperkuat sejumlah temuan arkeolog berupa pecahan gerabah, keramik, mata panah hingga tulang belulang hewan.

"Sudah diteliti, ada jejak kehidupan di Doro Bente. Saya menganggap itu sisa peninggalan Kerajaan Pekat yang terkubur," kata Nurhaedah.

Situs Doro Bente hanya berjarak sekitar 200 meter dari jalan raya. Di pintu masuk terdapat papan informasi yang menyebutkan bahwa tempat ini sebagai Geopark Gunung Tambora.

Berkendara mendekati Doro Bente di atas gundukan Sabana Doro Ncanga, tempat ini terlihat lengang dari aktivitas manusia. Hanya gerombolan ternak yang tampak sibuk merumput.

Setelah tiba dan beberapa menit mendaki, melewati susunan batuan hitam menuju puncak tertinggi Situs Doro Bente, mata akan dimanjakan dengan pemandangan laut Teluk Saleh yang menakjubkan.

Dari puncak tertinggi situs ini, susunan bebatuan tampak melengkung seperti bulan sabit dengan ketinggian melandai dan menganga pada bagian selatan.

Di sekelilingnya terhampar luas padang Sabana Doro Ncanga yang indah, dan jauh di bagian utara tampak samar oleh kabut puncak Gunung Tambora.

https://regional.kompas.com/read/2023/04/09/224115478/melihat-mata-air-hodo-dan-benteng-kerajaan-yang-terkubur-letusan-tambora

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke