Salin Artikel

Urgensi Menegakkan Aturan terhadap Turis Asing di Bali

Misalnya video yang viral, yakni kasus turis dari Rusia yang kurang apresiatif terhadap penegak hukum kita di Bali belum lama ini.

Memang perlu dipahami bahwa setiap turis memiliki karakter bawaan masing-masing, tergantung negara asalnya.

Tentu hal itu bukan rumus umum, karena saya sangat yakin masih banyak turis Rusia yang berlaku sebaliknya, yakni ramah dan respek terhadap segala aturan main yang ada di destinasi-destinasi wisata di dunia.

Contoh lainnya adalah turis China, misalnya. Banyak cerita berkembang bahwa mereka datang secara terorganisir, sebagian menikmati subsidi dari negaranya, berbelanja dengan aplikasi fintek milik perusahaan China di spot-spot perbelanjaan yang sudah menjadi rekanan penyelenggara perjalanan wisatanya, menginap di hotel yang sudah bekerja sama dengan sistem pembayaran online yang mereka gunakan, sehingga seolah-olah datang ke Bali hanya untuk buang sampah, daki, dan kotoran saja.

Meskipun begitu, layaknya turis lainnya, seperti turis Rusia, sambutan dan pelayanan oleh tuan rumah tetap harus diberikan sebagaimana layaknya.

Bukan hanya karena Bali adalah daerah wisata yang membutuhkan para turis sebagai sumber pendapatan utamanya, tapi juga karena begitulah memang sepatutnya sikap kita kepada warga negara lain yang datang berkunjung, jika kita juga ingin diperlakukan sama di negara mereka.

Namun jika menyangkut aturan main, sebaiknya tidak ada kompromi. Jika ada aturan yang dilanggar atau norma setempat yang tak dihormati, perlakuan tegas dari aparat pun harus diberikan, tanpa pandang bulu.

Aturan harus ditegakkan di Bali layaknya di wilayah Indonesia lainnya. Begitulah kedaulatan sebuah negara dijalankan (ditegakkan).

Perkembangan kasus-kasus perilaku turis asing di Bali seperti di atas memang cukup mengkhawatirkan kita sebagai warga negara Indonesia.

Bali memang sudah terkenal sebagai magnet wisata berkaliber internasional. Dengan kata lain, Pulau Dewata adalah salah satu destinasi kebanggaan kita.

Bahkan penyelenggaraan event sebesar KTT APEC dan G20 menuai pujian luar biasa, karena diselenggarakannya di Bali.

Namun, Bali semestinya tidak saja representasi Indonesia sebagai negara yang menjunjung Bhinneka Tunggal Ika, representasi hospitalitas warga negara Indonesia, dan representasi indahnya alam serta adat budaya Indonesia, tapi juga representasi Indonesia sebagai negara yang berdaulat, baik secara hukum maupun secara politik.

Karena itu, penegakan hukum Indonesia harus berlaku sama dengan di daerah lain alias tidak diskriminatif.

Siapapun turis asingnya, dari mana pun asalnya, setelah mereka menginjakkan kaki di wilayah Indonesia termasuk Bali, maka seketika itu juga mereka terikat dengan aturan hukum nasional Indonesia di satu sisi dan norma-norma budaya lokal di sisi lain.

Artinya, polisi dan aparat penegak hukum setempat lainnya tidak perlu ragu menerapkan aturan hukum yang berlaku kepada turis-turis di Bali, jika didapati ada turis asing yang tidak mengindahkannya.

Aparat adat pun demikian. Jika ada aturan adat yang tidak dihormati dan dipatuhi, langkah hukum bisa diambil sesuai aturan main yang ada.

Alasannya sangat sederhana. Ketertiban yang dibangun atas kepatuhan dalam menjalankan aturan adalah salah satu poin penting dalam dunia pariwisata.

Jika aturan tak ditegakkan saat turis melakukan pelanggaran, lantas pertanyaannya, bagaimana jika saat para turis tersebut justru menjadi korban kejahatan, penipuan, aksi tidak menyenangkan, dan sejenisnya, lalu penegak hukum mengabaikannya?

Tentu reaksi yang sama akan muncul. Mereka akan berkoar-koar keluar atau sengaja menyebar video tidak responsifnya penegak hukum kita dalam menangani aneka keluhan.

Contohnya, jika kita mundur ke belakang, beberapa tahun lalu, seorang turis pernah memviralkan video kurang etis tentang seorang aparat kepolisian di Bali yang melakukan Tilang (bukti pelanggaran) terhadap seorang turis asing.

Video tersebut bukan saja telah mencederai citra penegak hukum kita, tapi juga citra Bali sebagai daerah pariwisata.

Nah, dengan logika terbalik tersebut bisa dipahami bahwa pentingnya penegakan hukum secara nondiskriminatif di Bali sangatlah krusial bagi sektor pariwisata.

Perilaku para turis yang tidak pada tempatnya, melanggar aturan yang ada, baik aturan hukum maupun aturan adat setempat, harus pula mendapatkan ganjaran secara proporsional.

Hal itu perlu diperlihatkan secara jelas. Tujuannya adalah pertama, agar menjadi cerminan bagi turis lainnya bahwa Indonesia memiliki hak penuh dalam menegakkan hukum nasionalnya di Bali, tanpa pandang bulu dan tanpa takut kepada pemerintah negara asal turis tersebut.

Kedua, agar para turis juga yakin bahwa saat mereka berada pada posisi yang membutuhkan penegakan hukum secara adil, mereka akan mendapatkan ketegasan yang sama dari aparat hukum kita.

Jika berkaca pada kota-kota wisata dunia, kerapian, kebersihan, dan ketertiban yang didapat dari konsistensi penegakan aturan adalah pelengkap penyempurna kota wisata mereka.

Keberanian para turis keluar dari negaranya menuju negara lain yang sama sekali berbeda dari negara asal mereka, sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan mereka kepada pemerintah di negara tujuan dalam menegakkan aturan yang berlaku.

Sehingga, mereka merasa aman untuk datang dan mengunjungi berbagai destinasi-destinasi yang jauh dari negara mereka karena jika sesuatu yang merugikan mereka terjadi, mereka mengetahui bahwa aparat di negara tujuan akan turun tangan untuk menyelesaikannya, termasuk aparat penegak hukum Indonesia.

Begitu pula sebaliknya. Mereka percaya dan yakin bahwa jika mereka melakukan pelanggaran, baik di jalan raya, di tempat penginapan, di lokasi wisata, mereka akan menerima ganjaran sesuai aturan yang berlaku. Meskipun, misalnya, aturan tersebut tidak dikenal di negaranya.

Jadi pendeknya, keinginan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk meraup sebanyak-banyaknya devisa negara dari para turis yang datang ke Bali tidak boleh dibangun atas permisifitas dalam menegakkan aturan yang berlaku kepada para turis, dari manapun negara asalnya.

Devisa tidak semestinya dijadikan alasan untuk melonggarkan eksistensi kedaulatan Indonesia.

Hal tersebut tidak saja berlaku pada para turis yang melanggar aturan di jalanan atau di lokasi wisata, tapi juga bagi para turis yang melanggar aturan ketenagakerjaan nasional. Turis yang bekerja secara ilegal di Bali harus juga ditertibkan sesuai aturan yang berlaku.

Mereka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan bagi tenaga kerja asing, karena satu lapangan pekerjaan yang mereka kerjakan adalah kehilangan lapangan pekerjaan bagi pekerja lokal yang adalah warga negara Indonesia.

Karena itu, aturan ketenagakerjaan untuk tenaga kerja asing (TKA) harus diterapkan, agar ada ketetapan yang jelas tentang hak dan kewajiban TKA di Bali. Jika perlu, yang memang melanggar aturan lebih dari sekali langsung dideportasi, misalnya.

Sebagai salah satu destinasi wisata kebanggaan bangsa kita tentu sepakat bahwa Bali tidak boleh ‘terbeli’ oleh orang asing dengan terjadinya hal-hal yang justru merugikan kita sebagai bangsa.

Apalagi saat ini, tingkat kunjungan wisata di Bali baru mulai pulih. Angkanya belum benar-benar kembali ke angka prapandemik.

Data dari Badan Pusat Statistik ( BPS) menunjukkan, wisatawan mancanegara (wisman) yang datang langsung ke Provinsi Bali pada Januari 2023 tercatat sebanyak 331.912 kunjungan, turun 12,02 persen dibandingkan periode bulan sebelumnya yang tercatat sebanyak 377.276 kunjungan.

Wisatawan yang berasal dari Australia mendominasi kedatangan wisman ke Bali pada Januari 2023 dengan share sebesar 27,49 persen.

Sementara Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang pada Januari 2023 tercatat baru sebesar 46,16 persen, turun sedalam 7,59 poin jika dibandingkan dengan Desember 2022.

Jika dibandingkan dengan bulan Januari 2022 (y-o-y) yang mencapai 20,71 persen, tingkat penghunian kamar pada Januari 2022 tercatat naik 25,45 poin.

Sementara itu, TPK hotel nonbintang tercatat sebesar 26,99 persen, turun 0,63 poin dibandingkan Desember 2022

Artinya, sampai hari ini, di mana turis-turis acap kali melangkahi aturan yang ada, tingkat kunjungan turis asing belum kembali ke era sebelum pandemik.

Jadi jangan sampai saat potensi wisata Bali kembali ke performa maksimalnya di mana turis asing semakin banyak, justru pelanggaran aturan hukum semakin marak dan lapangan pekerjaan yang semestinya untuk tenaga kerja lokal berpindah tangan ke tangan wisman secara ilegal.

Bahkan, pemerintah, baik pusat maupun lokal, sebenarnya bisa bersikap lebih tegas lagi pada persoalan yang lebih luas, yakni sektor ekonomi pariwisata di Bali, dengan menertibkan aset-aset seperti tanah dan properti yang dimiliki oleh asing, tapi mengatasnamakan "nominee" lokal dan dijadikan aset komersial dengan aturan lokal.

Kejelasan kepemilikan aset ini adalah hal penting, bukan saja karena alasan ekonomi dan fiskal, tapi utamanya adalah soal kedaulatan hukum nasional kita.

Jangan sampai aset pariwisata nasional seperti Bali justru bernasib seperti aset sumber daya alam (SDA) nasional di Sulawesi yang mayoritas dikuasai asing.

Terwujud atau tidaknya penegakan regulasi dan aturan hukum secara nondiskriminatif ini di Bali sangat tergantung pada pemerintah, mulai dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Tenaga Kerja, Polri, TNI, hingga pada pemerintah daerah. Tanpa inisiatif dari semua pihak ini, tidak akan ada law enforcement di Bali.

Seperti kata filsuf Inggris, Bertrand Russell, "Government can easily exist without laws, but laws cannot exist without government”. Semoga.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/22/061821178/urgensi-menegakkan-aturan-terhadap-turis-asing-di-bali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke